First Impression

19.3K 1.3K 261
                                    

Jangan lupa selesaikan kewajiban kalian di real life dulu sebelum membaca karya-karyaku, ya.


Jangan lupa follow, vote, comment dan sebarkan cerita ini ke temen-temenmu, biar ada bahan ghibah yang seru!

Happy reading!

*****

Humaira tahu. Tidak melayani suami ketika diminta adalah dosa. Seorang Hafizah seperti dia mana mungkin tidak paham hal tersebut?

Humaira punya alasan menolak permintaan Liand bersetubuh. Alasan itu tidak dapat diceritakan sekarang. Dia sedang menunggu waktu yang tepat.

Usai menutup pintu dan menata hati, Humaira membuka laci kayu yang menyatu dengan meja pualam dan wastafel kamar mandi untuk mengambil benda panjang pipih di dalamnya.

Ia termenung mengamati tulisan yang tertera pada bagian tengah benda tersebut. Pregnant.

Humaira positif hamil lagi.

Padahal Roland masih berusia empat bulan. Jika tahu bahwa dirinya hamil, sudah pasti Liand akan melarangnya bolak-balik Surabaya-Malang setiap hari. Humaira tidak mau itu. Ada tugas penting yang harus ia emban di Malang.

Bu Intan sakit keras dan sedang membutuhkan perawatan. Hanya dia satu-satunya orang yang mau merawatnya. Karena bu Intan tidak punya anak. Bu Tiara, satu-satunya kakak perempuan yang Bu Intan miliki sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Sedangkan tiga keponakan tinggal di Kairo dan Yaman. Tidak ada yang bisa merawat Bu Intan kecuali dirinya.

Dibujuk berulang kali untuk ikut ke Surabaya pun, Bu Intan tidak mau. Jangankan Surabaya, dirawat di rumah sakit kota Malang saja dia menolak. Wanita tua itu ingin menghabiskan sisa hidupnya di pondok pesantren.

Humaira jelas tidak tega meninggalkan Bu Intan sendirian di Pondok. Sejak kecil, wanita itulah yang merawatnya dengan kasih sayang dan penuh kesabaran. Bagaimana mungkin Humaira tega menelantarkan Bu Intan begitu saja?

Sedangkan kondisi kandungannya sendiri juga agak mencemaskan.

Dua bulan lalu, ketika Humaira tahu bahwa dirinya hamil, Liand minta untuk dilayani. Keesokan hari, ada bercak darah di celana dalamnya. Bercak darah itu menyerupai haid tetapi tidak begitu banyak.

Esoknya, ia segera memeriksakan diri ke dokter kandungan. Meskipun janin itu masih dapat dipertahankan, tetapi dokter berpesan agar Humaira menjaga diri agar lebih berhati-hati lagi, supaya tidak sampai terjadi keguguran.

Setelah itu, setiap kali diajak Liand berhubungan, Humaira selalu ketakutan. Bukan karena takut disentuh, sudah lama penyakit traumatisnya sembuh, melainkan takut keguguran. Itu akan menyudutkannya pada perasaan bersalah pada janin ini.

Humaira mendesah lelah. Semoga saja Liand bisa bersabar menghadapi penolakannya selama ini. Sebab dia sendiri pun sedang berjuang membagi waktu, perhatian dan tenaga untuk mengerjakan kewajibannya secara adil.

Dia berjuang melaksanakan kewajibannya pada Liand, anak-anak, bu Intan, para orangtua, dan janin yang tengah dikandung.

Humaira sungguh-sungguh sedang berjuang sekuat tenaga.

*****

Liand sudah tidur ketika Humaira membuka pintu kamar mandi.

Sebelum menyusul suaminya, ia menengok box bayi untuk memastikan bahwa Roland masih tertidur pulas.

Bayi berpipi gembil itu masih memejamkan mata. Selimutnya sudah tersingkap separuh, Humaira menaikkan perlahan agar tubuh bayi itu tetap terjaga hangat.

Toxic Temptation (Old Version-tersedia PDF)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang