PROLOG // Kardigan Navy

38 5 0
                                    

Dua tahun lalu. Agak cuma tahu dia cewek dengan kardigan navy. Kemudian lupa etelah kepalanya diisi lagi dengan rumus eksak.

Gue dan Fahri masih di sini. Dia menggerutu sejak tadi, gue coba buat Fahri diam tapi selalu gagal. Fahri ini kayak anak cewek. Mengguncang bahu gue tiap sepuluh menit. Gue sama dia tengah menunggu dokter Hadiyan untuk wawancara. Tapi gue bersyukur Fahri sudah tidak lagi di samping gue, dia pergi untuk membeli minuman ke kantin dan belum kembali.

Gue memerhatikan tiap sudut rumah sakit. Gue duduk di kursi panjang ruang tunggu. Di samping gue ada pintu ruang periksa mata, kemudian tempat Fahri menuju kantin, ada di belakang tangga. Bau rumah sakit selalu khas. Gue punya ingatan buruk soal aroma ini. Sudah lama, jadi tidak perlu diceritakan.

Ngomong-ngomong rumah sakit, tempat ini selalu menjadi latar paling sering gue temui hal-hal yang membuat, eh, kagum? Yang pasti segala ingatan yang membekas selalu ada di rumah sakit. Seperti sekarang, gue yang tengah santai mendengarkan musik dari earphone, mendadak tertarik dengan seorang nenek tua yang berdiri di depan tempat pengambilan obat, tengah komplain sesuatu kepada seorang wanita petugas apoteker.

"Ini tulisannya dua-puluh-dua kosong-lima tujuh-belas, bukan ya, Nak? Soalnya kalau betul, itu berarti salepnya udah kedaluwarsa," kata Nenek, petugas apoteker mengintip ke bagian salep yang Nenek bicarakan.

"Alah, masak sih, Nek. Sini coba tak lihat dulu."

Ibu-ibu berusia sekitar di bawah empat puluh tahunan itu mengambil salep dari tangan si nenek. Gue yang penasaran, menajamkan telinga dan pandangan.

Diam sejenak, si Petugas Apoteker berbicara. "Bukan, ini mah, Nek. Ini tuh bukam tanggal expired-nya, Nek. Ini itu, ya berarti tanggal pemasarannya, Nek."

"Tanggal pemasaran?" Nenek bertanya, semakin kebingungan. "Ada yang begituan, ya, Nak?"

"Ada, dong, Nek. Nenek mah ngga tau apa-apa soal obat, kenapa udah protes dulu—"

Gue hendak berdiri untuk memastikan apa yang dikatakan petugas apoteker itu bukan sekadar pembelaan. Tapi, seorang cewek dengan kardigan berwarna navy, datang tiba-tiba, mendahului langkah gue. Ia mengambil salep itu dari tangan ibu-ibu petugas apoteker.

"Sini, Bu. Saya pengen liat," kata si cewek pada petugas apoteker rumah sakit, melalui lubang yang digunakan untuk berkomunikasi antara petugas dengan pasien. "Maaf, Bu. Bukan maksud saya lancang. Kalau boleh, saya hanya ingin memastikan."

Petugas apoteker tersulut, ia memotong, "Kamu ini, masih kecil. Kamu ngga tau karena kamu belum pernah sekolah sama kayak saya. Ngga usah sok tahu, deh. Remaja zaman sekarang ngga sopan banget, ikut campur masalah orang dewasa."

Cewek berkardigan itu, yang kelihatan naik pitam, bilang, "Maaf, Bu. Saya memang tidak menempuh jalur pendidikan sederajat dengan ibu. Mungkin ibu udah sarjana farmasi, bertahun-tahun lalu. Sudah berpengalaman, tapi sikap ibu ngga jujur,"—ada penekanan di sana—"saya bilang gini semata karena ingin menolong nenek ini—"

"Eh, kenapa malah makin nyolot gini sih anak. Kamu kesini sama siapa, Dek? Mana orang tuanya?" kata ibu-ibu petugas apoteker. Gue bersiap untuk mengambil langkah maju, barangkali akan ada perseteruan.

Cewek itu menjawab, "Bu, sebelumnya saya benar-benar minta maaf jika sudah lancang sama Ibu. Tapi ini penting, karena jika memang betul Ibu memberikan obat salep yang udah kedaluwarsa kayak gini, apa Ibu bisa bertanggung jawab atas apa yang bakalan terjadi dengan nenek ini? Di sini jelas-jelas tertulis 22 Mei, tanggal hari ini. Kalo memang ini tanggal pemasarannya, seharusnya bukan tertulis 22 Mei, mungkin bisa beberapa hari sebelum salep ini sampai di tangan Nenek. Karena tentunya salep ini bukan datang di hari ini 'kan, Bu? Tapi gimana bisa—"

Cewek itu menjelaskan panjang lebar, nyaris tidak bernapas. Gue berniat untuk ikut campur, membantu si cewek.Tapi tiba-tiba pintu ruang obat dihentakkan dengan keras. Ibu petugas apoteker keluar sambil berteriak.

"Gila, ya, kamu?! Sekolah di mana si, Dek! Bisa-bisanya ngomong ngga sopan sama orang tua. Coba sini tak liat seragamnya. Engga tahu malu. Nrocos terus!"

Ibu petugas apoteker itu menyingkap lengan bahu kardigan si cewek untuk melihat seragam sekolahnya. Ia berniat melihat informasi badge seragam si cewek, dimana ia bersekolah. Gue sama penasarannya sebenarnya, tapi di jarak sejauh ini, tidak cukup jelas untuk membaca tulisan bordir mini seperti itu.

Si nenek meraih cewek itu, menjauhkannya dari petugas apoteker. Tapi sayangnya sang nenek kurang gesit. Cewek dengan rambut diikat satu belakang itu menjerit ketika lengan kardigannya tersingkap, menampilkan seragam putihnya. Keributan yang terjadi terhenti tiba-tiba ketika seorang lelaki paruh bayu bergabung.

"Ada apa ini?"

Tidak hanya gue, seluruh mata di rumah sakit ini memandang perseteruan antara petugas apoteker dengan cewek pelajar SMP itu. Mungkin mereka sama kayak gue. Ingin menolong, tapi tidak tahu kapan dan harus bagaimana.

Petugas apoteker menunduk dalam melihat kabid humas rumah sakit datang—gue lihat di bagian nametag bapak itu. Si nenek dan cewek berkardigan navy juga diam, mukanya merah padam.

"Ada apa, Nak?" kata bapak kabid humas itu.

"Jadi begini, Pak," kata cewek itu santai. "Tadi, saya mendengar kalau nenek ini mendapat salep yang sudah kedaluwarsa." Ia berhenti, memandang petugas apoteker, bersiap jika ia menyela. Tapi ternyata tidak. Kemudian ia melanjutkan. "Tapi, ibu ini bilang, kalau itu bukan tanggal kedaluwarsa, melainkan tanggal pemasaran. Sebelumnya, Pak. Saya minta maaf, jika benar ini tanggal pemasaran, mengapa di sini tertulis tanggal hari ini? 22 Mei. Seharusnya beberapa hari sebelum hari ini 'kan, Pak? Dan saya, kembali pada kewajiban saya, hanya membantu nenek ini agar terhindar dari bahaya sebab obat yang sudah kedaluwarsa."

Dalam hati, gue bertepuk tangan. Sudah jelas ia akan menang. Bagaimana cewek itu menjelaskan panjang lebar tanpa jeda, tapi santai, tanpa emosi yang berlebihan. Ia mungkin bisa jadi pengacara. Atau jaksa? Sepertinya. Untuk bocah usia SMP, berbicara dengan kepala bidang rumah sakit yang tentunya sudah bukan lagi anak muda, ia melakukannya dengan baik. Sangat baik.

"Bisa dilihat, Dek?" kata bapak itu. Cewek berkardigan memberikannya dengan senang hati.

"Oh, tentu, Pak. Silahkan."

Sejenak hening. Seluruh pasien rumah sakit di ruang tunggu obat, tampak tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi. Sebagian dari mereka duduk kembali, kecuali yang benar-benar ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, seperti gue.

"Astaghfirullaah," desah Pak Kabid, tampak menyesal. Ditatapnya dalam-dalam si ibu petugas apoteker, kemudian mendorong lengannya untuk meminta maaf. Tapi ia justru pergi, enggan. Ibu petugas apoteker itu keluar rumah sakit, entah kemana.

Gue menghela napas. Bersyukur si nenek tidak jadi meminum obat kedaluwarsa.

"Maafkan kami, Dek. Kami sungguh meminta maaf atas apa terjadi. Kami mengakui, obat ini sudah kedaluwarsa, ini kesalahan kami. Maaf," kata bapak kepala, sedikit menunduk dan menjabat tangan si cewek.

Sikap cewek itu kembali membuat gue kagum.

"Jangan minta maaf ke saya, Pak. Minta maaf ke nenek ini," katanya, sambil berlalu. Di wajahnya tidak gue temukan ekspresi jengkel. Ia berjalan sambil memasukkan dua tangannya ke dalam saku kardigan, mengambil tas dari bangku dan melangkah. Rok birunya kentara ia adalah pelajar SMP, sama seperti gue.

Setelah meminta maaf pada si nenek, Pak Kabid mengejar si cewek berkardigan. Tapi ia terlambat, kehadiran cewek itu sudah tidak ada.

"Woi, ada apa, Gak?" Fahri datang mengagetkan gue. Dia menggenggam dua cup eskrim.

"Lo cuma ketinggalan kejadian rame," jawab gue enteng, mengambil cup eskrim dari tangan Fahri.

"Eh, ini anak! Ceritain cepetan!"

"Salah lo pergi."

"Lagian eskrimnya elo makan juga, kan. Gak, beritahu gue."

"Udah, jangan ribut."[]

NADIYA LUNARKde žijí příběhy. Začni objevovat