17. Lana dan bencana 2

Mulai dari awal
                                    

"Sering." jawab Tsabit enteng.

"Pede banget," gumam Arsa.

"Maksud gue dikangenin ampe banget banget banget. Pernah?"

Tsabit menarik napas. Membuangnya seraya menatap langit langit setelah itu menggeleng. "Sepertinya belum."

"Hari ini dan sejak seminggu yang lalu, lo udah ngerasainnya pertama kali."
Mata Tsabit menyipit samar.

"Pasti nggak mudeng." celetuk Arsa agak sewot.

"Emang siapa yang kangennya banget banget banget banget sama saya? Kamu ya?" Tsabit menciptakan senyum jail yang manis disertai telunjuk yang bergerak dihadapan wajah Arsa.

"Bukan. Tasbih gue ni yang kangen."

"Tapi tasbih itu punya saya."

Langsung saja Arsa mengacak-ngacak jilbab Tsabit dengan mengusap-ngusap kepala gadis itu menggunakan dua tangannya secara gemas.

"Ya gue lah, Tsabit. Masa beneran tasbih. Jangan terlalu polos apa jadi cewek." geramnya.

"Makanya kalo ngomong tuh yang jelas. Bilang aja kalo kamu kangen banget banget banget sama saya. Gitu aja lebih gampang dan mudah dipahami, kan? Nggak perlu pake embel-embel."

"Emang lo nya aja yang lola. Om Sandy aja tau maksud omongan gue tadi. Ya gak, Om?" Arsa beralih menatap Sandy. Sandy hanya menggeleng sambil tersenyum memerhatikan interaksi mereka. Jarang ia menemukan sepasang suami istri yang berinteraksi dengan kesewotan atau kekonyolan bahkan umpatan-umpatan ringan. Justru Sandy melihat kasih sayang yang tulus dari sana.

"Om juga pernah muda seperti kalian, tapi masa muda Om dengan istri selalu romantis. Kayaknya, di zaman sekarang, perasaan cinta tidak melulu harus diungkapkan melalui kata-kata romantis ya? Bisa dengan tindakan bodoh yang justru menunjukan rasa cinta itu sendiri. Ya seperti kalian ini." Sandy tertawa kecil sambil melepas kacamata presbiopinya.

"Om bisa aja. Saya kayak gitu karena seneng aja ngebully dia. Yang saya kangenin, ya kangen ngebully dia. Ngebully Tsabit nggak kayak ngebully Tody, Om." jawab Arsa santai melirik Tsabit sedikit.

"Omongin aja terus. Orangnya lagi pulang kampung." Tsabit mulai senewen.

"Cie, ngambek. Tambah jelek lo kalo ngambek." ejek Arsa.

Tsabit diam dalam bahaya. Matanya menyimpan strategi. "Pak Sandy. Sepertinya jam besuk kita sudah habis. Bagaimana kalau kita pulang sekarang? Banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini." Sebelum menjawab, Sandy melihat ekspresi Arsa. Pria itu menatap tidak terima. Menatap Sandy dan Tsabit bergantian.

"Dih, lo mau pulang sekarang? Nggak asik banget, sih." protes Arsa kepada Tsabit.

"Tugas Pak Sandy nggak cuma ngurusin kamu aja, Sa. Dia masih banyak urusan di luar sana." jelas Tsabit berdiri menyampirkan tasnya ke lengan.

"Terus lo sendiri? Nggak sesibuk Om Sandy juga, kan? Kalo Om Sandy mau pulang, Om boleh kok pulang duluan." Tatapan Arsa beralih ke Sandy sambil tersenyum penuh makna. Sandy mengerti seraya menggeleng maklum. Ia pun pamit meninggalkan Arsa juga Tsabit di sana.

"Kamu baru saja ngusir orang yang sudah berjuang menyelamatkan kamu dari kasus ini, Sa." Mereka duduk kembali dalam posisi semula.

"Om Sandy orang yang cerdas. Dia pasti tahu, mana bagian dari pekerjaannya, mana yang bukan. Lo nya aja yang ribet."

"Terserah kamu. Buang-buang waktu kalau terus berdebat sama kamu."

"Itu tahu."

Keduanya terdiam. Seorang petugas yang mengawal Arsa menjadi saksi kebisuan mereka. Itu hanya sebentar, selanjutnya Arsa mengeluarkan sesuatu dari saku celana.

Tsabita IlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang