Frankenstein

2.6K 165 16
                                    

Degh!!!!!

Ada denyut tidak nyaman yang dirasakan Frankenstein. Pikiran khawatir dan cemas mulai menyelimutinya. Hanya satu yang terlintas di kepalanya, Tuannya!.

Di tengah kota, di gelap malam dengan gemerlap lampu gedung pencakar langit dan ratusan orang berlalu lalang di jalanan. Butiran cahaya merah berguguran mempercantik suasana.

"Apa ini?" seorang anak kecil mengelap hidungnya yang terkena butiran itu.

Ribuan kilauan cahaya merah menerangi. Namun, suasananya begitu sendu entah karena apa.

Frankenstein yang masih berada di tengah gurun pasir bersama rekannya yang lain terdiam membeku. Denyutan kesakitan yang menerpa hatinya kian menyayat.

Sedetik kemudian ia sadar apa yang terjadi saat ini mungkin berkaitan dengan Tuannya.

Cadis Etrama Di Raizel, sang Noblesse telah berhasil menjalankan misinya untuk menyelamatkan manusia dari ledakan rudal yang diluncurkan tepat saat Frankenstein berhasil mengalahkan musuhnya.

"Tuan," Frankenstein berusaha menyangkal apa yang terjadi, tapi tetap saja kenyataannya ia benar-benar kehilangan kontak batin dengan Tuannya.

Tubuhnya yang sudah letih akibat pertarungan sengit memaksanya untuk jatuh berlutut. Kepala yang tidak pernah ia tundukan kepada siapapun kecuali Tuannya kini mulai merunduk. Sesak menyergap dada sampai akhirnya butiran bening meluncur dari matanya.

Hatinya masih menyangkal, tidak mungkin Tuannya pergi. Tidak mungkin Tuannya lenyap bersama rudal tersebut.

"Tuan, maaf, maaf. Seharusnya aku bisa melindungimu agar tuan tidak mengeluarkan kekuatan lagi, maaf," racaunya penuh keputusasaan.

Ratusan tahun ia hidup dengan Tuannya, meski dengan kehidupan yang monoton karena sifat pendiam Cadis Etrama Di Raizel. Namun, ia tak pernah bosan, tidak pernah mengeluh. Ia senang, bahkan tidak punya alasan untuk pergi dari sisinya.

Bahkan setelah 820 tahun tuannya menghilang karena tertidur, ia tidak pernah berkhianat atau lari. Ia justru berusaha mencarinya. Namun, kini setelah semuanya kembali, hanya dalam hitungan singkat ia kehilangan sosoknya yang menjadi alasannya untuk bertahan dari rasa sakit kekuatannya demi melindungi sang Noblesse.

Embusan angin gurun menebar butiran debu, menggulung luka yang tengah menganga.

Rekan Frankenstein hanya bungkam, mereka tahu seberapa loyalnya orang yang tengah terpukul itu.

"Frankenstein, sebaiknya kita segera kembali." Karius salah satu kepala keluarga bangsawan yang ikut bertarung menepuk pundaknya.

Karius paham benar dengan keadaan pria berambut pirang ini, tapi tidak baik juga terlalu lama di tempat yang sedikit demi sedikit mulai mengembuskan hawa dingin. Apalagi tubuh mereka tengah kelelahan.

Frankenstein bangkit, wajah yang tadi tampak putus asa mulai mengeras menunjukan ketegasannya. Ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan siapapun.

"Kita kembali," titahnya.

Mereka melesat cepat meninggalkan arena pertarungan.

Tidak butuh waktu lama mereka sampai di kota yang dilindungi sang Noblesse. Butiran merah itu masih turun namun tidak sebanyak saat pertama turun.

Tubuh lelah Frankenstein di paksa berdiri lama menghadap keluar jendela, denyut sakit kembali ia rasakan. Cahaya merah itu mungkin saja milik tuannya.

"Benarkah ini sudah berakhir, tuan?"

Hening, hanya Frankenstein yang ada di ruang tamu, ia memang sengaja menyuruh rekannya yang lain untuk pergi dari ruang tamu.

"Apa karena aku tidak cukup kuat untuk menjadi pelayan yang melindungimu?"

Dentingan jam menjadi pemecahan kesunyian, butiran merah telah lenyap total menyisakan gemerlap lampu malam.

Bayangan ratusan tahun lalu menerpa isi kepala Frankenstein, membawanya pada mimpi buruk yang tercipta dari moment indah dalam hidupnya.

Matanya menajam dengan rahang yang terkatup rapat. Ada tekad terpendam yang ingin ia lakukan.

"Aku akan mencaritahu apa yang terjadi pada tuanku."

.
.
.
Karawang, 16 April 2019

Noblesse: The Last Part√√ [REVISI]Where stories live. Discover now