Embun Pagi Dikala Fajar

10 0 0
                                    

Hawa dingin menyelimuti tubuhku, dinginnya meresap sampai menusuk ke dalam rongga-rongga tulangku. Tanganku masih merasakan tanah yang basah, lembab dan dingin serasa berada di atas balok es. Aku juga mencium bau khas setelah hujan, bau tanah yang tersapu oleh hujan, yang sedikit sesak ketika tercium. Mataku kemudian perlahan-lahan terbuka dan cahaya remang-remang pun mulai terlihat.

Kutarik nafas dalam-dalam dan ku hembuskan melalui mulut, seketika pula uap pun mengepul dari mulutku, badanku juga agak mengigil kedinginan.

Aku pun mulai berdiri, dengan perlahan aku mulai menegakkan badan, kemudian ku regangkan otot-otot ku yang kaku, aku  juga merasa pegal-pegal disekujur badan dikarena tidur  beralaskan tanah yang keras. Aku sudah siap untuk memulai aktivitas pagi ini.

Sudah sebulan lebih aku hidup sendiri semenjak kakek ku meninggal. Semasa hidupnya, beliau mengajarkan ku cara bertahan hidup di alam liar.

Apa yang telah ia ajarkan padaku kurasakan saat ini sangatlah berguna dalam bertahan hidup di alam liar, karena hidup di dunia yang gila ini tidaklah mudah.

Kakekku bercerita bahwa 150 tahun lalu peradaban manusia hancur oleh perang dunia, dimana manusia saling berebut sumber daya alam.

Kekacauan di mulai pada perang dunia ketiga, dimana suhu politik dunia memanas, gesekan sosial sering terjadi, orang-orang saling membenci dan menghakimi, dan akhirnya perang pun pecah. Perang dunia ketiga berjalan selama tiga tahun, terhenti akibat banyaknya korban jiwa dan kerusakan dimana-mana. Kakekku juga bercerita ketika terjadi perang tersebut, banyak negara yang menggunakan senjata pemusnah massal seperti nuklir dan senjata kimia, kemudian perang terhenti karena krisis pangan dimana-mana. Ladang dan sawah sudah tidak produktif karena rusak dan tercemar, radiasi dimana-mana, diperparah dengan virus ganas yang menyebar diberbagai belahan penjuru dunia. Akibat hal tersebut populasi dunia berkurang hingga tersisa seperempat saja.

Tapi dampak akibat perang masih terasa sampai sekarang, manusia sulit untuk mencari makan dan terpaksa mengais-ngais dari sisa peradaban masa lampau.

Ada beberapa kelompok yang mulai hidup bertani namun mereka tidak bisa hidup dengan tenang karena selalu dijarah oleh manusia-manusia barbar yang serakah dan malas mencari makan. Keserakahan dan keegoisan masih banyak di temui dimana-mana, mereka lebih senang merampas dari milik orang lain daripada bersusah payah untuk mencoba mendapatkan nya, maka tidak heran jikalau setelah 100 tahun lebih peradaban manusia belum bisa pulih seperti sedia kala.

Dulu, aku dan kakekku tinggal jauh dari pemukiman, kami lebih nyaman tinggal sendiri di dalam hutan, hidup di alam liar jauh dari hiruk pikuk manusia.

Hal pertama yang diajarkan oleh kakekku adalah jangan mudah percaya dengan orang asing, karena di jaman yang gila ini orang bisa saja menusuk tiba-tiba dari belakang jika kita lengah.

Pelajaran kedua, jangan berebut pangan dengan orang lain, lebih baik mencari makan di dalam hutan daripada saling membunuh untuk mendapatkan makanan. Itu mengapa kakekku mengajariku cara bertahan hidup di hutan supaya tidak menjadi korban keserakahan orang-orang tersebut.

Sampai sekarang aku masih merindukan sosok kakekku. Setiap bangun pagi seperti ini aku jadi teringat oleh tutur katanya, kata-kata terakhir yang masih terngiang-ngiang terus di kepalaku adalah, "Jadilah orang waras di jaman yang gila ini."

Sepeninggal nya dia mewariskan sebuah senjata api revolver magnum berkaliber .44, sebuah buku saku kecil, dan seragam coklat yang ia biasa kenakan sebagai pakaian rangkap.

Revolver tersebut masih merekat di pinggangku, berwarna perak dengan ganggang berwarna hitam, panjangnya sekitar 30-an centimeter, berisikan enam peluru. Senjata ini telah berkali-kali menyelamatkan kami dari ancaman orang-orang murka di luar sana, namun sekarang hanya tersisa 6 peluru saja dan aku sudah tidak punya amunisi lagi untuk cadangan. Setelah meninggal nya kakekku, aku hanya pernah menembakan satu kali untuk membunuh babi hutan, setelah itu aku tidak berniat untuk menembakkannya lagi jika tidak dalam kondisi genting, alasan lain dikarenakan suara yang ditimbulkan dari senjata api tersebut amatlah keras sehingga dapat menarik perhatian dan hal tersebut bisa memicu hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 05, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Berjalan Di Tanah Yang GilaWhere stories live. Discover now