2.2 Cinta Pada Pandangan Pertama

Mulai dari awal
                                    

Damar menggeleng sambil meraih botol kecap ketika mangkuk bakso sudah ada di hadapannya. Ia selalu makan bakso super pedas dan super gelap karena banyaknya kecap yang ia masukkan dalam mangkuk baksonya. Muti kadang mengernyit melihat cara makan Damar itu.

"Takut kalah lo ya?"

"Ih, nggak level yah! Gue jauh lebih jago daripada dia."

Muti mencibir. "Buktiin dong!"

Damar berhenti memakan baksonya dan menatap Muti. "Buat apa? Nggak ada untungnya kan kami tanding? Buat naikin prestise doang gitu? Biar dianggep paling cool di sekolah? Maaf, gue nggak tertarik."

"Jadi nggak masalah buat lo gitu kalau sekarang semua cewek termasuk Acha ngejar-ngejar Nero? Dia jauh lebih dipuja daripada lo sekarang, tahu nggak?"

Damar menggeleng dengan tegas. "Gue nggak peduli semua cewek ngejar dia asal lo enggak."

Muti tersedak, benar-benar tersedak, bulatan bakso yang tengah ia kunyah. Damar berdecak dan bangkit dari duduknya sambil memijit tengkuk Muti dengan pelan.

"Makan pelan-pelan dong, Mut. Lo emang nggak pernah baca kalau ada orang yang mati kesedak??"

"Lagian elo juga sih ngomong aneh-aneh."

"Aneh-aneh gimana? Elo-nya yang aneh, Marmut! Emang selama ini gue pernah peduli sama cewek selain elo? Enggak kan?" Ucap Damar sambil menoyor kepala Muti dan kembali duduk menikmati baksonya.

Muti mengamati Damar yang asyik dengan baksonya. Cowok itu memang sering bicara sembarangan, tetapi Muti tahu tidak semua yang Damar ucapkan itu benar-benar sembarangan. Termasuk itu. Lalu apa bedanya bagi Damar jika ia mengejar Nero atau tidak? Bagaimana seandainya Damar tahu jika dirinya juga diam-diam naksir Nero? Apa cowok itu akan marah padanya?

"Lo nggak naksir gue kan?" tanya Muti dengan santai.

Damar menoleh dari keasyikannya menggigit bakso urat dan menatap Muti dengan dahi berkerut. "Dih, ngarep ya gue taksir?"

Meski menyebalkan, mau tidak mau jawaban itu membuat Muti mengembuskan napas lega. Jujur, ia tidak akan sanggup kehilangan Damar jika cowok itu sampai menyukainya. Walaupun memang kemungkinannya sangat kecil. Cowok sepopuler Damar tidak akan pernah menyukainya. Bahkan meskipun kepopuleran Damar tergeser oleh Nero, masih akan ada banyak cewek yang antre untuk menjadi pacar Damar.

"Elo ..."

"Kenapa nggak nonton pertandingan sampai selesai?"

Pertanyaan itu menghentikan perkataan Damar dan membuat mereka berdua menoleh. Nero, masih dengan kaus olahraga dan rambut yang basah oleh keringat, berdiri tidak jauh dari Muti bak dewa ketampanan Yunani yang tiada tandingannya.

Muti menelan ludah dengan susah payah. Sedikit bersyukur dia tidak sedang mengunyah bulatan bakso karena bisa dipastikan ia akan tersedak dan benar-benar mati seperti ucapan Damar tadi.

Bagaimana cowok setampan Nero benar-benar ada di dunia ini? Kebanyakan cowok akan terlihat menjijikkan saat berkeringat, tetapi Nero justru sebaliknya. Ia terlihat semakin menawan. Muti mendengkus dalam hati. Ia pasti kebanyakan membaca novel yang sering Sandy bawa ke sekolah.

"Mutiara Dunia, aku nanya sama kamu. Kenapa diem aja?"

Sejak kapan namanya menjadi begitu merdu untuk diucapkan?Biasanya Muti lebih sering merasa malu ketika orang menyebutkan nama lengkapnya karena itu adalah nama yang sangat tidak pasaran. Ia sering protes kepada mamanya kenapa ia tidak memiliki nama pasaran saja seperti Dewi, Ratna, atau Sari.

Namun, ketika mendengarnya dari bibir Nero, rasanya Muti ingin meneriakkan nama lengkapnya pada semua orang dengan bahagia.

"Mutiara?" panggil Nero lagi ketika Muti tetap diam.

Muti tergagap dan tersenyum. "Iya, aku laper," jawabnya sambil menyeringai salah tingkah. Padahal, ia tidak pernah salah tingkah sebelumnya!

Nero duduk di sisi tubuh Muti yang lain dan meraih gelas es jeruknya, lalu meminumnya sampai habis. Muti ingin marah seperti yang tadi dilakukannya pada Damar, tetapi ini Nero! Nero meminum gelas yang sama dengannya!

"Lain kali," ucap Nero sambil menatap Muti, "kalau aku lagi tanding, tungguin sampai selesai. Jangan ilang-ilangan kayak gini."

Muti melongo memandang cowok itu. Apa maksudnya? Memangnya Nero itu pacarnya? Bukankah hanya pacar-pacar yang menemani setiap pertandingan?

"Emangnya elo siapanya Marmut sampai mesti ditungguin kalau lagi tanding?" Tanya Damar sinis, menyuarakan pikiran Muti.

Nero tersenyum tidak kalah sinis dan menatap Damar. "Aku pacarnya." Lalu, ia kembali menoleh pada Muti dan berkata, "Mutiara, kamu mau kan jadi pacarku?"

=======

Ya, sekarang emang bukan jamannya basa basi. Semua harus serba gercep. Yo ra? 😏😏

Selamat hari raya Idul Fitri 1440H, man-temans. Maapin ya kalau updatenya suka molor, kalau komen nggak pada di bales.
Mianhae ~~

Big Hugs and Kisses,
😘😘
Niken
#090619#

(Not) An Ugly Duckling (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang