"Aku tidak yakin memang, apa manfaatnya lebih besar daripada rugi. Makanya minta pendapat Papa." Akunya.

"Kamu bisa bahasa Korea kan?" pertanyaan Papa dijawab anggukan. Ia pernah les bahasa Korea beberapa level saat SMA. "Kalau ke sana, berarti koneksi tambah, bahasa Korea-mu juga bisa lebih bagus lagi. Ada teman papa yang bisa temani kamu untuk lihat pabriknya juga di sana." Papa mulai menjelaskan keuntungannya ikut program itu. "Dan yang penting-"

Kata-kata Papa harus terputus karena adanya seruan Mama yang terdengar bahkan hingga ruang kerja ayahnya ini. "CUKUP! Kalau begitu Mama akan pergi dengan Rin sampai kalian selesaikan masalah kalian ini!"

Tidak berapa lama, terdengar suara debaman pintu yang tertutup kencang. Lalu sesaat kemudian, pintu ruang kerja Papa diketuk. Mama datang membawa Rin di pangkuan.

"Om~!" Rin langsung berusaha menggapainya, tidak peduli akan jatuh atau tidak. Ibunya memberikan Rin dengan raut muka cemberut. Ia lalu duduk di sofa sebelah suaminya dengan tatapan memelas.

"Mama mau pergi dari rumah ini!" begitu kata Mama.

"Mau kemana.." Papa bertanya dengan tenang, berusaha agar istrinya ikut tenang bersamanya. Mama menghela nafas panjang sebelum menjawab.

"Pokoknya Mama mau pergi! Sudah cukup melihat kelakuan anak-anak yang tidak mau dinasehati!"

"Ya tapi-"

"Mama mau pergi ke Rose aja sama Rin!" ucapan Mama membuat Papa dan Kongphob saling pandang. Dengan Mama yang mengatakan ingin mengunjungi Kak Rose bersama Rin.. berarti..

Papa menghela napas. Masih memandanginya, ia berkata pada Kongphob, "Ya berarti lebih baik kamu ke Korea saja. Temani ibumu dan ponakan di sana."

Ya sudah pasti begitu jadinya.

Kak Rose, atau Rochana sebenarnya, adalah kakak kedua Kongphob. Sudah beberapa tahun ini Kak Rose yang berprofesi sebagai reporter tinggal di Korea, bekerja di sebuah stasiun televisi terkenal di sana. Kongphob belajar bahasa itu juga karena kakaknya. Ibunya punya kebiasaan pergi berkunjung pada kakaknya yang hingga kini belum menikah itu. Ada rasa khawatir kalau-kalau ibunya terkendala bahasa di sana, meski ia cukup fasih berbahasa Inggris. Makanya, Kongphob belajar bahasa Korea agar bisa menemani ibunya bepergian saat kakak yang dikunjungi itu harus bekerja.

"Ya, Pa. Aku ngerti." Kongphob menangguk, tersenyum lemas. Mata Rin yang ada di pangkuannya mengerjap, memandangi.

"Pegi sama om?" tanya si kecil polos. Senyum Kongphob melebar. Ditepuk-tepukkan tangannya dengan pelan ke atas kepala Rin.

"Iya, sayang."

Sekarang.. suara degup jantung Kongphob menderu. tinggal pikir bagaimana cerita ke Kak Arthit..

****

Sesuai dugaan Kongphob, mata Kak Arthit terbelalak dengan mulut yang terbuka tanpa suara. Ia akhirnya bisa bertemu dengan Kak Arthit, makan malam bersama di kantin biasa mereka bertemu. Tangan Kak Arthit menggenggam erat sendoknya, terhenti tepat di tengah-tengah piring makan yang masih terisi setengah.

"Pertukaran pelajar ke Korea? Kamu?" pertanyaannya seakan menuduh Kongphob melakukan suatu kejahatan. Atau mungkin sebegitu tidak percayanya Kak Arthit kalau dia ingin ikut program ini?

Kongphob hanya mengangguk, menyuapkan nasi omelet ke mulutnya agar bisa sedikit menunduk menghindari pandangan tajam Kak Arthit.

"Kok tiba-tiba?" nah. Kalau yang ini Kongphob percaya Kak Arthit menuduhnya. Pundaknya turun lemas.

"Ohh.. bukannya tiba-tiba, Kak. Aku sudah lihat pengumumannya dari kemarin-kemarin. Sudah diskusi juga dengan orang tua. Mereka pikir itu bagus untukku. Jadi. Ya.." di akhir, Kongphob mengangkat bahu, berusaha seakan itu bukanlah hal besar baginya.

Padahal ia masih punya rasa bersalah entah kenapa dengan Kak Arthit. Karena akan meninggalkan kakak kesayangannya itu berbulan-bulan lamanya.

Kak Arthit menghela napas keras, sedikit kesal dengannya. "Kapan kamu berangkat?"

"..minggu depan." Kongphob ragu-ragu memberitahunya.

"Hah?! Minggu depan?! Kok kamu baru ngomong sekarang?!" Kongphob mau tak mau berjengit mendengar amukan Kak Arthit. Takut-takut ia lihat wajah seniornya, yang melotot dan mengernyitkan kening dengan hebat.

"Ya.. mau bagaimana lagi? Kak Arthit selalu sibuk akhir-akhir ini." Kongphob sedikit mengeluh. Ada rasa tak mau kalah dari dalam dirinya. Memangnya Cuma Kak Arthit saja yang bisa seenaknya menjalani hari tanpa menemuinya? Kak Arthit selalu begini sejak kejadian itu. Kadang-kadang dingin dan seakan menjaga jarak dengannya, tapi kadang-kadang akan mengajaknya makan malam dan pergi bersama seperti semuanya berjalan dengan normal.

Kongphob mulai lelah.

"Itu.." Kak Arthit kehabisan kata-kata untuk membela diri. Kongphob jadi merasa bersalah. Ia melihat sendiri kalau Kak Arthit dan teman-temannya sibuk mengerjakan tugas kelompok dan melakukan laboratorium kesana-kemari dua minggu kemarin. Senior yang duduk di depannya ini juga masih terlihat kurang tidur sekarang.

"Aku juga tak bisa datang ke acara pernikahan Kak Tum dan Kak Fon. Itu hari keberangkatanku." Tambahnya pelan. Terlihat jelas Kak Arthit berusaha menahan emosinya dengan mencoba mengatur nafas. Tapi sepertinya tidak berhasil.

"Udah kenyang nih." Kak Arthit setengah melempar sendoknya ke piring dan menatapnya tanpa ekspresi. "Aku pulang duluan ya."

Kongphob tidak tahu harus mengejar Kak Arthit yang langsung beranjak dari kursi atau tidak. "Kak Arthit!" ia hanya bisa berseru. Kakinya membeku, tidak bisa diajak kompromi untuk berdiri. Ia kepalkan tinjunya, merasa tidak berdaya.

"Sial!"

****

A/N : sekedar info~ seinget aku, Arirang World menampilkan segmen berita dari Thailand. Jadi kupikir ya, mereka bisa kirim reporter ke Korea, gitu.

[BAHASA] Bukan Logika - FanfiksiKde žijí příběhy. Začni objevovat