02. Banyak Maunya!

Start from the beginning
                                    

Baru saja pantatku bersentuhan dengan kursi, tiba-tiba Dewa berjalan di depanku. Membuatku terpaksa kembali berdiri untuk menyapa pria itu. “Pagi, Mas Dewa!”

Sumpah gue nggak ikhlas manggil, tuh, bocah ‘Mas’!

Dewa mengangguk singkat. “Pagi juga, Pitaloka,” jawab Dewa seraya mengecek arloji di lengannya. “Bisa ikut saya sebentar?”

Aku mengangguk mengiakan. “Bisa, Mas,” jawabku seraya mengikuti Dewa masuk ke ruangannya.

Seperti kemarin Dewa membuka jasnya sebelum duduk dan aku pun segera mengambil jas pria itu untuk kugantung. Sepertinya Dewa tipe orang yang gerah jika bekerja menggunakan jas, makanya pria itu selalu menanggalkan jasnya sebelum bekerja dan memakainya kembali saat ingin pulang atau ada rapat penting di luar.

Thanks!” seru Dewa yang langsung aku respons dengan anggukan mengiakan. “Sama-sama, Mas.”

“Oh, ya, Pitaloka.”

“Kenapa, Mas?”

Si bos pasti mau bilang makasih karena udah gue bikinin kopi!

“Temenin saya ngecek restoran, ya?”

Kampret ternyata bukan!

Aku mengerjap polos. “Kapan, Mas?”

“Sekarang,” jawab Dewa singkat.

“Se-sekarang?” tanyaku syok.

Memang, sih, letak restoran Nusantara cabang Jakarta letaknya tepat di samping gedung kantor ini, tapi biasanya kalau mau ada pengecekan akan ada diskusi dulu dengan manajer restoran. Agar sang manajer bisa segera menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan, seperti presentasi laporan penjualan misalnya.

“Kenapa? Ada masalah?”

Aku berdeham pelan. “Biasanya kalo mau ada pengecekan ibu Mala akan berdiskusi dengan manajer restoran dulu, Mas,” jelasku.

Dewa mengangguk mengerti. “Saya tau, Pitaloka. Tapi saya ingin melakukan pengecekan dadakan. Tidak apa-apa, ‘kan?”

“Iya, Mas, tidak apa-apa,” ujarku seraya mengangguk mengiakan.

“Yasudah, sebaiknya kita ke sana sekarang!”

Sekali lagi aku mengangguk, kemudian mengikuti langkah Dewa keluar ruangan. Sebelum pergi aku menatap miris kopi buatanku. Buset boro-boro diminum, dilirik saja nggak!

Kini kami berdua tengah ada di lift yang akan mengantar kami ke lantai dasar. “Pitaloka,” panggil Dewa.

“Ya, Mas?”

“Kopi yang ada di meja kamu yang buat?”

“Iya,” jawabku datar. Sumpah aku masih kesal dengannya.

“Oh, kalo gitu kamu minum sendiri aja. Hari ini saya lagi nggak pengin minum kopi. Tadi sudah minum teh hijau di rumah.”

Gue nggak nanya!

“Baik,” jawabku seraya tersenyum manis. Walau sebenarnya aku ingin sekali menjedotkan kepala Dewa ke dinding lift agar otak pria itu—yang mungkin sedikit bergeser—kembali ke tempatnya semula.

Dasar bocah tengik menyebalkan!

Sekarang kami sudah tiba di restoran. Dewa langsung mengumpulkan para koki, waiter dan waitress, tidak ketinggalan satpam dan OB. Pria itu berdiri di depan semua karyawan restoran dan dapat aku lihat para karyawan yang pria itu kumpulkan menatap Dewa takut-takut. Memang, sih, aura Dewa saat ini benar-benar membuat nyali ciut. Aku juga merasakannya.

Danang—sang manajer restoran meneguk ludah kasar. “Selamat pagi, Pak Dewa! Maaf saya belum menyiapkan laporan apa-apa. Karena biasanya kalo mau berkunjung ada pembe—“

“Oh, tenang Danang. Saya ke sini cuma mau main saja, kok. Kalian nggak perlu tegang begitu.”

Main katanya. M-A-I-N!

“Saya cuma mau bilang good job buat kalian semua karena grafik penjualan restoran selama enam bulan terakhir naik terus. Kalo bulan ini juga naik, mungkin saya bakal kasih bonus liburan. Kalian tinggal pilih mau ke Bali, Raja Ampat, Bunaken, atau mungkin pulau Komodo?”

Mendengar penjelasan Dewa suasana menjadi tidak setegang tadi, malah para karyawan terlihat sangat bahagia. Bahkan, ada yang terang-terangan memekik senang.

Dewa menepuk bahu Danang. “Kerja bagus, Nang! Terus pertahankan, ya!” serunya. Kini tatapan Dewa kembali beralih ke semua karyawan restoran. “Kalian juga sudah bekerja keras! Terus pertahankan seperti ini!”

“Siap, Pak!” jawab mereka serentak, membuat Dewa tersenyum puas.

Setelah itu Dewa undur diri dan seperti biasa aku mengekor di belakangnya. Sebelum pergi aku mengacungkan jempol ke seluruh karyawan. “Good job, guys!”

Thanks, Mbak Pita!” sahut mereka kompak.

Ya, tadinya kupikir Dewa bakal membuat drama pagi-pagi, tapi ternyata Dewa tidak seburuk yang aku pikirkan. Ternyata bos kampretku itu juga tahu bagaimana caranya memberi apresiasi.

***

Noted :

2. Perfeksionis adalah orang yang ingin segala-galanya sempurna.

Trapped  (Terbit) ✓Where stories live. Discover now