Pencarian

1.4K 137 4
                                    

Tabung raksasa berwarna biru dan merah menjadi fokus satu-satunya pria berambut pirang. Tatapan tajamnya menyembunyikan luka yang masih berusaha ditutup rapat.

"Bagaimana hasilnya?" Ia bertanya tanpa mengalihkan pandangan.

"Semuanya berjalan lancar, Tuan," laki-laki berjubah putih dengan kulit coklat menjawab sambil menunduk.

"Berikan semua datanya sampai yang paling kecil sekalipun," titahnya.

"Baik, Tuan," pria berjubah putih itu kemudian mengundurkan diri.

"Aku akan mencaritahu apa yang terjadi pada Tuanku," batin pria pirang itu.

Dia kemudian meninggalkan ruangan besar yang berisi tabung raksasa.
Ada tempat yang ingin dikunjunginya, tempat di mana awal dirinya menemukan keberadaan Tuannya.

Mobil mewah berhenti di depan sebuah gerbang sekolah menarik perhatian siswa siswi yang hendak pulang kerumah.

Sepatu hitam mengkilap menunjukan kekuasaan yang dimiliki sang pengendara. Sampai saat seluruh tubuhnya keluar barulah mereka sadar siapa yang mengendarai mobil berwarna silver.

"Frankenstein," salah satu penjaga sekolah menyapanya.

Seseorang yang merasa namanya dipanggil melirik kearah penjaga.

"Lama kau tidak berkunjung kemari," seolah sudah akrab penjaga itu berjalan beriringan dengan Frankenstein.

"Ya, aku sangat sibuk dengan eksperimen ku akhir-akhir ini."

Langkahnya terhenti bayang-bayang itu kembali muncul, saat dirinya menemani Tuannya untuk berkeliling sekolah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Langkahnya terhenti bayang-bayang itu kembali muncul, saat dirinya menemani Tuannya untuk berkeliling sekolah. Seulas senyum miris terukir, hatinya kembali berdenyut.

"Rasanya mati lebih nyaman dari pada di hantui semua kenangan," monolognya yang sukses membuat pria di sampingnya melongo dengan ekspresi konyol.

"Ck. Dasar bodoh," decak pria di samping Frankenstein.

"Siapa yang bodoh, M-21?"

"Mantan kepala sekolah SMA Ye Ran," balasnya tanpa takut dengan mata memicing berani.

"Kau mengataiku?" Frankenstein menunjuk diri sendiri.

"Kalau tersindir itu urusanmu," masih dengan nada santai M-21 berujar, tangannya yang bebas ia kurung dalam saku celana hitam.

"Itu bukan sindiran, jelas-jelas kau mengataiku."

Mereka kembali melangakah, koridor sekolah sedikit sepi hanya beberapa siswa-siswi yang masih berlalu lalang karena kegiatan di luar sekolah.

Kaki jenjang milik Frankenstein membawanya kesalah satu kelas yang menjadi sebagian kenangannya. Kursi belakang paling pojok dekat jendela adalah tujuannya. Matanya jatuh di sana, tangannya menyapu meja kemudian duduk di kursinya. Manik sebiru lautan menerawang jauh keluar jendela, merasakan kekosongan yang begitu nyata dirasa.

"Inikah yang sering dirasakan Tuanku selama beribu-ribu tahun. Sendirian dalam hening dan sepi, hanya jendela yang menampakkan sebagian dunia luar," hatinya berujar lirih meresapi setiap kekosongan yang dirinya rasakan.

Semilir angin menerpa wajahnya, memedihkan mata beriris biru hingga terlihat genangan air yang mulai tumpah membasahi dataran pipinya.

M-21 menjadi satu-satunya orang yang melihat kerapuhan seorang Frankenstein saat itu. Dia tahu bagaimana rasanya berada di posisi bosnya, karena ia juga pernah berada diposisi seperti itu saat kehilangan rekannya dulu, M-24.

"Aku tidak pernah mengira seseorang seperti Frankenstein yang selalu menggila di dalam pertarungan sengit bisa serapuh ini," batinnya dengan manik abu yang tidak teralihkan sama sekali, pemandangan langka di depan matanya sungguh di luar pemikirannya.

"M-21?" yang di panggil sedikit terkejut, tapi dia memilih diam.

M-21 menunggu kelanjutan dari rekan sekaligus bosnya ini.

"Apa kau percaya kalau Tuanku masih hidup?"

Mata M-21 terbelalak kaget, apa mungkin?  Ia tidak tahu harus menjawab apa, takut menyinggung perasaan Frankenstein.

"Aku tidak tahu. Bukankah kau yang memiliki kontak batin dengannya, rasakan saja sendiri."

"Aku percaya beliau masih hidup."

Lagi M-21 menatap tak percaya pria yang duduk di samping kirinya itu.

"Aku yakin dia hanya tertidur seperti 820 tahun lalu. Beliau mungkin akan datang kehadapanku lagi, entah sampai berapa tahun pun. Aku yakin dia akan muncul di depanku lagi. Aku yakin itu."

M-21 bungkam seribu bahasa tidak berniat menyangkal harapan yang begitu jelas terlihat di wajah lelah Frankenstein.

"Yah, kalau begitu kau cukup percaya pada apa yang kau yakini."

Kelas itu kembali hening dua pria yang ada di dalamnya sibuk dengan pemikiran masing-masing. Namun, jelas terlihat keduanya sama-sama menyimpan kesakitan.

.
.
.
Karawang, 18 April 2019

Noblesse: The Last Part√√ [REVISI]Where stories live. Discover now