Gadis yang satu ini memang tidak terlalu suka untuk berdandan. Wajahnya lebih sering polos dengan ulasan pink di bibir saja. Ia pernah mengeluh kalau ia malas berdandan, karena sudah terlalu sering berdandan tebal untuk menghadiri acara-acara penting ayahnya.

Mereka berjalan santai di tengah keramaian, menggenggam tangan Rin dengan erat di kedua sisi. Si kecil memilih untuk ikut dengannya karena Kak Rose dan Mama memutuskan untuk menghabiskan hari di salon dan spa, tempat yang menurut putri yang satu ini membosankan. Mungkin karena ia harus duduk diam sepanjang hari, tidak bisa berlarian kesana-kemari dengan bebasnya.

Tiba-tiba Kongphob melihat Bommie menggerutu kesal. "Kenapa?"

Gadis itu memutar bola matanya sebelum menjawab. "Nggak ada, nggak usah dipikir."

"Loh?"

Bommie mendengus dan menarik mereka ke toko baju yang juga menjual baju anak-anak. Rin berteriak girang dan langsung melihat-lihat baju yang ia pikir bagus. "Tadi ada ibu-ibu kurang kerjaan."

"..terus?" Kongphob masih belum mengerti.

Bommie melihatnya sekilas sebelum memfokuskan diri melihat-lihat baju di depannya. "Ya mereka pikir kita itu orang tua baru."

"..Oh." Kongphob akhirnya paham, ibu-ibu itu pasti berpikir bahwa mereka terlalu muda untuk punya anak. Walaupun sebenarnya mereka bahkan tidak berpacaran.

Kongphob membiarkan kedua gadis untuk melihat-lihat dan berbelanja sampai puas. Kepalanya dipenuhi dengan arti dari pandangan orang asing itu. Bommie dan dia, menjadi pasangan.

Tentu saja berpikiran bahwa dua orang berlawanan jenis bergandengan tangan, atau di sini menggandeng tangan anak kecil, sebagai pasangan adalah hal yang lumrah. Itu adalah hal yang biasa dan yang disangka banyak orang. Tapi kalau dua orang bejenis kelamin sama melakukan itu..

"Kong?" Bommie mengangkat tas belanjaan mereka agar dilihat oleh Kongphob, memberitahu kalau mereka sudah selesai. Kongphob mengangguk dan menggandeng tangan Rin lagi. Mereka berjalan-jalan melihat barang lain, yang kira-kira cocok menjadi oleh-oleh.

Bommie adalah gadis yang ramah dan penurut. Ia juga tahu sopan-santun dan bisa bersikap yang pantas di segala situasi. Ia disayang oleh orang tuanya, sehingga ia pun membagi kasih itu pada yang lain tanpa pamrih. Orangnya juga sederhana dan tidak macam-macam. Tipe gadis yang.. sangat ideal untuk Kongphob.

Apa Papa sengaja memperkenalkannya agar mereka bisa dekat?

Langkah Kongphob terhenti. Tiba-tiba saja ia melihat sepasang gay yang jelas sekali berpacaran. Bommie juga melihat yang sama. Ia melihat Kongphob dengan pandangan ingin tahu.

"..kamu nggak homophobic kan?"

"Hah?" Kongphob mengerjap.

"Om Kong.. Rin capek.." tiba-tiba Rin menarik-narik celananya, meminta untuk digendong. Baru saja kepalanya bersandar ke pundak, Rin sudah langsung tertidur. Pandangan Bommie masih tetap meminta jawaban.

"Aku.. nggak kok." Kongphob menjawab, tergagap. Bommie memicingkan mata.

"Tapi kok ngeliat mereka kayak gitu?"

"Ya.. emangnya, nggak boleh ya kalau kaget?"

"Hmm.." Bommie sepertinya masih belum puas dengan jawaban Kongphob. Matanya tiba-tiba mengerjap, seakan mendapat ide. "Kamu.. nggak keliatan sih.. tapi, emm, apa kamu gay?"

Kongphob nyaris terlonjak kaget. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah. Buru-buru Bommie menarik kembali pertanyaannya.

"Eh, ng.. nggak dijawab juga nggak apa-apa! Sorry aku nanya yang aneh-aneh!" wajahnya tersipu malu, menggigit bibir karena ia sadar sudah melewati batas.

"..nggak keliatan ya?" Kongphob tersenyum sedih.

"Kong..?"

Kongphob mendesah. "Aku nggak tahu aku ini apa, Bommie."

Mulut Bommie terbuka sedikit, otaknya sepertinya sedang berusaha untuk memberikan respon yang tepat untuknya. "Well. Dunia ini sudah lebih open-minded kok." Ia akhirnya berkata, mengangkat bahu.

"Oh ya?"

Bommie membalikkan badan, mengajaknya untuk kembali berjalan. Gadis itu meliriknya sebentar dan mengangkat alisnya. "Bukannya Thailand sudah lebih maju tentang itu daripada di sini?"

Kongphob mau tidak mau harus memutar bola matanya. "Itu yang terlihat."

"Ouch."

"Kita masih tetap diharapkan untuk menikah dengan lawan jenis dan punya anak, kok." Kongphob berujar pelan, tidak yakin masih mau terus membicarakan hal ini.

"..Honestly, Kong. Aku nggak tahu harus ngomong apa." Bommie membalas, matanya terus tertuju ke depan. "Tapi menurutku, yang paling penting ya tetap aja hati kita sendiri. Terserah orang mau bilang apa."

..hati. kepala Kongphob sakit, penuh dengan pemikirannya. Penuh dengan Kak Arthit dan orang tua.

Kata-kata Kak Rose dan Bommie punya inti yang sama; if he's the one, then he's the one.

Dan Kongphob mulai berharap.

****

Kongphob sedang asik mengerjakan tugas kalkulusnya ketika ada panggilan di LINE. Dari Kak Arthit.

"Halo?"

"Kong! Udah makan?" suara Kak Arthit selalu saja bisa menghangatkan hati.

"..sudah, kak." Kongphob menjawab, meski di dalam hati, Kongphob mulai bertanya-tanya.

"Oh.. padahal tadinya mau ngajak bareng.." Kak Arthit sedikit bergumam, suaranya hampir terlalu kecil untuk Kongphob dengar.

"..Kak..?"

"Hm?"

"Di sini sudah jam 11 malam lebih."

"..Shit."

Kalau hati Kongphob ini cokelat, pasti sudah lumer sekarang.

"Kakak lagi di tempat kost?"

"..ya." masih ada nada kesal dan keengganan untuk menjawab dari Kak Arthit. Pasti sekarang wajahnya merah karena malu.

"Mau lama?"

"Nggak sih.." kengganan itu masih ada. Sepertinya Kak Arthit berusaha menyembunyikan sesuatu darinya.

"Kak Arthit?"

"Apa."

"Aku kangen."

"Ugh..!" Kak Arthit langsung bergumam tidak jelas, menjauhkan handphone-nya dari bibir. Kongphob menunggu dengan sabar, senyum tersungging di wajahnya.

"Kamu ini ya!"

"Kak Arthit juga kangen ya sama aku?" Kongphob sengaja bertanya seperti itu, biar Kak Arthit mengaku.

"Ng.. nggak kok! Cuma mau ngambil buku yang ketinggalan aja! Diajakin Knot yang mau perpanjang waktu pinjam buku dari perpus!" Kak Arthit menampik dengan bersungut-sungut.

Masih tidak mau mengaku.

"Aku sebenarnya mau terus minum pinkmilk, tapi di sini susah dicari." Ucapannya itu membuat Kak Arthit bergumam tidak jelas lagi.

"..kamu kapan pulang sih?!" akhirnya Kak Arthit mau juga diajak bicara lagi.

"Sebentar lagi. Sekitar tiga minggu."

"Oh.. masih di Ampahwa ya aku berarti." Ada rasa sakit sebenarnya di dada Kongphob. Tapi ia tahu tidak bisa meminta lebih. Kak Arthit punya tugas yang harus diselesaikan.

"..ya. nggak apa-apa kok, Kak. Kita ketemu kalau Kakak udah senggang."

"Hm."

Hening. Kongphob sempat berpikir kalau Kak Arthit tertidur.

"..Kongphob?"

"Ya, Kak?"

"Cepet balik ya."

Kongphob menahan nafas. Matanya terpejam mendengarkan itu, ucapan rindu yang tidak bisa Kak Arthit terang-terangan ungkapkan. "Ya, Kak. Pasti."

****

[BAHASA] Bukan Logika - FanfiksiDonde viven las historias. Descúbrelo ahora