2

259 25 14
                                    

Edwin Maulana Rusandi. Nama lelaki berusia dua puluh empat tahun yang dipilih Riswan untuk dinikahkan dengan Sarah. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Seperti tahu bahwa ia ingin membicarakan hal penting, Edwin berkunjung ke rumahnya usai bermain futsal dengan Ibrahim, putra sulungnya. Mereka berteman sejak kuliah dan masih awet hingga sekarang.

"Apa kabar, Om?" Edwin mencium takzim punggung tangan Riswan.

"Alhamdulillah, kabar Om baik. Kamu sendiri, gimana?"

"Aku juga baik, Om. Alhamdulillah."

"Masih betah kerja di pajak? Harus kuat iman, lho, kalo kerja di sana." Riswan tertawa, sementara Edwin tersenyum.

Iim – panggilan akrab Ibrahim – datang dengan membawa minuman dan makanan ringan. Mereka bertiga berbincang santai diselingi canda tawa. Riswan memang sosok ayah yang tidak kaku sehingga bisa berbaur dan akrab dengan teman-teman anak-anaknya. Ia tak ragu untuk nimbrung seperti yang dilakukan sekarang.

Mereka membicarakan tentang pekerjaan, sepak bola, dan Riswan sengaja menyinggung seputar pernikahan. Ia bertanya pada Edwin, apakah sudah memiliki calon istri setelah gagal mendekati Sarah beberapa waktu lalu. Edwin menjawab belum. Itu kabar baik, pikir Riswan. Dengan begitu, ia akan mudah menjalankan rencananya.

Sejak masih kuliah hingga kini, Edwin kerap berkunjung ke rumah Riswan. Jadi ia telah mengenal Sarah, begitu pun sebaliknya. Diam-diam ia naksir Sarah dan waktu itu ia baru berani mengatakannya pada Iim. Namun sayang, karena lama memendam rasa, akhirnya ia terlambat. Gadis berlesung pipit itu keburu dimiliki orang lain. Akhirnya kekecewaan dan penyesalan yang ia dapat.

"Kamu masih suka sama Sarah?"

Pertanyaan Riswan membuat Edwin agak terkejut. Dari mana lelaki itu tahu bahwa ia menyukai anak gadisnya? Ah, ya. Pasti Iim yang memberitahu, pikirnya. Saat ia melirik ke arah temannya itu, Iim tersenyum memamerkan gigi. Ia melotot, dan Iim malah tertawa.

"Kalo masih, kamu siap nggak, buat nikahin Sarah?"

Edwin melongo.

"Papa serius?" Iim ikut keheranan dengan omongan papanya. "Sarah, kan, udah punya pacar."

"Edwin, apa kamu siap?" tanya Riswan sekali lagi yang mengabaikan Iim. Matanya menatap lelaki berjenggot tipis di hadapannya.

Sungguh, Edwin tak menyangka akan langsung ditembak dengan pertanyaan tersebut. Itu membuatnya menjadi gelagapan. Lagipula mengapa Riswan tiba-tiba menanyakan hal tersebut? Apa maksudnya? Ia sama sekali tidak mengerti mengingat Sarah yang sudah memiliki kekasih. Namun sejujurnya ia memang masih naksir gadis yang duduk di semester lima itu.

"Iya, Om, aku siap."

Itulah jawaban yang keluar dari mulut Edwin. Ia tak peduli Sarah yang sudah memiliki kekasih. Toh, Riswan yang memberikan peluang, bukan hanya untuk sekedar mendekati namun menikahi gadis yang telah lama bersemayam di hatinya. Bukankah ia sangat beruntung? Tentu saja ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Siapa sih, yang tak ingin menikah dengan sang dambaan hati?

"Bagus." Senyum Riswan melebar. "Kamu dan keluargamu bisa datang minggu depan untuk melamar Sarah dan menentukan tanggal pernikahan."

Iim melongo. Ia tak tahu apa yang terjadi pada sang papa Setelah Edwin pulang nanti, ia akan menginterogasinya. Pasti ada suatu hal penting yang membuat papanya mengambil keputusan besar ini.

"Secepat itu, Om?" Perasaan Edwin bercampur aduk antara takjub dan bahagia.

"Lebih cepat lebih baik," jawab Riswan santai.

Sayap Patah ElangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang