Bab 19

81.2K 9.1K 549
                                    

Aku membuka mataku ketika cahaya terang masuk menembus kelopak mata. Cahaya yang mendadak menyilaukan membuat aku terusik dari tidurku, mengerjapkan mata berkali-kali. Mencoba memproses pagi yang terasa sangat asing.

Ketika kesadaran aku dapatkan, aku langsung membelalak. Apa lagi pemandangan yang pertama kali aku lihat adalah tubuh Steven yang sedang bertelanjang dada di depan jendela, dengan handuk putih yang melilit pinggangnya.

"Kamu! Kamu sedang apa di sini!" aku refleks bangun dan langsung berteriak.

Steven berdecak mendengar teriakan ku barusan. "Kecilkan suaramu, suaramu mengganggu Fani."

Aku terkesiap, menunduk melihat Fani yang menggeliat di sampingku. Astaga, aku melupakan soal ini. Semalam aku terpaksa menginap di apartemen Steven demi Fani.

"Ma," suara khas bangun tidur putriku membuat aku langsung merengkuh tubuhnya yang hendak bangun.

"Ya, Nak. Ada apa? Mau minum?"

Fani mengucek matanya, mata sembab itu masih menyipit. Tanpa menjawab Fani mengangguk. Aku langsung beranjak dari atas tempat tidur, mengambil air di dapur. Mengabaikan bahwa aku sekarang ada di tempat Steven.

Segelas air yang aku bawa langsung aku berikan kepada Fani. "Nih minum dulu," aku membantu memegangi gelasnya.

"Fani tidak apa-apa 'kan?" tanyaku, cemas saat pikiranku kembali melayang ke dalam sebuah rekaman CCTV yang terjadi pada Fani.

Fani mengangguk. "Fani tidak apa, Ma. Mama tidak apa-apa?"

Aku mengangguk, aku tidak tahu Fani ingat apa tidak. Karena pagi ini ekspresinya biasa saja, hanya matanya yang sedikit membengkak. Aku tahu, pasti Fani menangis terus menerus. Anak kecil mana yang tidak menangis ketika sadar dirinya ada di tempat asing sendirian.

"Mama baik-baik saja sayang. Fani, apa ada yang sakit?" tanyaku, masih khawatir.

Fani menunduk. "Perut Fani sakit, Ma."

Aku refleks mendekat dan mengelus perutnya, bahkan aku tidak peduli dengan Steven yang masih ada di dalam ruangan.

"Sakit? Bagian mana yang sakit? Sini, Mama lihat."

Fani menggeleng. "Perut Fani Ma, sakit. Mau makan,"

Aku diam, mendongak menatap Fani yang memberikan ekspresi kesakitan yang hampir membuatku jantungan. Aku membuang napas lalu membalas. "Astaga, kamu buat Mama cemas saja. Mama pikir sakit kenapa,"

Fani tersenyum. "Ayo Ma, Buat sarapan."

Aku mengangguk. "Iya, kita sarapan di luar ya."

Fani menggeleng. "Tidak mau, Fani mau sarapan buatan Mama."

Aku kembali mengangguk mendengar Fani merengek. "Iya, tapi kamu mandi dulu terus kita pulang buat sarapan."

"Tidak perlu, masak saja di sini. Ada banyak bahan masakan di lemari pendingin,"

Aku menoleh, Steven mendekat dengan pakaian kerja yang sudah rapi. Aku membalas dengan dengusan, kembali menatap Fani. "Ayo mandi, nanti kita buat sarapan di rumah Nenek Siti."

"Tapi Fani sudah sangat lapar, Ma."

Aku mengangguki, masih mencoba membujuk Fani agar menurut kepadaku. Aku tidak mau berlama-lama di sini, aku ingin pergi dari sini."

"Iya, Nak. Tapi─,"

"Jangan keras kepala, Re. Kamu tidak kasihan Fani sudah merengek seperti itu. Masak saja di sini, kebetulan aku juga belum sarapan." Steven kembali berbicara, memotong kalimatku.

Mantan Housekeeper Bos! (Housekeeper Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang