3. Kehilangan

165 8 0
                                    

Tama membuka mata. Dia mimpi buruk semalam. Di dalam mimpinya dia sangat sedih. Dia merapal mantra berkali-kali, tapi apa yang dia inginkan, tidak muncul. Kemudian sebuah suara membisikinya bahwa dia harus berdoa untuk mengakhiri kesedihannya.

Tama duduk, mengingat-ingat mimpinya.

Suara itu tadi malam datang karena hatinya terluka. Ini sesuatu yang menyakitkan, meskipun tidak ada luka di tubuhnya. Dia memutuskan untuk berdoa.

Sejauh ini Tama tahu bagaimana cara orang berdoa. Sudah tak terhitung dia mengamati mereka berdoa di berbagai tempat ibadah. Dia telah melihat orang berdiri, rukuk, sujud, bersimpuh, bersila, membuat tanda salip di dada, menangkupkan kedua tangan atau menengadahkan tangan. Orang-orang itu berbicara kepada Tuhan dengan cara yang berbeda.

Tama pun lantas berdoa.

Pada waktu subuh Tama bangun. Dia melompat ke kepala truk yang memuat sayur. Dia menghadap ke Matahari yang sedang terbit. Dia kemudian membungkuk, tapi sejenak kemudian dia bingung tentang apa yang harus dia ucapkan. Akhirnya dia diam saja.

Pada waktu diantara pagi dan siang, di hadapan pohon-pohon dan banyak tanaman dengan bunga-bunga, dia membuat tanda salip di depan dadanya dan menekuk jari-jarinya satu sama lain.

Pada siang hari, sebelum dia menyantap makanan pertamanya, dia menyematkan jari jemari satu sama lain. Matanya terpejam sebentar.

Pada sore hari, dia di tengah lapangan, dengan kedua tangan dia terlihat sedang memegang dupa yang menyala.

Malam tiba. Sebelum tidur, Tama sesaat menengadahkan tangan. Di dalam tidurnya Tama ngelindur, "Tuhan, Tuhan, Tuhan, ...."

*******

Beberapa malam datang, beberapa hari berlalu. Lihat! Tama sedang tidur nyenyak malam ini. Dia lupa berdoa. Ada empat ekor kucing didekatnya. Mereka sedang berdoa untuk Tama.

Pagi berikutnya datang. Tama membuka mata dengan terkejut. Seorang pria tua botak sedang duduk disampingnya.

"Kamu siapa?" Tanya Tama.

"Tuhan."

"O oh."

"Menurutmu aku siapa?" Tuhan balas bertanya.

"Entahlah, aku tidak kenal Tuhan."

"Tidak apa-apa. Jadi, apa permintaanmu?"

"Eh..." Tama sedang mengingat-ingat sesuatu, tapi ternyata dia telah lupa dengan apa yang dia inginkan.

"Aku akan mengajarimu membaca, menulis dan berhitung."

Tama setuju saja dengan ide itu. Setiap empat jam dalam sehari Tuhan mendatangi Tama untuk mengajarkan tiga hal tersebut. Tama adalah seorang yang cerdas. Hanya butuh waktu singkat untuk membuat dia menguasai ketiga pelajaran itu.

Sekarang adalah akhir sesi pelajaran. Tuhan memberinya sebuah buku tulis. "Buatlah banyak kalimat di sini dan kerjakan soal berhitung di dalamnya. Kamu harus berlatih setelah aku pergi."

"Jangan pergi!"

"Penuhilah buku tulis itu. Minggu depan tengah hari, pergilah menemui ibu Guru. Dia akan mengoreksi kata-katamu dan hitunganmu." Dan Tuhan tidak memperdulikan permintaan Tama. Dia berjalan sangat cepat meninggalkan Tama sendiri.

Tama dengan tekun mengisi buku tulis itu sesuai permintaan. Satu minggu telah berlalu.

Hari ini Tama naik bus menuju guru yang ditunjuk oleh Tuhan. Tama akan bertemu ibu Guru. Lihat! Dia sedang duduk di kursi bus, tapi matanya sedang melihat ke suatu tempat. Dia sedang melihat dirinya di masa depan. Dia terus tersenyum.

Tama telah tiba di rumah ibu Guru dan menyerahkan buku tulisnya. Tama penasaran, "Siapa nama Anda, Bu Guru?"

Ibu guru tersenyum dan berkata, "Guru adalah nama saya dan Pak Tuw Han adalah kepala sekolah saya. Tugas saya adalah memberimu koreksi untuk pekerjaanmu."

"Jadi, Guru adalah nama Anda dan Tuhan adalah nama... nama Bapak Kepala Sekolah."

"Benar. Nah sekarang, bagaimana kalau kita mulai membahas bukumu?"

"Ya, Bu Guru."

Tak lama kemudian, "Hanya sedikit kesalahan. Kamu berbakat menulis dan berhitung. Sekarang mari kita merayakan ini."

"Apa itu 'merayakan'?"

"Itu adalah momen ketika kamu merasa bersyukur. Kemudian kamu melakukan suatu hal untuk mengungkapkannya. Contoh, sekarang saya ingin menyajikanmu teh dan kue dan kita bisa makan bersama untuk mengungkapkan perasaan yang baik ini."

Tama merasakan ledakan hangat menenangkan di dalam hatinya, "Ini adalah pertama kalinya saya merayakan sesuatu."

Tama dan ibu Guru kemudian bersama menikmati teh dan kue-kue.

"Ini adalah buku tulis berikutnya dari Bapak Tuw Han. Penuhilah lagi dan kamu bisa datang kembali kepada saya seperti hari ini."

"Terima Kasih, Bu Guru. Bolehkah saya bertemu Pak Tuw Han?"

"Mengapa kamu ingin menjumpainya?"

"Saya juga ingin merayakan ini bersama dengannya."

"Pak Tuw Han telah meninggal dunia, seminggu yang lalu."

Sebuah ledakan lain sedang terjadi di dalam diri Tama. Dia sekarang sedang menangis dan matanya sedang melihat ke suatu tempat, suatu tempat di masa lalu. Air matanya menetes seperti hujan.

Celebration Day for TamaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu