Seulas senyum kembali menghiasi wajah teduh Edwin. Ia suka dengan jawaban Riswan dan itu benar, menikah memang harus disegerakan. Ah, ia benar-benar tak menyangka ini akan terjadi. Padahal ia sudah pasrah tak mendapatkan Sarah, namun takdir Tuhan berkata lain. Hidup sungguh penuh kejutan.

***

"Sarah."

Panggilan Riswan membuat gadis yang baru saja memasuki usia dua puluh itu kembali duduk. Semula ia akan pergi ke kamar usai makan malam bersama papa, kakak, dan adiknya. Kini tinggal ia dan Riswan, sementara kedua saudaranya sudah meninggalkan ruang makan terlebih dulu. "Ya, Pa," sahutnya.

"Papa mau bicara serius sama kamu."

Sarah berpikir sejenak, mencoba menebak-nebak apa yang akan dibicarakan papanya. Atau apakah ia telah melakukan kesalahan yang tak disadari sehingga papanya akan memberikan wejangan dan peringatan? Itu membuat jantungnya sedikit berdebar.

"Papa mau bicara soal apa?"

"Papa minta kamu putuskan Elang dan menikahlah dengan Edwin. Minggu depan Edwin dan keluarganya akan datang untuk melamar kamu."

Tak ada basa-basi, Riswan langsung berbicara ke inti membuat Sarah yang duduk berseberangan dengannya mematung. Kedua mata gadis berambut panjang sepunggung itu mulai berair dan bibirnya bergetar. Ia begitu terkejut. Tiada hujan tiada angin, tiba-tiba papanya mengajukan permintan yang membuatnya bagai tersambar petir. Edwin, lamaran, menikah ... Ada apa ini sebenarnya?

"Kamu nggak tau, 'kan, kalau sebenarnya Edwin diam-diam suka sama kamu dan siap untuk menikahi kamu."

Sarah masih bungkam. Sebab terlalu syok, jadi ia belum bisa mengeluarkan kata-kata. Mulutnya seolah terkunci. Sesekali matanya terpejam untuk menahan air yang sudah menggenang agar tidak jatuh.

"Daripada kamu pacaran sama si Elang dan nggak tau sampai kapan, mending kamu nikah sama laki-laki yang udah siap dan juga suka sama kamu."

Akhirnya pertahanan Sarah runtuh. Air mata yang sedari tadi ia tahan, kini jatuh mengalir membasahi pipi. Ini tak bisa dipercaya. Ternyata Edwin menaruh rasa padanya dan papanya langsung ingin menikahkannya dengan lelaki itu. Ini benar-benar gila.

"Jadi, putuskan Elang sekarang juga."

"Enggak." Sarah berteriak lantang setelah sekian lama terdiam. Tubuhnya yang melemas karena pengaruh rasa kaget, kini mampu berdiri tegak. Ia memberanikan diri menatap mata sang papa sambil berujar dengan tegas, "aku nggak bakal mutusin Elang dan aku nggak mau menikah sama Kak Edwin."

Setelah itu Sarah pergi meninggalkan ruang makan. Ia tak menggubris sang papa yang memanggil-manggilnya. Ia terus berlari sambil masih terisak hingga suara gedebug dan erangan kesakitan berhasil menghentikannya. Ia menoleh, lalu sekali lagi terkejut saat melihat Riswan tergeletak di lantai dengan tangan memegang dada.

"Papa." Sarah berteriak histeris. Ia berlari menghampiri lelaki yang megap-megap itu. "Kak Iim, Maryam. Papa jatuh." Ia memanggil kakak dan adiknya.

Selang beberapa detik kemudian terdengar suara gaduh orang berlari. Iim dan Maryam datang dengan raut wajah yang sama-sama menyiratkan kepanikan. Sambil bertanya kenapa dan kenapa, mereka langsung membantu Sarah mengangkat Riswan, lalu dengan susah payah membaringkan ayah mereka di sofa ruang tengah.

"Kak Iim, siapin mobil. Kita bawa Papa ke rumah sakit." Sarah sungguh khawatir dengan kondisi Riswan. Ia menduga papanya terkena serangan jantung.

"Nggak usah," tolak Riswan dengan suara pelan.

"Tapi, Pa ...." Maryam menangis tersedu di samping papanya.

"Papa nggak apa-apa. Papa cuma kaget Sarah menolak permintaan Papa." Riswan berbicara dengan nafas tersengal-sengal membuat anak-anaknya panik, sedih, dan sekaligus takut.

Air mata Sarah semakin deras. Ia merasa sangat bersalah. Digenggamnya tangan Riswan erat lalu diciumnya takzim seraya berkata, "maafkan aku, Pa. Iya, aku menerima permintaan Papa. Demi Papa, aku akan mutusin Elang dan menikah dengan Kak Edwin."

"Benar?" tanya Riswan tak percaya.

Sarah mengangguk lemah, lantas memeluk erat tubuh papanya itu. Maryam melakukan hal serupa sementara Iim yang berdiri di balik punggung kedua adiknya mengacungkan ibu jari sambil tersenyum. Ia sudah mengetahui semuanya, termasuk sandiwara sakit Riswan saat Sarah menolak permintaan itu. Semua sudah direncanakan.

Sementara itu Riswan mengedipkan sebelah mata pada anak sulungnya, tak lupa diiringi dengan senyuman. Rencananya berhasil.

***

Sayap Patah ElangWhere stories live. Discover now