Chapter 9. Bagas

Mulai dari awal
                                    

Tapi semua itu hanya berakhir dengan ciuman kupu-kupu yang pernah ia terima sebelumnya. Alfan yang berada di atasnya memandanginya untuk waktu yang cukup lama sebelum memberikan sebuah ciuman di dahinya.

Bagas melewati malam itu dengan berada di dalam pelukan seorang Alfan Prasetya dan itu adalah menjadi tidur paling nyenyak yang pernah ia alami.

Ketika Alfan berhenti melangkah, Bagas tersadar. Mereka telah sampai pada meja makan.

Alfan dengan sangat gentle menyiapkan kursi untuknya dan Bagas merasa sangat spesial. Tapi wajahnya seketika menjadi merah seperti stroberi saat perutnya berbunyi ketika matanya melihat banyak sekali hidangan untuk sarapan yang tersedia di atas meja.

Ia merasa malu sekali, apalagi Alfan tengah tertawa karenanya.

Bagas berharap ia bisa tenggelam dalam kursi yang ia duduki tapi sapuan Alfan pada rambutnya hanya membuatnya mendongak. Sosok itu masih dengan senyuman menatapnya dengan cara yang membuat Bagas ingin meleleh menjadi cairan di lantai.

"Makan yang banyak." Dan Bagas hanya bisa mengangguk.

Alfan melewati meja untuk duduk di sebrang. Bahkan karena itu, Bagas merasa bahwa sosok itu lebih menggiurkan daripada makanan yang telah tersaji di atas meja.

Detik selanjutnya, Bagas tersadar. Apa sih yang sebenarnya tengah ia pikirkan? Ia merasa heran dan takjub pada pemikirannya sendiri.

"Alfan udah kasih tau Ayah tentang keberadaan Bagas."

Bagas mendongak di sela kunyahan roti bakar dengan selai stroberinya. Ia menatap Alfan di seberang meja yang tengah memegang garpu dan pisau di masing-masing tangannya. Ia hampir saja salah memfokuskan pandangannya akan segala pesona sosok itu. Bagas baru teringat akan sosok Sang Ayah.

Dan lagi, Alfan selalu menyebut dirinya dengan namanya sendiri sejak semalam. Itu terasa sangat manis. Bagas bahkan tidak mempunyai bayangan saat sosok itu bisa menjadi cute seperti ini.

Bagas hanya bisa mengangguk. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Ia hanya menurut saat Alfan menyuruhnya untuk melanjutkan makannya.

Lalu saat Bagas mendongak setelah potongan roti bakarnya habis, ia tersentak. Di sana Alfan tengah menatapnya dengan kedua tangan dilipat di dada. Piring milik sosok itu telah kosong.

Apakah Alfan sedari tadi memperhatikannya ketika makan?

"Udah selesai makannya?" Alfan bertanya dengan bibir yang tersenyum juga dengan suara yang sama. Bagas mengangguk pelan dan matanya mengikuti kemana gerakan Sang Prasetya.

Alfan berdiri dan menghampirinya. Lalu Bagas kembali mendapat usapan di surai hitamnya.

"Selama Alfan bersihin ini semua, Bagas bisa mandi dan bebas pilih baju yang Bagas suka."

Tidak ada lagi yang bisa Bagas lakukan selain mengangguk. Ia sebisa mungkin untuk tidak terlalu banyak menghirup udara di sekitarnya. Hanya ada aroma pinus yang berada di tempat itu dan Bagas merasa bahwa ia bisa mabuk dalam waktu dekat.

Alfan mengecup puncak kepalanya dan membantunya berdiri dari kursinya. Sosok itu masih sempat mengusap hamparan pipinya sebelum akhirnya sibuk dengan peralatan makan yang harus dibersihkan. Bagas sendiri berjalan perlahan ke tempat yang tadi ia datangi.

Kamar milik Alfan.

Tempat itu adalah apartemen mewah kalangan atas yang bahkan harganya tidak mau Bagas bayangkan. Dan untuk berada di tempat seperti ini, Bagas hanya bisa bersyukur dan menikmatinya.

Tidak hanya untuk kamar, tempat ini memang didominasi oleh warna hitam. Sepertinya Alfan memang menyukai warna hitam. Walau seperti itu, Bagas sama sekali tidak menemukan kesan seram. Ia justru mendapatkan kesan elegan dan cozy. Alfan pintar untuk mengatur semuanya, tentu saja.

Bagas memasuki kamar mandi yang bahkan mempunyai keramik berwarna hitam. Sebenarnya ada apa dengan Alfan Prasetya dan warna hitam?

Tapi daripada memusingkan hal itu, Bagas lebih merasa pusing saat indera penciumannya hanya penuh dengan aroma pinus milik Alfan. Ia harus segera cepat untuk membersihkan dirinya dan keluar dari tempat itu.

Berada di dalam kamar mandi milik Alfan sudah cukup membuat Bagas merasa malu.

Bagas keluar dengan bathrobe di tubuhnya. Ia bersyukur bahwa bathrobe itu tidak memiliki warna hitam. Ia berjalan ke almari super besar yang jelas mempunyai warna hitam.

Ia menemukan banyak baju di sana, tersusun rapi sesuai jenis dan macamnya.

Lalu Bagas menemukan kemeja berwarna biru yang ia yakini pernah ia pinjam dulu. Tangannya terangkat dan menjangkau kemeja tersebut. Hidungnya membaui wangi yang tidak asing itu lalu memakainya secara perlahan.

Bagas memutuskan untuk memakai kemeja itu dan tubuhnya hanya tenggelam seperti terakhir kali ia pakai. Itu menunjukan bahwa badannya sama sekali belum mempunyai pertumbuhan yang berarti. Pemikiran itu membuatnya sebal saat bayangan sosok Alfan di dalam cermin mengagetkannya.

Seketika Bagas berbalik dan mendapati sosok itu berada di ambang pintu. Berdiri di sana dengan segala pesoannya tanpa harus melakukan apapun.

"Bagas pinjam baju yang ini, Pak." Katanya pelan lalu saat sorot tajam itu menikamnya, Bagas tersadar pada apa yang sudah ia lakukan.

"Ma-maaf." Suaranya semakin pelan terdengar. "Bagas belum terbiasa." Sambungnya. Ia lebih memilih untuk jujur. Rasanya memang belum terbiasa ketika lidahnya menyebut nama Alfan. Bagas masih merasa sungkan.

Ketika Alfan berjalan mendekatinya, Bagas menelan salivanya. Bahkan di saat seperti ini, ia merasa tidak bisa menghentikan dirinya untuk merasa kagum pada sosok itu.

Alfan hanya mengenakan kemeja dan celana denim tapi kenapa sosok itu bisa terlihat sangat breath-taking?

"Nggak papa, lama-lama pasti terbiasa."

Kata-kata itu diiringi dengan senyuman juga gerakan dari tangan milik sosok itu yang kembali mengusap pipi milik Bagas, merambat ke bagian telinga dan rahangnya. Telapak tangan itu bahkan bisa menyentuh bagian pipi, telinga hingga rahang milik Bagas dalam waktu bersamaan.

Dan Bagas hanya bisa mengangguk dan berusaha untuk ikut tersenyum.

"Alfan bakal anter Bagas pulang." Ah, ya. Bagas harus pulang. Ia tidak mungkin untuk tetap berada di tempat itu seperti ini. Tapi entah kenapa, kata-kata Alfan membuat perasaan kecewa mencuat.

Bagas mengangguk, kali ini lebih pelan dan kepalanya tertunduk. Ia bahkan merasa heran saat rasa kecewa itu terus menggerogoti dirinya. Sebenarnya apa yang tengah ia rasakan?

Bagas kembali berhadapan dengan wajah tampan Alfan saat dagunya diangkat.

"Bagas harus pulang." Alfan berkata seringan udara. "Alfan bakal nemuin Bagas lagi nanti." Suaranya selembut angin. Dan semua itu hanya mampu membuat Bagas menyerahkan diri sepenuhnya saat Alfan maju untuk meraup kedua belah bibirnya.

Bagas memang bimbang dengan apa yang tengah ia rasakan tapi jika bersama Alfan, ia merasa bisa untuk sedikit demi sedikit mempelajarinya.

.

To be continued.
Monday, 11 February 2019.

Note; aku udah pernah mention sebelumnya bahwa When Love Happens enggak akan memuat banyak chapter jadi kalo ini berakhir dalam beberapa chapter ke depan, tolong maklumi. Thank you so much for you fellas who always support me. Eight letters 💛

When Love Happens [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang