"Pacar anak saya ditemukan sekarat di bawah pohon mangga. Dipukul orang." Nada suara Hendra berangsur normal. Rupanya orang tua itu sudah capek marah-marah.

"Pohonnya cukup rindang ya, Pak dan gelap kalau malam," kata Rian.

"Iya, padahal pagarnya tidak tinggi tapi orang-orang yang tidak melihatnya sampai Elsa ...."

Tiba-tiba kalimat Hendra terputus. Dia melihat gadis itu masuk melalui pintu yang dibiarkan terbuka.

"Bapak, lagi ada tamu ya," kata gadis itu.

Rian dan Iqbal terpaksa menoleh untuk melihat siapa yang datang.

"Pak Rian, Pak Iqbal," sapa Elsa.

Elsa duduk di sebelah ayahnya dan berhadapan dengan orang bertangan kidal itu dengan posisi tangan yang sama seperti pertemuan mereka sebelumnya. Elsa menyandarkan tubuhnya yang penat ke sandaran sofa dan melipat kedua tangannya di dadanya. Dia memejamkan matanya namun tidak tidur. Dia benar-benar lelah. Hidupnya yang tentram tiba-tiba berubah drastis dalam beberapa hari. Bosnya terbunuh dan kemungkinan dia akan menjadi pengangguran. Belum ada yang mengambil alih perusahaan itu. Jika istri bosnya yang menggantikan posisi suaminya, maka kemungkinan besar wanita itu tidak akan memilihnya sebagai sekretarisnya.

"Elsa, mereka ingin menanyaimu mengenai alibimu," kata Hendra sambil menatap iba pada anak angkatnya.

"Alibi," gumam Elsa seakan dia berada di dunia lain.

"Iya, saudara Elsa," kata Rian, "kami ingin menanyakan alibi Anda kemarin jam tiga pagi dan pada sore hari antara jam lima dan jam enam lebih sedikit. Tapi sebelumnya saya ingin menanyakan jam berapa Anda sampai rumah pada hari Selasa?"

"Sekitar jam setengah 12 malam."

"Lalu Anda menemukan tubuh pacar Anda?"

"Ya, soalnya pas itu dia mengerang. Kalau tidak mengerang mungkin dia sekarang udah meninggal."

"Lalu alibi Anda kemarin jam tiga pagi dan pada sore hari antara jam lima dan jam enam lebih sedikit?"

"Memangnya apa yang terjadi pada jam-jam itu?" tanya Elsa sambil bergumam dan masih dengan mata terpejam.

"Kemarin jam 3 pagi ada wanita yang menemui Herman Adiwijaya di rumahnya, kemungkinan wanita." Akhirnya Rian bisa menyelesaikan kalimat itu setelah sebelumnya terpotong.

"Bisa aja dia wanita lain dalam hidup bos saya," kata Elsa yang kini telah membuka matanya lebar-lebar dan menatap tajam inspektur berbadan besar itu.

"Bukan anaknya?" pancing Rian.

"Siapa juga anak bos saya. Setau saya bos saya tidak punya anak," kata Elsa tenang walaupun jantungnya sedang menari-nari tidak teratur.

"Ada kemiripan antara Anda dan bos Anda. Bersediakah Anda melakukan tes DNA untuk membuktikan bahwa Anda adalah ...."

"Tidak perlu tes DNA," potong Elsa.

"Jadi ...."

"Ya, saya anak Herman Adiwijaya."

"Oh sekarang Anda mengaku," kata Rian.

"Sekarang apa yang kalian inginkan. Saya punya motif untuk membunuhnya. Saya udah tau cukup lama ...."

"Elsa!"

"Iya, Pak. Aku udah tau lama kalau Herman Adiwijaya. Aku sempet maksa Pak Herman buat tes DNA. Ibu, pas aku kecil, ibu sering nyebut nama itu, Herman Adiwijaya terus nyebut nama itu sampai Ibu meninggal. Ibu nggak nyebut dia ayahku. Om Andi juga nggak bilang siapa laki-laki itu. Aku emang sengaja ngelamar di perusahaannya pas lagi buka lowongan dan kebetulan banget posisinya sebagai sekretarisnya. Aku bisa deket sama Pak Herman. Ya ... tes DNA, aku minta tes DNA habis aku minta keterangan darinya tentang Ibu. Kebetulan dia pasang foto Ibu jadi wallpaper ponselnya dan aku nggak sengaja liat." Cerita yang selama ini ia pendam sendiri itu meluncur dengan sendirinya dari bibirnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 10, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The Memoirs of Time (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now