PART 22

84.2K 4.2K 18
                                    


Kota Pati sudah beranjak senja saat mobil Aisyah dan rombongan menyusuri jalan pegunungan. Aisyah dan Nadia terbangun dari tidurnya,
“Wah, sejuknya,” ucap Nadia sambil membuka kaca mobil.
“Enak, kan? Ngga nyesel deh kalo kesini mah,”  jawab Aisyah dengan senyum mengembang.
“Sebenernya kenapa kamu tiba - tiba kesini sih?” Tanya Nadia penasaran.
Ummi yang sedari tadi diam menjawab pertanyaan Nadia.
“Aisyah sedang butuh refreshing, Nad. Bentar lagi kan wisuda. Terus kerja di perusahaan abi,”  jawab ummi sambil tersenyum.
“Oh, ceritanya mau jadi CEO kaya di novel - novel itu ya mi?” Tanya Nadia.
“Apaan sih, kamu mah,” jawab Aisyah sewot.
Mobil telah sampai di villa milik keluarga Aisyah. Aisyah dan Nadia berlari masuk ke villa.
“Wah, senengnya,”  Aisyah masuk ke dalam kamar diikuti Nadia.
“Kita keluar, yuk,” ajak Aisyah.
“Nanti, ah. Remuk nih badanku,” jawab Nadia.
Aisyah hanya tersenyum. Lalu mengambil gitar dan keluar kamar. Aisyah  duduk sambil memegang gitar. Aisyah memang sedikit tomboy, meski begitu wajahnya terlihat sangat cantik. Aisyah  melamun, tiba - tiba teringat Fahri.

Flashback on
“Maaf… maaf...maaf, dek,”  Fahri mengucap maaf berulang - ulang.
Aisyah masih terisak. Malam itu adalah malam kedua pernikahan ke dua suaminya dengan istri barunya.
Seribu kali Fahri meminta maaf, seribu kali pula sakit dihati Aisyah makin dalam.
“Maaf, mas melukai kamu,”  kata Fahri.
“Kenapa mas, kenapa kamu menikah lagi?” Tanya Aisyah serak.
“Aku sangat mencintai dia jauh sebelum ada kamu. Aku terpaksa menikahi kamu. Aku... maaf,”  jawab Fahri.
Aisyah menangis pilu. Kenapa begini?
Flashback off
Air mata Aisyah mengalir deras. Aisyah sudah berusaha bertahan selama ini. Selalu tersenyum meski luka itu sangat dalam. Selalu menjalankan perannya sebagai seorang istri dengan sebaik mungkin. Tapi tetap saja dia berjuang sendiri.
“Kamu hanya merasa bersalah, mas. Bukan mencintaiku… bukan,”  gumam Aisyah lirih.
Rasanya sesak di dada. Memutuskan berpisah bukanlah hal mudah. Tapi sungguh, Aisyah sudah lelah.
“Dek, wah anak ummi bercadar?” Tanya ummi pada Aisyah.
Aisyah tersenyum lalu mengangguk.
“Bismillah... lagi belajar ummi. Do’akan semoga istiqomah,” jawab Aisyah.
Umi memeluk putrinya erat. Air mata umi kembali mengalir deras. Melihat nasib rumah tangga putri semata wayangnya yang kurang beruntung.
“Kamu cantic, sayang,” kata ummi.
“Mi, apa bisa Ai tak perlu datang ke persidangan nanti? Ai ingin cepat selesai prosesnya mi,”  pinta Aisyah sambil memeluk uminya.
“Iya sayang, nanti abi sama om Farhan akan menyelesaikan semuanya. Sabar ya sayang,”  jawab ummi lembut.
“Udah malam. Tidur gih, sayang,” kata umminya.
Aisyah mencium umminya lalu masuk kedalam kamar.
“Eh, Ai besok kita memanah yuk,” Ajak Nadia.
“Okeh. Emang kamu bisa?” Canda Aisyah.
“Ih, aku juga mau belajar tahu. Tahu deh kamu mah berenang, memanah, berkuda, sampe balap mobil ama balap motor juga jago,”  jawab Nadia nyinyir.
Aisyah tertawa lepas melihat Nadia monyong. Nadia memang selalu gagal memanah dan berkuda. Bahkan dulu pernah diseret kuda saat belajar berkuda.
“Ai, sebenernya ada apa?” Tanya Nadia pelan.
Aisyah masih berbaring disamping Nadia, dia menerawang ke atas langit kamar.
“Aku udah mutisin buat ngelepas mas Fahri Nad. Mas Fahri hanya merasa bersalah. Bukan mencintaiku,”  kata Aisyah lirih. Wajahnya kini terlihat muram.
“Kok kamu yakin gitu?” Tanya Nadia.
“Hmm... udah sering kok. Aku lihat dari cara mas Fahri melihat mbak Hana kemarin dengan saat menatapku saat aku mau berpisah. Tatapannya beda Nad. Aku ngga mau jadi pilihan kedua,” jawab Aisyah menerawang.
Nadia memeluk Aisyah erat. Mereka tenggelam dalam tangisan hingga mata mereka terpejam. Mereka tertidur karena kelelahan menangis. Umi menengok kamar Aisyah. Matanya sembab. Umi mencium Aisyah lama. Merasakan duka lebih dalam dari yang Aisyah rasakan. Seorang ibu akan sangat terluka saat anaknya tersakiti.
“Maafkan ummi, nak. Maaf... ummi sayang kamu. Sabar, nak,” bisik ummi ditelinga Aisyah. Air matanya jatuh mengenai pipi Aisyah.
Sebenarnya Aisyah merasakan. Tapi matanya sengaja terus terpejam.
“Maaf, ummi. Maaf, Aisyah membuat ummi sama abi menangis. Maafkan Aisyah, Ummi. Maaf..  jangan merasa bersalah, ummi,“ kata Aisyah dalam hati. Suara telpon berdering. Ummi keluar kamar untuk mengangkat telpon dari abi.
“Assalamu'alaikum, abi,” sapa ummi dengan suara serak.
“Wa'alaikum salam. Udah sampai, ummi?” Tanya abi.
“Udah, abi. Abi sehat kan disana?”
“Alhamdulillah sehat, ummi. Oh iya, Fahri menolak bercerai. Gimana keputusan Aisyah?” Tanya abi kembali memastikan keputusan yang diambil Aisyah.
“Aisyah tadi bilang ngga mau datang ke persidangan. Dia mau cepat bercerai, bi,” jawab ummi dengan air mata berlinang.
Abi terdiam beberapa saat.
“Iya, mi. Insyaallah segera selesai. Baik-baik disana. Assalamu'alaikum,”  jawab abi lalu mematikan telponnya.

Jangan merasa bersalah padaku.
Pergilah, aku melepasmu untuk bahagiamu.
Aku biasa bersama lara....'

AISYAH WEDDING (END)Where stories live. Discover now