Epidode 6. Jalan yang Panjang

2 0 0
                                    

Begitulah akhirnya... setelah itu, waktu melenggang saja menuju esok, kemudian lusa, kemudian minggu setelahnya, bulan setelahnya, tahun setelahnya. Higga hari ini, 7 tahun setelah aku terakhir kali melihat wajah cantik itu. Usiaku sudah menginjak 24, tapi rindu itu masih saja terasa.

Aku menjalani hari seperti biasa, memang.. terus kuliah, bekerja. Tapi seperti jasadku saja yang bergerak mengarungi waktu. Jiwaku tertinggal jauh di belakang. Temanku pergi satu per satu, aku menjadi pendiam, pemuda tanpa ekspresi, menyimpan rasa sakit. Hingga puncaknya tahun lalu, saat ayah ikut berpulang. Aku memutuskan pindah.. menjual rumah, sedikit menyingkir ke kabupaten sebelah kota. Membeli ruko, membuka toko kelontong.

Lantai 2 jadi hunianku. Hanya satu ruangan... inilah tempat tidur, tempat makan, bersantai, atau apapun itu. Kecuali buang hajat tentunya. Yang satu itu terpisah. Akhirnya semalam ini habis juga ku ceritakan semua kisah. Mentari mulai mengintip di ujung kaki langit timur, dan mataku sudah tak kuat menahan kantuk. Aku terlelap.

"nak bangun nak... sudah siang. Kau tidak buka toko?"

"ayah, bagaimana bisa ayah di sini"

"hahaha, harusnya ayah yang bertanya begitu, bagaimana bisa kau disini"

"maafkan aku ayah, aku tidak hidup dengan baik"

"kau hidup dengan baik nak... kau bertahan. Ayahlah yang harusnya meminta maaf, ayah tidak mampu bertahan. Meninggalkanmu sendirian"

"ayah... kenapa aku lalai sekali"

"kau masih punya banyak waktu nak. Perbaikilah.."

"tapi aku tidak punya semangat ayah. Lihatlah aku, bagai mayat hidup"

"apa gerangan nak, kau bisa bercerita pada ayah"

"aku pikir, aku telah melihat keajaiban ayah. Begitu besar keajaiban itu. Jika aku ceritakan tak akan ada yang percaya. Keajaiban itu benar-benar terasa nyata, dan terjadi begitu lama. Namun saat telah membuatku senang sampai ke langit, ia menghilang... menghempaskan aku ke bumi, ke dasar terdalam. Aku terpuruk ayah"

"tapi setiap hari adalah keajaiban nak."

Suara ayah terasa jelas sekali di telingaku, aku pun lancar saja menjawabnya. Namun mataku sudah tak kuat bangun.. semuanya gelap.

"rama.. nak, ingatkah kau dengan anak SMA yang setip hari beli rokok di tokomu. Setip hari dia datang dengan sepeda motor kesayangannya. Ia bahkan memberi nama sepeda motornya, gerandong. Hahah... sangar. Motor itu nak, sudah di modifikasi sekian kali. Kerangkanya di orak-arik, joknya berganti, rodanya, lampunya, kaca spion, semuanya... satu per satu tergantikan bahkan sampai ke mesin-mesinnya. Tapi, apakah motor itu tetap gerandong kesayangan anak itu? Tentu saja iya.

"begitu pula dengan manusia nak... dalam sehari, sudah berapa kali tubuh ini beregenerasi sel. Yang mati tergantikan dengan yang baru, syaraf berganti, kulit berganti, jaringan otak berganti, semuanya. Lalu apa yang membuat kau yakin bahwa kau yang sekarang adalah kau yang kemarin? Apa nak?"

Aku terdiam sejenak. Kemudian dadaku terasa di sentuh... tangan ayah mengusapnya. "ada yang menghubungkan kita nak. Yang menghubungkan kita dengan hari kemarin, pun hari esok. Yang membuat kita tetap menjadi orang yang sama seperti hari kemarin. Itulah keajaiban yang sering kita lupakan. Keajaiban langit terjadi setiap saat, namun memang terkadang kita meminta lebih, seolah langit berhutang keajaiban. Padahal tidak.

"rindu yang kau rasakan, sejatinya hanya sebagian kecil keajaiban. Jadikan itu motivasi, bukan beban. Rindu itu menghubungkan banyak tempat. Menyisir setiap jendela, menyusup di balik semesta. ah ya... bicara soal rindu, ada yang sangat merindukanmu. Lihatlah..."

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Apr 17, 2019 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

RamaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora