Part 1.

13 3 3
                                    


Sore ini hujan turun lagi.

Sepertinya dia rindu pada bumi dan seisinya. Sama seperti aku disini, rindu padanya yang tak kunjung terbalaskan.

Aku suka hujan, tapi tidak dengan gemuruhnya.

Ngomong-ngomong soal hujan pasti ada yang pro dan ada yang kontra. Kalau aku sih pro pro saja dengan hujan, tapi kalau turun disaat yang tidak tepat aku sedikit kesal sih. Bapak ku bilang hujan itu berkah, tergantung yang memaknainya.

Jadi kalau kamu memaknai kebaikannya dia sebagai tanda dia suka padamu, mungkin saja itu benar adanya, tapi jangan senang dulu kemungkinan juga kalau ternyata itu berbanding terbalik dari harapanmu.

Hujan dan segelas kopi hangat mungkin akan membuat harimu lebih indah. Duduk diteras, sambil memandang air yang berjatuhan sangat deras turun ke bumi, menyatu dengan tanah.

Menurutku hujan itu baik, ia dengan iklhas memberikan airnya pada tumbuhan yang memerlukannya tanpa minta kembali kasih. Banyak anak-anak yang dibuat senang olehnya, iya mandi hujan.

Kadang hujan juga membuat hariku lebih romantis, contohnya mengiup berdua dengannya didepan toko sepeda bekas yang sudah tutup ini.

"Maaf." Lirihnya.

"Maaf untuk apa?" kataku menggigil, dingin disini. Angin bertiup sangat kencang, ditambah jas hujan ku sudah mulai lusuh dan tipis.

"Aku belum bisa nganterin kamu kemana-mana naik mobil." Kata dia sembari mengusap-usapkan kedua tangannya, tanda kedinginan.

"Ah aku tidak perduli kamu mau naik apa saja, yang penting berdua menghabiskan waktu Bersama itu sudah cukup kok. Aku yang harusnya minta maaf, aku merepotkan mu. Jadi harus neduh dulu deh, kalo kamu jalan sendiri mungkin sekarang kamu sudah sampai rumah, yakan?"

"Kamu itu anugerah dari Allah yang dititipkan ke aku, harus aku jaga baik-baik dong. Mending ngiup berdua sama kamu dari pada sakit sendirian." Katanya sambil mengusap-usap helm ku yang basah karena cipratan air.

Seperti biasa, dia selalu membuatku luluh dan merasa hebat. Dia adalah sumber semangatku setelah ibu dan bapak.

Berdua kami menatapi hujan yang jatuh dan sesekali mobil-mobil ibu kota melaju seenaknya tak perduli ada genangan.

Hujan tak kunjung reda, ia malah semakin suka turun ke bumi. Semakin deras, kencang, tak beraturan. Semakin banyak juga orang-orang yang mengiup disekitar kami. Ada satu anak kecil yang terus-terusan merengek kepada ibunya, mungkin karena dingin dan dia lapar? Kamu fikir kamu saja yang lapar? Aku juga, dek.

Lima belas menit, dua puluh menit, tiga puluh menit sudah berlalu. Hujan juga tetap sama, tak kunjung reda.

"Kamu sudah lapar, Ri?" tanya Rian.

"Tangan mu sudah memutih, kamu kedinginan? Ini pakai sarung tangan ku, maaf sudah basah."

Kataku sambil membuka sarung tangan yang basah ini.

"Aku tanya kamu sudah lapar belum Riani. Gak ah, kamu aja yang pake. Tanganku udah biasa kena yang begini, Namanya juga anak motor."

"Gak usah sok tegar kamu Rian, dalam hati juga kamu mau kan pake ini? Hayooo" kataku meledeknya, mencoba mencairkan suasana.

"Yasudah kita berangkat yuk, cari makan. Udah agak reda nih."

"Yuk." Kubalas dengan anggukan mantap.

Kubenarkan posisi helmku, Rian mulai menyalakan mesin motornya, perlahan-lahan kutembus badai hujan yang sedikit sakit mengenai mukaku.

"Kita mau kemana, Rian?"

Rian(i)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora