Chapter 9. Bagas

6.7K 814 179
                                    

Bagas membuka matanya ketika sinar matahari meneranginya, lalu kemudian ia menutup matanya kembali.

Ia merasa terganggu. Kedua matanya masih ingin terpejam untuk beberapa menit ke depan tapi sepertinya itu tidak memungkinkan saat hidungnya mencium aroma roti bakar. Perutnya seketika berdemo.

Bagas membuka matanya perlahan, ia menyesuaikan cahaya yang membuat matanya terasa sedikit sakit. Ia mulai mengedipkan kelopak matanya beberapa kali sampai pemandangan di hadapannya membuat kedua matanya terbelalak sangat lebar.

Sontak Bagas bangun untuk duduk. Ia kembali mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali dan pemandangan di hadapannya sama sekali tidak berubah. Itu bukan mimpi, kan?

Seorang Alfan Prasetya tengah berdiri di atas kakinya dengan celana denim dan kemeja putih yang tidak dimasukan ke dalam celananya. Sosok itu tersenyum sambil menyilangkan kedua tangannya di dada. Latar belakang jendela super lebar yang hanya memuat kaca itu disinari matahari dan berbias kepada sosok itu.

Itu Alfan, kan? Bukan malaikat, kan?

Atau Bagas sedang bermimpi?

"Selamat pagi."

Dan Bagas kembali membelalak. Ini sama sekali bukan mimpi.

Pandangannya tidak lepas saat Alfan memasang wajah geli ketika mendekatinya. Dan senyuman menakjubkan yang bahkan membuat Bagas rela untuk melakukan apapun hanya tetap terpatri di wajah ganteng itu saat tangan besar sosok itu mengangkat dagunya.

Kali ini Bagas bisa melihat keseluruhan wajah Alfan.

Seketika jantungnya terasa bertalu-talu dengan sangat keras hingga ia khawatir bahwa itu bisa merobek dadanya. Alfan hanya begitu pantas dengan semua apa yang dilakukannya dan Bagas merasa ingin tenggelam menjadi satu dengan tempat tidur yang tengah ia duduki.

"Turun." Alfan berkata dengan pelan namun lembut. "Kita sarapan." Tukasnya.

Bagas masih betah melihat wajah tampan itu dari jarak sedekat ini sembari menekankan pada dirinya sendiri bahwa semua ini bukanlah mimpi. Bagas mencoba untuk mempercayai apa yang tengah ia alami sekarang.

Tangan kirinya terangkat saat Alfan menawari tangan kanan miliknya yang besar. Dan Bagas merasa bisa mengikuti kemanapun sosok itu pergi.

Di tengah irama jantungnya yang masih berdetak sangat kuat, Bagas masih sempat merasa terpesona ketika melihat side profile dari seorang Alfan Prasetya. Sepertinya sosok itu memang pantas untuk terlihat dari sisi manapun.

Bagas juga melarikan matanya pada sekitarnya. Ia sempat melirik tempat tidur serba hitam yang ia yakini bernilai puluhan juta rupiah. Dan interior juga prabotan yang berwarna hitam. Kamar itu hanya didominasi dengan warna hitam.

Kamar seorang Alfan. Dan wajah milik Bagas menghangat saat menyadari bahwa ia baru saja tidur di atas tempat tidur sosok itu.

Ingatannya kembali pada dimana semalam ia akhirnya bertemu dengan Alfan. Semua yang ingin ia sampaikan akhirnya terlontar sudah. Ia merasa lega juga merasa senang saat ternyata Alfan sampai seperti ini padanya.

Bagas bisa saja menolak ajakan Alfan, ia mempunyai banyak kesempatan untuk melakukan itu. Tapi pada dasarnya, ia sendiri memang tidak ingin berpisah begitu saja dengan sosok itu. Bagas masih ingin lebih lama dengan bungsu Prasetya tersebut.

Itu hanya seperti mimpi saat Alfan menciumnya dan bersikap manis padanya. Bagas bisa merasakan semua perasaan yang ditunjukan oleh sosok itu untuknya.

Dan anehnya, Bagas sama sekali tidak merasa gugup dan takut saat sosok itu menggendongnya masuk ke dalam kamar. Ia seperti telah memberikan kepercayaan penuh pada sosok itu. Ia hanya merasa malu saat Alfan membaringkannya di atas tempat tidur lembut berwarna hitam itu. Menciumnya dengan sedemikian rupa hingga Bagas merasa bahwa ia akan menyatu dengan bantal di bawahnya.

When Love Happens [END]Where stories live. Discover now