Bab 4

87 24 66
                                    

Siska sedang istirahat di ruangan khusus karyawan. Televisi yang menyala di ruangan itu menayangkan tentang kematian Herman Adiwijaya.

"Meninggal," kata Siska pada dirinya sendiri. Kemarin, jutawan itu masih segar bugar saat berkunjung ke kafe.

"Mungkin lebih baik dia meninggal," kata Siska sambil meninggalkan ruangan itu sambil tersenyum.

***

"Herman Adiwijaya mati," ucap wanita berbibir indah itu.

Di Apartemen studio yang mewah itu Melina duduk di tempat tidurnya sambil menonton berita kematian Herman Adiwijaya di televisi.

"Herman Adiwijaya mati," ulangnya.

Dia melihat perutnya yang mulai membuncit dan mengelus perutnya.

"Dia mati," katanya. "Anakku, ayahmu mati."

Dia merebahkan tubuhnya lalu memejamkan matanya. Dia bertemu dengan pria itu saat bekerja. Saat itu manajernya mengatakan bahwa perusahaan Herman Adiwijaya memberinya tawaran untuk menjadi model produknya. Dia menerima tawaran tersebut dan bertemu dengan pria itu. Dari hanya sekedar hubungan kerja, hubungan mereka berlanjut lebih serius. Ya, Melina menjadi kekasih gelap pria itu. Melina sadar bahwa dia telah mencintai pria itu. Kini rasa cinta itu telah berubah menjadi rasa benci. Dia membenci pria itu karena dia tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya.

"Hahahaha." Melina tertawa.

"Hahahaha!" Melina terus tertawa dan tanpa dia sadari tawanya makin keras.

Tubuhnya tiba-tiba bergetar dan dia masih tertawa. Lama-lama tawanya terdengar semakin aneh dan melengking.

***

Kedua perwira polisi itu diantar petugas apartemen menyusuri lorong apartemen mewah itu. Mereka berhenti di depan pintu ruangan nomor D/12/03. Tawa histeris wanita samar-samar terdengar dari sebelah kiri ruangan itu.

"Penghuni sebelah baik-baik saja?" tanya Inspektur Rian.

"Tidak tahu, Pak," kata petugas muda itu. "Yang saya tahu ruangan itu ditempati oleh seorang model, Pak. Namanya Melina."

"Oh." Hanya itu yang terlontar dari mulut Rian.

Pria itu membuka pintu ruangan itu dan di hadapan mereka terlihat ruangan yang sangat rapi. Mereka melintasi ruangan serbaguna itu menuju pintu geser kaca yang menghubungkan ke balkon. Pintu itu terbuka. Di situ, tubuh seorang pria tergeletak dengan tangan terlentang di lantai, matanya membelalak tapi sudah bisa dipastikan kalau pria itu meninggal.

"Sudara Beni, Tempat ini belum diubah-ubah, kan?" tanya Rian sambil membaca nama di seragam petugas itu.

"Belum, Pak."

"Siapa yang pertama kali menemukan tubuh Pak Andi?"

"Saya, Pak."

"Untuk apa Pak Andi memanggil Anda?"

"Saya teknisi yang ditugaskan di sini, Pak. Jam 6 sore saya menerima telepon dari Pak Andi. Pak Andi bilang kalau lampu di kamar mandinya mati. Saya segera menuju ke lokasi. Waktu saya sampai di depan pintu, pintunya agak terbuka."

"Lalu apa yang Anda lakukan?"

"Saya coba mengetuk pintu sambil bilang, 'Teknisi, Pak.' Saya bolak-balik bilang kalau saya teknisi. Tidak ada tanggapan padahal pintunya agak kebuka. Saya curiga jadinya saya masuk saja. Saya awalnya mengira kalau tidak ada orang di ruangan ini. Saya kira kalau Pak Andi turun dan lupa menutup pintunya. Tapi tiba-tiba saya dengar suara orang mengerang. Saya liat dari jendela kaca itu, Pak," kata Beni sambil menunjuk pintu kaca yang lebar itu.

The Memoirs of Time (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang