Chapter 01

110 19 2
                                    

"Hening menatap sunyi, berteman sebuah Ilusi,
kesepian menjadi daya tarik tersendiri".
-Indira Adeline Hanna

Saudara seperti bunga yang berbeda, dari taman yang sama. Embusan ungkapan yang sering kali aku dengar, kalimat yang cukup manis.

Bukan sedih atau kecewa, entah apa itu namanya, tetapi ... aku merasa punya beban tersendiri sebagai anak sulung pastinya tentang tanggung jawab. Tetapi, bukan itu permasalahan yang sebenarnya.

Katub perbedaan menutup paksa kebahagiaan. Ya, dari kecil aku mengenal kata perbedaan antara aku dan adik perempuanku. Elsya Oktavia, seorang gadis manis yang ditakdirkan untuk mengubah semua rencana. Seorang yang telah membuatku percaya akan sebuah renjana.

Usia kami terpaut hanya dua tahun. Elsya gadis yang kuat, pemberani, cantik, pintar dan punya seribu Keberuntungan dalam hidupnya.

"Dari kecil adikmu, gak pernah yang namanya nyusahin orang tua, adikmu itu sumber rezeki di keluarga ini. Semua keinginannya datang dengan sendirinya, coba Kak Hanna? Dari kecil udah sakit-sakitan fisiknya lemah dikit-dikit dokter. Coba kalau uang berobat Hanna dari kecil dikumpulin pasti udah dapet rumah!"

Kata-kata kutukan yang sering kali mama lontarkan, kalimat terurai, menghujam tepat sasaran yang sukses membuat netraku nanar. Aku telah dibiarkan membelenggu fisik lemah bukan keinginanku!

Hitam putih kalender berlalu, dari sinilah aku tumbuh menjadi seorang yang tertutup, tidak percaya diri, sulit bergaul, segelintir teman jelas punya walaupun hanya beberapa.

Aku nyaman dengan kepribadianku, hening yang selalu menatap sunyi, berteman sebuah Ilusi, kesepian menjadi daya tarik tersendiri.

Dan karena kepribadianku yang tertutup, mereka menjauh mana mau mereka berteman dengan si kutu buku sepertiku. Dianggap sok pintar, nyari muka para guru, ahh ... sudahlah aku sudah terlalu lelah, mungkin diam dan menjauh adalah pilihan terbaik yang bisa ku lakukan saat ini. aku tau mereka jengkel. Tapi apa urusanku, tidak mungkin juga kan mereka berani membunuh seseorang dengan sikap dingin sepertiku?

****

Sinar matahari berada dibatas garis terbarat cakrawala. Senja dengan nama itulah ia biasa dipanggil.

Aku yang tengah lusuh dengan semburat panik terlihat jelas pada wajah yang kian lesu. Terhuyung berjalan mengendarai kendaraan matic,

Darah mendesir mengalir pelan, menjalari tangan yang sedari tadi mulai bergetar. Melihat mata yang siap menerkam mengingatkanku pada ayat-ayat perlindungan la haula wala quwwata..

Itu Ayah. Aku terlambat pulang, pasti beliau sangat marah.

Yang benar saja, yang aku takutkan terjadi.

"Assalamualaikum, Ayah maaf Hanna pulang terlambat." sapaku samar.

"Wa'alaikum salam, keluyuran dari mana saja kamu? Ini sudah mau maghrib Hanna!"

"Emm ... Hanna di rumah temen, ada tugas akhir tambahan, Hanna juga harus segera menyelesaikan beberapa makalah, Yah."

"Kalau bicara yang bener! Kamu tau Nadia kakak kelas kamu! Dia kecelakaan tadi sore, pamitnya nugas ke temen gak taunya pergi jalan sama pacarnya, kamu mau bohong juga?"

"Maaf Ayah, tapi memang Hanna tidak berbohong, Handphone pun tertinggal di rumah. Itu sebabnya Hanna tidak bisa memberi kabar," ujarku mencoba menjelaskan

"Cepat masuk. Mandi, salat lalu makan." timpal ayah mulai mereda,

Huffftttt ... syukurlah aku bisa kembali bernafas dengan tenang.

Ayah memang seperti itu beliau sedikit kaku, anak gadis tidak boleh ini itu, terlalu banyak larangan. Sekali bilang tidak ya tidak. Tapi, jika seperti ini terus lantas sampai kapan?

Aku juga ingin seperti teman- temanku yang lain. Bagaimana bisa aku punya kepribadian mandiri? Jika ke mana pun selalu diawasi, pergi ke mana pun harus dengan ayah.

Aku sudah membuat keputusan entah diizinkan atau tidak, tapi semua itu sudah bulat. Hingga pada satu kesempatan aku mulai memberanikan diri berbicara perihal keinginankus
r
Ayah ...? Hanna Mau kuliah di Universitas Pelita Jaya, " titahku ragu.

"Tidak salah kamu? Itu jauh, bahkan terlalu jauh gak! Cari Univ yang dekat dari sini, selain ayah bisa ngawasin kamu, hemat biaya juga. Belum biaya transpor, kos, makan. Tidak! Ayah tidak akan mengijinkan kamu! "

"Hanna mau mandiri. Rasanya teramat ingin seperti teman-teman yang lain, bisakah Ayah menaruh sedikit saja rasa percaya, pada diri Hanna? sedikit saja. Hanna juga bisa jaga diri."

"Cukup Hanna! Kalau adikmu yang berangkat mungkin mama akan sedikit percaya kalau dia bisa, tapi kalau kamu? Tidak bisa diandalkan! Mama tau kamu, rasanya sulit dipercaya. Apalagi untuk hidup di kota orang, dan itu sendiri? Pokoknya mama melarang kamu."

Hentakan tak asing bergelut menyeruak di telinga. Mendengar kata-kata itu ragaku tertahan, terdiam rasanya seperti mematung. Alangkah bodohnya aku, untuk menentukan nasib masa depanku sendiri, mereka enggan melibatkanku dalam suatu keputusan. Dan kenapa selalu adikku?

Aku berjingkat memasuki kamar membanting impian didasar angan. Terisak, tengkurap kemudian mengusap air mata. Bangkit berusaha memunguti kembali impian yang hampir lenyap.

Ketahuilah dunia ini luas, hamparan kehidupan yang megah, terkadang begitu sulit terjamah. Pergilah keluar, jadilah seorang yang pemberani. Mengarung dan berjumpa mahluk berjuta rupa, maka kau akan belajar dari sana, sudah saatnya kami memberi kepercayaan.
Namun satu hal, jangan lupakan tentang arah jalan pulang.

Seandainya ada sebuah keajaiban, seandainya semua orang tua punya satu pemikiran yang sama. Bagaimana mempersiapkan seorang anak, menjalani kehidupan sesungguhnya di luaran sana.

Tuhan ... aku tak menyalahkan siapapun disini. Semua orang tua tahu mana yang terbaik untuk anaknya. Terima kasih, tidak apa-apa Tuhan ... mereka jauh lebih penting dari egoku sendiri.

"Aku telah bersusah payah mengutuk waktu, menahan dengan segala gemuruh didadaku, sesuatu yg akhirnya kusimpulkan sebagai...
.
.
Rindu
"

**********
Coment anda sangat diperlukan saat ini,,

Lenyap Tertelan SunyiWhere stories live. Discover now