'Manusia?'

1.2K 114 3
                                    

Ruang tamu kembali terlihat ramai. Suara berisik dari canda tawa mereka memenuhi ruangan luas itu.

Sampah dan remah keripik berserakan di atas meja. Seperti biasa pula Frankenstein akan merasa tertekan dan stress pada situasi tersebut. Namun, di sisi lain ia juga senang semuanya kembali seperti dulu, terutama kembalinya sang Tuan yang dicintainya, Cadis Etrama Di Raizel.

"Woohh Rai aku sangat terkejut saat liat kamu duduk di kursi kosong itu!" Seru Shinwoo seperti biasa dengan suara keras.

"Shinwoo benar, aku bahkan hampir lupa siapa yang duduk di kursi itu dan kenapa kursi itu harus di kosongkan," timpal Ikhan sambil memperbaiki letak kacamatanya.

"Aku senang kamu kembali Rai," sambung Yoona dan Sui hampir bersamaan.

Di sela kebisingan yang terjadi sepasang iris biru laut terus memperhatikan wajah datar yang tengah menikmati tehnya. Seulas senyum merekah di bibirnya, keyakinannya bahwa Tuannya masih hidup menjadi nyata. Jika bertanya bagaimana perasaannya saat ini, mungkin tidak akan ada jawaban yang pantas mewakilinya.

'Tuan, ini seperti mimpi,' batinnya.

"Hey anak-anak ini sudah malam, ayo aku antar pulang," seru Tao tiba-tiba.

"Wah benar, tidak terasa sudah selarut ini hahaha"

"Benar Shinwoo, aku terlalu senang karena Rai kembali," sambut Ikhan.

"Tapi besok kalian harus sekolah kan?" Frankenstein menegur tak lupa senyuman yang masih bertengger di bibirnya.

Mereka mengangguk kemudian berpamitan. Tao, Takio dan M-21 mengantar mereka pulang, kini tinggal Frankenstein dan Raizel yang membisu di tengah ruangan.

Banyak pertanyaan di benak Frankenstein sebenarnya, hanya saja dia bingung bagaimana memulainya.

"Tuan," Frankenstein menimbang-nimbang kalimat apa yang tepat.

"Aku senang anda selamat, tapi ... apa yang terjadi sebenarnya?  Butiran merah itu ... " sang pelayan menunduk bingung harus menggunakan kalimat apa untuk mempertanyakannya.

"Frankenstein," yang dipanggil langsung mendongak.

"Aku ... bukan lagi Tuanmu."

Manik biru itu membulat, tidak percaya pada pendengarannya.

"Maksud anda?"

"Aku bukan lagi seorang Noblesse," Raizel menatap tepat di iris biru Frankenstein. "Aku manusia."
.
Tik
.
Tok
.
Tik
.
Tok
.
Denting jam memecah kesunyian. Dua orang saling tatap dengan pandangan berbeda yang satu memberikan kejujuran sementara yang lainnya ketidak percayaan.

"Aku ... tidak mengerti Tuan. Bagaimana bisa? Maksudku anda seorang Noblesse, bagaimana mungkin menjadi manusia," racau Frankenstein, ia memijat pangkal hidungnya. Kembalinya Raizel bukan hanya kebetulan ternyata memang ada misteri di baliknya.

Pembicaraan itu benar-benar mengganggu pikiran Frankenstein, bahkan setelah semuanya selesaipun ia masih memikirkannya, waktu tidurnya juga sedikit terganggu. Laki-laki pirang itu memikirkan banyak hal dalam semalam, tentang kemungkinan apa yang bisa merubah Tuannya menjadi manusia. Apa karena Tuannya kehabisan kekuatan?  Atau Tuannya menggunakan sisa kekuatannya untuk melindungi diri?  Terlalu rumit dan tidak bisa di pahami. Rasanya antara mustahil, tapi benar terjadi.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi padamu, Tuan?" pikirnya di saat matanya tak mampu terlelap.

"Kalau tuan benar menjadi manusia ... itu berarti energi kehidupannya tidak akan lama lagi?  Di tambah banyak hal yang sudah terjadi sebelum beliau memilih menjadi manusia biasa. Tidak, ini tidak mungkin. Dari sudut manapun ini sangat tidak masuk akal."

Frankenstein mengusak rambutnya frustasi, dia bingung harus bagaimana menanggapi masalah ini. Apa bedanya dengan yang kemarin saat tuannya dinyatakan telah tiada, kalau nyatanya sekarang meski Tuannya telah kembali umurnya takan lama lagi.

"Sial!!" Rutuknya.

Detik berikutnya ia menegakkan kepala, saat satu pemikiran terlintas di kepalanya.

"Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya, tapi aku harus mencaritahu tanpa di curigai. Mengingat Tuan tidak mau siapa pun tau tentang identitasnya saat ini."

.
.
.
Karawang, 20 April 2019

Noblesse: The Last Part√√ [REVISI]Where stories live. Discover now