17. Lana dan bencana 2

Start from the beginning
                                    

  "Kamu yakin dia bahagia menikah dengan gadis berhijab itu?"

  "Bahagia atau tidak, setahu saya kamu tidak berhak untuk tahu." Kartika merasa jengah dengan kondisi ini. Semua terasa sia-sia. Nasi sudah menjadi bubur. Media terlanjur tahu tentang hubungan persahabatan dirinya dengan Tamara.

  Saat ini yang harus ia lakukan hanya bersikap masa bodoh. Lagi-lagi, beberapa kalimat singkat yang pernah Tsabit katakan, melintas dalam otak.

"Diam bukan berarti kalah. Hanya saja membiarkan sang waktu yang akan meninggikan kita di atas cemooh mereka. Itu yang bagus."

  "Sampai kapan pun, saya tetap tidak merestui hubungan Arsa dengan putri kamu. Gadis pilihan saya jauh lebih berharga."

  Dan suara ketukan langkah stilleto hitam mengiringi kepergian Kartika. Tamara memandang lama hingga bayang-bayang Kartika enyah dari peredaran mata. Ia sandarkan diri pada kursi kebesarannya. Dengan melipat tangan di dada, ia menarik seringai tipis.

***

  Pria bertubuh besar duduk manis lalu menaikkan kacamata presbiopinya. Terkadang matanya menyipit memandang lembaran berkas di meja. Lipatan lemak ditubuhnya nampak terlihat dari balik kemeja bergaris lengan panjang. Jamban- jambang halus berwarna putih terlihat dari pandangan Tsabit selagi memerhatikan aktivitas pria paruh baya itu.

  "Berkas sudah lengkap. Pemeriksaan pun selesai. Kepolisian menyatakan bahwa saudara Kelana Arsalais dan Tody dewangga bersih dari tuduhan kasus ini. Besok mereka sudah bisa pulang." jelas pria itu menoleh menghadap Tsabit.

Tsabit menarik dua sudut bibir disertai binaran mata indah. "Tapi untuk saudara Marco Alexis dan Jimmy Tambunan, mereka ditetapkan sebagai tersangka. Rupanya, mereka sudah lama menjadi incaran polisi. Suami kamu beruntung, Tsabit." papar Sandy. Melepas kacamata tanpa bingkainya.

  "Saya sudah duga merekalah pelakunya. Mereka juga yang menjebak Arsa. Keyakinan saya tidak bisa berbohong." Tsabit menarik napas lega setelah selama kurang lebih tujuh hari menunggu kasus yang menimpa Arsa, akhirnya mencapai titik terang. Arsa difitnah. Sedangkan Tody dijadikan umpan untuk memfitnah Arsa.

  Usai menjalani beberapa rangkaian pemeriksaan, Arsa dinyatakan bersih dari obat-obatan terlarang itu. Tsabit dan Sandy terus menunggu kedatangan Arsa di ruang tunggu. Menunggu kehadiran Arsa dan memberi tahu kabar baik ini.

Tidak sampai memakan waktu lama, sosok Arsa baru saja keluar ditemani petugas kepolisian.

"Gimana hasilnya? Kapan gue bisa pulang?" Tanyanya pertama kali setelah duduk berhadapan dengan Tsabit.

"Besok. Kemasi barang-barang kamu ya. Besok saya, mama dan Kak Abrar bakal jemput kamu."

"Satu-satunya barang yang gue bawa ya cuma baju yang gue pake ini. Lo kira gue di sini ngekost."

Tsabit hampir menepuk jidat. Ia lupa suaminya tidak membawa barang apapun kecuali tasbih pemberiannya. Pakaian pun harus bolak balik Tsabit yang membawakannya hanya untuk ganti. Pakaian yang kotor, ia bawa untuk dicuci di rumah.

"Om Sandy, apa nggak bisa hari ini aja pulangnya?" Pandangan Arsa beralih ke Sandy. Pengacara sekaligus ayah dokter Syihab yang diminta Tsabit untuk menangani kasus suaminya. Sandy menggeleng bijak.

"Kita harus mengikuti prosedur yang ada. Tidak boleh ambil keputusan sendiri sekalipun kita dipihak yang benar."

"Menunggu sehari lagi di sini, nggak bikin kamu tersiksa kan?" Timpal Tsabit.

"Sehari di sini berasa setahun, Bit. Lo nggak tahu gimana rasanya nahan rindu gue sama rumah. Rindu sama mama papa, rindu sama Mas Abrar. Berasa kayak nunggu sidang kasus sianida kelar tahu nggak lo." keluh Arsa dengan wajah cemberut. Tangannya terlipat di atas meja. Matanya berpaling menatap lain, setelah itu kembali. "Lo udah pernah ngerasain rasanya dikangenin seseorang?" Tanyanya kali ini.

Tsabita IlanaWhere stories live. Discover now