Datang dengan mata sembab serta bengkak tentu membuat diri Akashi terkejut. Raga dengan cepat berjalan menuju sang hawa tanpa memedulikan tumpukan kertas berantakan akibat ulahnya.

"Ada apa?"

Belah bibir tak kuasa untuk menahan diri untuk tidak bertanya keadaan pujaan hati, tatapan penuh kekhawatiran terus terarah sembari menunggu jawaban sederhana menjawab pertanyaannya barusan. Tangan pun tak berhenti membelai lembut surai kusut dan mata merah sembab gadisnya.

"Sei ..."

Akashi merespon kecil, tangan tak henti-hentinya membelai kepalan tangan sang hawa, seakan memberi tahu bahwa dirinya sedang berada di sisi gadisnya, "Aku disini ... "

Tanpa respon gumaman dan sebagainya, sang gadis langsung menghambur pelukan pada diri si surai merah, kemudian menangis nyaring tanpa memedulikan apapun lagi. Menjadikan sang kekasih sebagai pilar jikalau dirinya rubuh, teriakan pun terdengar menyayat hati siapapun yang mendengar, teriakan yang penuh oleh rasa frustasi yang dalam. Sedari mereka kecil pun, Akashi tak pernah sekalipun mendapati sang gadis dalam keadaan seperti ini, bahkan setetes air mata kesedihan pun tak pernah ia temukan dalam mimik wajah pujaan.

"Aku ... ibu ... ayah ... pergi ... hilang ... berpisah ... sendiri ..."

"Tenangkan dirimu, setelah itu berceritalah. Aku akan tetap disini."

"Hiks, hiks, hwaaa!!"

"Tumpahkan segalanya, pecahkan seluruh tekananmu. Jika menangis dapat membuatmu lebih baik, lakukanlah sampai kau merasa lega."

Tangan Akashi tergerak membelai tanpa terkecuali, dekapan hangat disalurkan agar keadaan sang hawa terasa lebih baik. Hal demikian terus dilakukan seiring nyaring tangisan perlahan mereda, menyisakan sisa isakan kecil sebagai tanda diri masih berusaha mengontrol kadar kesedihan.

"Beberapa bulan lalu ... ayah dan ibu berkata ingin mengunjungi rumah keluarga besar di prefektur Nagoya. Dikarenakan kereta mengalami masalah teknis dan sebagainya sehingga terpaksa di hentikan untuk sementara ... membuat ayah dan ibu memaksa pergi menggunakan kapal. Awalnya semua terdengar baik-baik saja tapi ..."

"Hentikanlah jika kau tertekan, aku tak keberatan."

Sang gadis menggeleng, pertanda diri masih berkenan melanjutkan cerita meskipun benak terasa sedikit terpaksa untuk mengingat kejadian tempo hari.

"Disaat berita badai menyerang laut jalur menuju Nagoya yang digunakan ayah dan ibu beredar, berhasil memaksa pikiranku untuk berhenti berpikir jernih tentang mereka. Dan puncaknya ketika telingaku mendengar berita hilangnya mereka di teluk Nagoya ...

Tubuh sang hawa bergetar samar dalam pelukan si surai merah.

... disitulah aku merasa pikiran jernih milikku tak lagi memiliki fungsinya ..."

"Ya ... aku mengerti rasanya, orang tersayangmu pergi tanpa adanya tanda yang jelas ... menyakitkan."

"Hiks- beberapa hari kemudian akhirnya kabar baik menghampiriku, 'ayah dan ibu telah ditemukan dan kini berada di kediaman keluarga besar [Last Name]'. Tanpa mendengar kelanjutannya, diriku langsung tancap gas menuju Nagoya dengan perasaan bahagia, namun sesampainya disana ..."

Getaran tubuh semakin terasa kuat, terasa seperti menahan sesuatu sekuat tenaga.

"... yang kulihat bukanlah senyum hangat ibu ataupun cengiran lebar ayah ..."

Air mata kembali mengeluarkan cairan bening tanpa pertanda, tak ada lagi isakan kecil seperti barusan, kini hanya ada sosok wanita rapuh berusia 20 tahun yang menangis sesunggukan.

"... yang kutemukan malah tubuh tak lengkap tanpa nyawa sedang terbungkus dalam kantung jasad tim penyelamat Jepang."

Tak tahu harus merespon bagaimana, Akashi hanya bisa menenangkan sang pujaan lewat dekapan yang biasa ia berikan kala raut murung ataupun kecewa tampak di rupa gadisnya, seiring kalimat penenang turut dilantunkan pada kedua telinga pujaan hati. Fase penenangan terus berlanjut hingga sang gadis memutuskan untuk menenangkan diri di ujung tebing, tempat favoritnya kala merasa gundah.

Berdiri tegap menghadap dalamnya tebing dengan suasana berangin lembut nampak membantu sedikit perasaan si surai [Hair Colour]. "Kau tahu ..?"

"Hm?

"Setelah melihat jasad kedua orang tuaku, aku merasa saat itu pula duniaku runtuh. Tak akan ada lagi senyum penyemangat serta candaan, tak ada lagi keseruan dan warna seperti biasa ..."

"Aku tahu ..."

"Tapi semua pikiran buruk akan kesepian tiba-tiba sirna, perlahan bayangan tentang senyum dan perhatianmu memenuhi benakku, memaksa berpikir bahwa kau pasti tidak akan meninggalkanku seperti orang tuaku ... benarkan, Seijuro?"

"Tentu saja aku tidak mungkin meninggalkanmu, setiap orang juga pasti tahu- sebuah senyum bahagia mampu menyembunyikan berjuta kesedihan- aku bisa melihat hal itu dari keadaanmu, tapi ..."

Tanpa sadar Akashi menggumam tuturan penenang yang ia berikan saat itu, netra merah menatap nanar jepret kamera terakhir yang di potretnya beberapa saat lalu.

"Seijuro."

Pemilik nama berbalik, berganti menatap sang pemanggil dengan tatapan sayu kemudian tersenyum biasa, "Ada apa ..,"

Akashi perlahan beranjak, bergerak mendekati sosok pemanggil dengan langkah berat. ",.. [Name]."

[Name], sosok wanita yang selama ini menjadi objek pengamatan Akashi lewat media kamera. Mengabadikan pesona satu insan dengan perantara potret digital.

"Tidak ada, hanya mampir setelah dua tahun tak berkunjung kemari. Selain itu ..," ujar [Name] sembari terkekeh, manik [Eye Colour] miliknya menatap lembut ke arah keberadaan Akashi.

Perasaan sesak dalam dada timbul bersamaan hanya dengan melihat eksistensi satu sama lain. Berusaha menahan rasa sedih yang berkecamuk dalam diri dan menutupi hal tersebut dengan senyum paksa.

Jarak semakin menipis dikarenakan kedua insan saling mengikis tempat berdiri, namun tidak lebih dari batas masing-masing setengah meter.

",.. Selamat untuk pernikahanmu, Sei- maksudku, Mr. Akashi."

Akashi merasa setengah dari dirinya perlahan retak kemudian pecah menjadi kepingan kecil ketika mendengar ucapan selamat dari gadis pujaan yang sesungguhnya, dalam hatinya tahu, gadisnya telah mengumpulkan banyak keberanian untuk mengatakan hal demikian.

Tangannya terkepal, sesak dalam dada pun semakin menyiksa. "Ya, terima kasih," Tangan terkepal, melampiaskan rasa sesak lewat helaan napas yang mulai memberat seiring tuturan lanjutan diluncurkan,

"Kuucapkan selamat juga atas pernikahanmu, Mrs. Nijimura."

Omake;

"Nee, Sei- kita berdua sama-sama benci pada paksaan, bukan?"

"Ya, begitulah."

"Tapi, tetap saja ..,"

"Kau benar ..,"

"Tetap saja kita terseret ke dalam paksaan itu, dan menghasilkan akhir menyedihkan seperti ini ..,"

→ e n d ←

First Collaboration: AlphabetWhere stories live. Discover now