Prolog

115 6 0
                                    

Prolog

Pssstt.. pssstt.. pssstt.. Suara tabung oksigen memenuhi seisi kamar perawatan. Ruangan berlatar serba putih dengan berbagai macam kabel serta selang yang melilit tubuh renta seorang pria. Aku duduk di samping pria tersebut. Seorang pria yang hanya meninggalkan seorang anak laki-laki yang telah dibiayainya bersekolah hingga perguruan tinggi. Ia terbaring berselimut tebal di atas kasur kayu di rumahnya sendiri, tidak sanggup dengan biaya perawatan rumah sakit yang begitu mahal.

Ya, dia adalah Ayahku. Di kamar perawatan yang penuh dengan aroma obat ini, ia sedang berjuang melawan penyakitnya. Umurnya yang sudah menginjak 50 tahun, rupanya sudah tidak kuat menahan tumor paru-paru yang diderita.

"Ayah, aku ingin mengungkapkan sesuatu." Aku memulai untuk mengusir kesunyian, dengan suara yang lirih. Cukup lama aku menunggu jawaban, namun iya masih belum menjawab. Mungkin Ia tidak mendengar.

"Sudah sejak lama sebetulnya, setiap langkah kehidupan dan perjuangan Ayah, ingin sekali aku jadikan sebuah buku. Bolehkah aku mengabadikannya?" Aku menggenggam kedua tangannya, sambil menahan tangis, aku berusaha memberikan senyuman terbaikku untuk yang terakhir kalinya.

"Kau anak yang baik," Ia mulai berbicara, meski dengan suara yang samar dan mulut yang sedikit berbusa di setiap sudutnya, "kecerdasan mu jangan terbuang sia-sia hanya dengan mengurusi kehidupan ayah yang seperti ini. Tapi, benarkah kau memang ingin menulis sebuah buku, mengabadikan sebuah kisah dari perjalanan kehidupan seseorang?"

"Aku dilahirkan untuk menjadi penulis, Ayah. Engkau yang sudah mendidikku sejak kecil untuk senang membaca dan menulis, aku akan tetap menulis selama kau rela aku melakukannya, Ayah."

"Jikalau kau memang benar menginginkannya, ambil buku ini. Aku akan abadi bersamamu di setiap kata yang kau terjemahkan dari buku ini." Dia berusaha menggapai sebuah laci lemari kecil yang berada tepat di samping kasurnya. Aku berusaha membantunya, membongkar laci cukup dalam hingga dia menunjuk ke arah sebuah jurnal yang tersembunyi di dasar laci.

Dia memberikanku sebuah buku yang tampak sangat tua. Sebuah buku yang sudah menguning, dengan judul berbahasa Belanda di halaman sampul. Buku ini tidak terlalu tebal, penuh debu dengan tali pengikat yang tampak sudah longgar. Beberapa halaman sudah lepas dari perekatnya, bahkan beberapa ada yang sudah sobek di tepi kertas.

Aku memang memiliki hobi menulis, beberapa cerpen telah aku hasilkan. Sebagai seorang mahasiswa sastra Belanda, Ayah memang bisa mengandalkan ku dalam penerjemahan. Tapi, untuk menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda, aku belum tentu dapat menyelesaikannya.

"Sudah lama sebenarnya, aku ingin melanjutkan penerjemahan buku ini, tapi tubuhku sudah tidak kuat lagi. Jagalah buku ini dengan nyawamu, sebagaimana penulis buku ini mengorbankan nyawanya demi keutuhan NKRI." Ayah kembali tertidur. Tubuhnya yang sudah lemah memang tidak mampu lagi terjaga untuk waktu yang cukup lama.

Ayah menghabiskan hari itu dengan tidur lelapnya. Mungkin memikirkan Ibu, mungkin juga memikirkan aku. Biarlah, tampaknya dia memang sedang menikmati perjalanan panjang yang sesungguhnya dalam hidup. Mungkin, kini Ia sedang ditemani Ibu berjalan-jalan di sekitar taman, yang dipenuhi oleh sungai dan kolam-kolam susu. Aku berdoa pada Tuhan.

Ya, kini tinggallah aku di kamar sempit dan rumah sederhana ini. Sendiri bersama sebuah buku jurnal milik seseorang yang tidak aku kenal sama sekali. Jikalau bukan karena wasiat dari Ayah kepadaku, cepat atau lambat, sudah pasti buku ini mendapatkan tempat yang lebih cocok dengan kondisinya, di tempat sampah.

Ayahku memang pernah belajar bahasa Belanda sedikit-sedikit.Tapi, untuk menulis sebuah jurnal berbahasa Belanda? Sepertinya mustahil. Baiklah,aku akan memulai untuk menerjemahkannya, tak peduli seberapa penting danberharga isinya. Aku hanya ingin menunaikan janjiku. Beristirahatlah dengan nyaman, Ayah. Aku akan menjadikanmu abadi, dalam setiap garis dan titik yangaku terjemahkan dari buku bersampul kulit dengan ukiran judul berwarna emas bertuliskan, Modderige Weg.


Jejak Lumpur di Dalam Koper TuaWhere stories live. Discover now