“Aku ingin mengucapkan terima kasih,” kata Alivia, menjelaskan, “tidak pantas rasanya bila menerima belas kasih bila—”

“Tidak perlu,” Thora memotong ucapan Alivia, jemarinya merapikan rambut yang terlepas dari sanggul. “Tuan pasti akan menemuimu saat beliau menghendakinya.”

Sengatan dingin menjalari tulang belakang Alivia. Kecemasan bercampur amarah mendobrak rongga dada hingga jantung pun berdegup kencang. “Thora,” katanya. Sebisa mungkin Alivia menatap wajah Thora, berharap menemukan jawaban serta memaksa wanita itu bersekonkol dengan niatan Alivia. “Keadaanku sudah pulih. Aku sangat berterima kasih atas kebaikan yang kalian berdua berikan. Lihatlah, tubuhku jauh lebih baik dari kali pertama menginjakkan kaki di sini.”

Hening. Thora membiarkan Alivia melanjutkan;

“Aku ingin pergi. Terlalu lama aku dibutakan kemewahan serta keramahtamahan darimu. Tidak baik menikmati seluruh santapan, pakaian, dan kebersamaan ini. Aku harus pergi. Tempatku bukan di sini, bersama vampir. Thora, tolong sampaikan rasa terima kasihku. Besok, bila Sang Malam menghendaki, aku akan pergi.”

“Alivia, bolehkah aku tahu tempat yang akan kautuju nantinya?”

Alivia menggeleng. “Aku tidak tahu,” katanya sembari menatap sepasang parkit yang tengah terbang di antara cabang pohon. “Mungkin aku bisa menemukan kawanan manusia lain. Kelompok yang tidak tunduk pada kaum mana pun.”

“Aku khawatir nantinya kau tidak akan menemukan mereka. Di luar kediaman hanya ada belantara dan rimba, kau tidak akan sanggup melawan binatang buas serta kemungkinan terburuk: lycan.”

Sekejap, bayangan makhluk berbulu perak terlintas di benak Alivia. Dia masih bisa mengingat aroma anyir darah serta tekanan kematian yang hampir membawanya. “Lalu, untuk apa aku ada di sini?”

“Kau tidak perlu mencari tahu alasan agar dirimu pantas berada di sini,” Thora menjelaskan. “Kau bebas. Tidak ada satu pun di antara kami yang akan mengurung dan memaksamu berbuat menentang kehendakmu.”

“Tapi, aku tidak boleh pergi!”

Kali ini Alivia mencengkeram pinggiran meja. Permukaan kayu sonokeling itu terasa licin oleh dusta. Dia bisa menciumnya sejelas Thora yang kini bisa merasakan gelegar emosi si anak manusia.

“Andai aku bisa menjelaskan kepadamu,” ujar Thora. “Alasan kami tidak bisa mengizinkanmu pergi, namun percayalah, tidak ada setitik pun niat buruk dalam iktikad kami.”

Dan setelahnya, Alivia tidak memaksa Thora menjelaskan alasan apa pun yang disimpan oleh wanita tersebut. Malam-malam dihabiskan Alivia dengan membaca di perpustakaan. Dia ingin menyalurkan segala kekesalannya karena dijadikan tahanan, atau begitulah dirinya beranggapan. Terkadang dia sengaja berlama-lama di perpustakaan, mengabaikan makanan yang diantar Thora untuk kemudian digantikan dengan sarapan yang kadang disentuh Alivia.

Vampir itu tidak menunjukkan tanda-tanda tersinggung dengan sikap Alivia. Sebaliknya, Thora maupun Darga, seperti biasa, menawari Alivia menemani pagi berjalan-jalan di pinggir kolam maupun kebun bunga. Mereka berdua, atau salah satu dari mereka, selalu menemani Alivia saat berada di luar ruangan. Hanya di perpustakaan keduanya tidak muncul. Kemungkinan mereka membiarkan Alivia memiliki ruang pribadinya sendiri.

Alivia tersadar dari bacaan ketika purnama telah menaungi bentang alam di bawahnya. Melalui jendela dia bisa melihat deretan jajaran gugus bintang. Aneka cahaya intan saling berkelindan menyemarakkan langit dalam harmoni.

Selama beberapa saat Alivia menikmati malam. Serangga mulai berdengung sebagai paduan suara bagi Sang Malam. Tetes-tetes air bermunculan dari ujung daun mawar. Kunang-kunang bermunculan di pinggir kolam, sebagian melayang di atas permukaan dan yang lain menempel di daun maupun bunga teratai yang mekar sempurna.

Lalu, di sana, tepat di pinggir kolam teratai, Alivia melihatnya. Jendela perpustakaan mengarah langsung ke kolam teratai. Alivia menatap langsung si pria yang berdiri di seberang kolam. Mereka berdua saling berhadapan terpisahkan jarak. Pria itu tidak seperti pria mana pun yang pernah dijumpai Alivia. Rambut pirangnya tampak berkilau di bawah siraman cahaya rembulan. Sang Malam seolah membentuk pria itu dengan keanggunan dan kerupawanan yang indah sekaligus tidak manusiawi.

Mereka berdua seakan terikat dalam irama hidup yang sama. Alivia tidak bisa berhenti menatap sementara jantungnya bertalu, mengirim gelenyar panas ke seluruh tubuh.

Kunang-kunang kini menari-nari di sekitar si pria. Pakaian yang dikenakannya didominasi putih dan hitam seperti intan dan mutiara hitam dalam orkest malam.

Begitu indah.

Sangat memikat.

Tidak ada satu wanita pun yang sanggup berpaling darinya.

Kedua telapak tangan Alivia menekan permukaan kaca. Hawa dingin terasa di bawah telapk tangan, namun dia tidak peduli. Satu-satunya yang memikat hanyalah keberadaan pria itu.

Jangan percaya pada kedua matamu. Bisa saja apa yang kaulihat saat itu hanyalah tipu daya iblis.

Theo tidak pernah absen mengingatkan Alivia akan bahaya. Sayangnya kali ini dia tak ubahnya ngengat yang terpikat pada api. Walau panas mendera kulit dan bara menghancurkan raga, dia akan tetap melaju dan menenggelamkan diri dalam pesona si pria. Hatinya bergetar dalam sensai asing. Seakan keduanya memang diharuskan bertemu oleh Sang Malam.

Ingatlah bahwa akal tidak boleh dibutakan oleh pretensi maupun ego. Kau tidak bisa mengambil keputusan bila kehendakmu diintervensi oleh nafsu. Jangan percaya pada panca indramu. Lihatlah menembus tudung dan temukan kebenaran sejati di baliknya. Kau tidak boleh terpikat pada keindahan semata sebab itulah yang menyebabkan raja manusia takluk. Bisakah kau melihatnya?

Napas Alivia menciptakan kabus tipis di permukaan jendela. Pria itu bergeming, menatap lekat sosok gadis di balik jendela. Dia tidak tersenyum. Alivia tidak melihat senyum maupun gurat emosi.

Bisakah kau melihatnya seperti caraku melihat dirimu?

Perlahan Alivia menjauhkan kedua tangannya dari jendela. Peringatan Theo berdentam di benaknya—mengingatkan segala keburukan yang menimpa manusia.

Bisakah kau melihatnya bila keindahan itu dihilangkan?

Bibir Alivia terasa kering. Selangkah demi selangkah dia pun menjauh dari jendela. Theo, katanya, mengingatkan diri sendiri, Theo!

Bisakah kau melihatnya, Alivia?

Alivia menggeleng, mencoba menolak sosok di seberang kolam. “Siapa kau?”

Sosok di seberang kolam tidak menjawab. Dia bahkan tidak gentar maupun cemas atas perilaku Alivia.

Alivia, larilah. Dunia ini bukan tempat ramah layaknya dongeng pengantar tidur. Kita hanyalah domba sementara binatang buas terus mengincar dan kita tidak bisa berbuat apa pun selain lari dan menghindar.

Gigilan dingin menjalar. Mendesak Alivia kian menjauh.

Bisakah kau melihatnya?

Alivia tidak bisa melihatnya.

Pada akhirnya dia memilih menjauh dan berlindung dari binatang buas miliknya.

Terus menghindar.

Berlari.

Hingga tiba saat dia harus bertatap muka dengan binatang buas.

Nocturne (SELESAI)Where stories live. Discover now