Epilogue: The Mother Hen and the Wasted Lives

38 5 3
                                    

Seperti yang sudah-sudah, Dexter akan berbaring di sisi ayahnya, berusaha menyerap kehangatan yang menguar dari tubuh sang ayah lewat kasur, sementara ayahnya akan memilihkan kisah-kisah di dalam buku—atau di dalam ingatannya sendiri—yang sekiranya bisa mengantar Dexter tidur.

Tapi Dexter tidak bisa tidur. Gir di dalam otaknya masih aktif bekerja, berputar-putar dan menjaga matanya tetap terbuka lebar. Ia tatap ayahnya lekat-lekat, yang dengan tenang membolak-balik lembaran buku cerita dan membacakan isinya pada Dexter dengan suara paling halus, paling menenangkan, dan paling hangat yang pernah Dexter dengar.

Tapi, lagi-lagi, suara-suara di dalam kepalanya terlalu mengganggu—argggh, coba saja Dexter bisa masuk ke dalam kepalanya sendiri dan membungkam mulut-mulut tak kasat itu, atau membiarkan ayahnya yang serbabisa untuk membisukan mereka.

"... dan burung hitam itu terbang tinggi, mengarungi langit lepas, menemukan kebebasan yang ia cari-cari seumur hidupnya—"

Masalahnya otak Dexter masih terikat sekarang. Padahal jawaban soal daging ayam itu sudah lepas sebelum ini—atau semestinya demikian—sebab sayangnya, jawaban itu menumbuhkan pertanyaan baru; yang mungkin hanya ayahnya yang bisa menjawab.

"—di langit, dia menemukan dunia baru, yang tidak pernah dia temui. Dunia yang sama sekali baru bagi si burung hitam—"

Pilihannya saat ini hanya dua. Memutus kisah ayahnya dengan pertanyaan yang terus mengganggunya ini, atau memilih untuk diam dan membebani hati dan kepalanya dengan pertanyaan itu.

Yah, aku tidak mungkin merusak hari-hariku dengan hal ini, kan?

Di bawah selimut, Dexter mengepalkan tangannya erat-erat, seperti berusaha mengumpulkan seluruh keberaniannya dari sana, kemudian berdeham sekali untuk mengundang perhatian ayahnya. Ada gemuruh sedikit di dadanya ketika ayahnya harus berhenti bercerita dan menatapnya, tapi lebih baik sekarang daripada tidak sama sekali.

"Er ... Ayah?" Rasanya dunia ikut berhenti bersama pergerakan ayahnya saat itu. "Apa aku boleh bertanya sesuatu?"

"Tentu saja."—sama sekali tidak ada kekesalan atau tersinggung dalam suaranya. Selalu nada yang hangat dan menenangkan Dexter, dan hal inilah yang membuat Dexter merasa nyaman berbicara dengan ayahnya.

"Sebenarnya aku masih punya pertanyaan lagi." Mata Dexter berpindah cepat dari kakinya yang tersembunyi di balik selimut ke arah wajah ayahnya. Semuanya harus disampaikan dengan hati-hati, jangan terlalu tergesa.

Ayahnya hanya menatapnya. Mendorong Dexter untuk melanjutkan.

"Aku hanya ingin tahu—" Dexter meneguk ludah. Matanya terasa panas, entah kenapa. "—apa Ibu juga lebih suka memakan daging ayam buruan seperti Paman Liveo, atau memilih daging ayam ternak sepertiku?"

Sebab Dexter, sepanjang kemampuannya mengingat, memiliki gambaran yang samar soal ibunya; sesamar gambarannya tentang Paman Liveo. Bahwa kedua orang itu hadir dan pergi bersama dengan kisah-kisah ayahnya, dan Dexter merasa bahwa mereka, sekalipun tidak berada bersamanya secara nyata, hidup dan bernapas lewat kisah-kisah itu.

Kecuali, tentu saja, bahwa ibunya telah lama tiada, dan hanya cerita ayahnyalah yang menjaga roh sang ibu tetap hidup di tengah-tengah mereka.

Tapi—ah, betapa Dexter tidak menyukai wajah ayahnya yang seperti itu. Senyumnya tetap ada, tapi sorot mata yang biasanya berkilauan dan hangat itu kini meredup, mendingin, dan seolah-olah menampilkan sisi ayahnya yang lain; sisi yang lebih rapuh dan lemah, dan gemuruh di dada Dexter kembali mengamuk karenanya.

Dan ingatan Dexter berputar pada malam itu. Malam ketika ia terbangun dan mendapati ayahnya menangis. Malam ketika Dexter mendengar ayahnya menyebut nama ibunya dengan lirih—begitu lirih, sampai-sampai Dexter percaya bahwa suara itu akan hancur dengan begitu mudahnya; dan ingatan itu menumbuhkan rasa bersalah yang lebih lagi.

Seharusnya aku tidak bertanya seperti itu, kan? Lihat—aku membuat Ayah bersedih lagi.

Kemudian mata itu menghilang. Menatap ke arah langit yang gelap, seperti berusaha untuk mencapai ibunya yang entah ada di mana saat ini. Seandainya lidah Dexter tidak terikat seperti sekarang, dan seandainya saja matanya tidak sepanas ini, ia akan berkata bahwa lebih baik pertanyaan itu tidak pernah terjawab; sebab melihat ayahnya bersedih adalah luka yang jauh lebih besar daripada jawaban yang bisu.

Baru saja mulutnya siap terbuka, ayahnya sudah bersuara terlebih dahulu, "Ibumu memilih untuk tidak menghabisi nyawa makhluk hidup lain. Tidak hewan buruan dan tidak pula hewan ternak."

"Jadi ibu hidup tanpa makan daging?"—sebab Dexter bisa membayangkan ibunya, cantik dan menawan, makan dari tanaman segar yang tumbuh di kebunnya, dan menjaga paras itu tetap cantik.

Senyum itu muncul lagi. Senyum yang hangat, tapi juga menorehkan rasa pedih. "Ayah tidak pernah bilang begitu."

Dan Dexter tahu bahwa percakapan mereka berakhir sampai di sana. Bahwa ayahnya tidak akan menjawab lagi, sebab ayahnya selalu seperti itu; menghujani Dexter dengan banyak cerita tentang ibunya, lalu menciptakan dinding yang begitu tinggi agar Dexter tidak bisa mengenali ibunya lebih lagi. Seolah-olah Dexter harus menemukan jawaban itu sendiri, dan bukan dari mulut ayahnya.

Jika memang itu yang ayahnya inginkan, maka Dexter memilih untuk mengikuti kemauannya.

Maka ia tersenyum. Melawan panas yang menjalari mata dan pedih yang menyayat hati. Menekan serak di dalam suaranya ketika menjawab, "Aku mengerti. Terima kasih karena sudah menjawab, Ayah."

Ayahnya membelai rambutnya. Mengalirkan kehangatan yang menutup rasa sakit di dalam sana. Senyumnya masih menggantung di sana. "Ayah rasa, malam ini akan kita habiskan untuk bercerita tentang ibumu lagi. Bagaimana menurutmu, Dexter?"

Dexter mengangguk. Kembali, ia mendekatkan diri ke arah ayahnya, menyerap semua kehangatan yang bisa ia tangkap, sementara kisah tentang burung hitam itu kini berganti menjadi kisah-kisah tentang ibunya; tentang betapa cantik dan baiknya ia, dan betapa tidak ada wanita di seluruh dunia yang dapat menggantikan Ibu di mata Ayah.

Tapi pertanyaan-pertanyaan baru kembali bermunculan. Seperti tidak lelah untuk menguak lubang baru di dalam kepala Dexter.

Kata Ayah, Ibu tidak tega untuk membunuh hewan dan memakannya; tapi ia tetap makan daging. Apa artinya Ibu memilih untuk tidak membunuh hewan dengan tangannya sendiri? Apa Ibu sebenarnya tidak sadar bahwa Ibu memilih untuk membiarkan hewan-hewan mati itu?

Tidak. Ibu yang lembut hati pasti tahu bahwa pembunuhan, oleh tangan sendiri atau oleh orang lain, adalah sama. Menyia-nyiakan nyawa adalah dosa yang ditanggung oleh siapapun.

Lantas kenapa Ibu tetap makan daging? Apa sebenarnya ada cara baru, yang sama sekali belum kuketahui, yang dapat membunuh hewan tanpa membuat mereka menderita?

Dexter menoleh ke arah ayahnya, dengan pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalanya, dan kali ini Dexter memutuskan untuk tidak menyela kisah ayahnya lagi.

Sebab biarlah pertanyaan-pertanyaan ini tersimpan di dalam kotak rahasianya, yang terbenam jauh di dalam kepalanya, berkumpul dengan pertanyaan soal Paman Liveo yang juga belum ia tuntaskan. Nanti, pada saatnya, Dexter akan membuka kembali kotak itu dan membedah pertanyaan-pertanyaan itu satu demi satu; kemudian menemukan jawaban yang pastinya akan menumbuhkan lebih banyak pertanyaan.

Tapi, malam ini, di sini, Dexter hanya ingin mendengarkan kisah Ayah. Menyatu dengan ibunya dalam mimpi, dan memeluk sosoknya yang tidak pernah Dexter jumpai selama ini.

-o-

[COMMISSION] Hanged Questions and Chicken on the PlateWhere stories live. Discover now