6. Matahari

23 4 0
                                    

"Rahma, tolong kamu antar ini untuk meja nomor 12. Biar aku aja yang ngurus kotaknya."

Rahma mengangguk dan segera beranjak dari tempatnya bertepatan dengan Dilla yang tergopoh-gopoh keluar dari pintu yang bersebelah dengan meja tempat vas bunga kamboja berada. Naya yang melihat hal itu mengerutkan keningnya bingung.

"Kue kering yang diminta oleh Bu Ratna nambah sekitar tiga puluah kotak. Katanya lupa ngabarin dari kemaren."

Untuk sesaat ia tampak bingung hingga akhirnya sebuah gerutuan samar keluar dari bibirnya ketika mulai mengerti maksud perkataan Dilla. Ia memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan diri agar tidak meledak.

Kepalanya terasa pening sejak pagi, ia sudah menahan diri agar tidak melampiaskan kemarahannya pada orang lain gara-gara pertanyaan kemaren masih sering menghantuinya. Kini, masalah baru dari pelanggan seakan menjadi pelengkap untuk membuat kemarahannya memuncak.

Naya menghela napas lelah, selalu begitu, tapi jelas ia tidak bisa protes kepada pelanggan yang mengklaim bahwa pembeli adalah raja.

"Minta Rahma mengambil persedian yang untuk acara Mbak Anya saja, nanti kita ganti buat acara lusa. Masih satu jenis, kan?"

Dilla mengangguk paham. "Rahma, kamu panggil Ratna juga buat bantu ngurusin kotaknya sebelum waktu makan siang, percepat saja. Kita nggak punya banyak waktu." Naya memberi intruksi begitu Rahma muncul dengan nampan kosong di tangannya.

"Dil, jangan lupa juga Pak Asep buat secepatnya bawa mobil ke sini, nanti biar Rahma sama Adel saja atau nggak Ratih yang ikut, aku nggak bisa ikut ke acaranya buat nganter."

Semuanya langsung ngacir kembali ke tugas masing-masing begitu Naya membuat perintah. Ia memijat pelipisnya yang serasa berdenyut, mungkin karena efek susah tidur yang beberapa hari ini semakin parah menyebabkan waktu tidurnya tidak teratur.

Tadi malam saja ia baru bisa memejamkan mata ketika jam sudah hampir mendekati angka tiga pagi. Ia hanya bisa memejamkan mata sekitar dua setengah jam. Rencana untuk kembali memejamkan mata selepas shalat subuh terpaksa batal karena tepat sebelum jam enam ia harus sudah ngacir ke tempa ini gara-gara Dilla nelepone di pagi buta yang mengabarkan kue pesanan Bu Naya dimajukan sebelum jam makan siang, padahal seharusnya sesuai kesepakatan kemaren acara masih akan dilangsungkan sore hari.

Ia berbalik dan matanya menyusuri seluruh ruangan cafe yang tidak terlalu ramai di hari minggu seperti ini. Netranyanya langsung terpaku pada pemadangan yang sukses memuat hatinya mendadak jadi nyeri.

Adrian dan Andini duduk di meja sudut yang keberadaannya tidak terlalu kentara. Keduanya tampak berbicara serius sebelum akhirnya tawa Andini pecah entah karena ada hal lucu atau karena nyatanya pria yang duduk di hadapan sahabatnya itu mengerutkan dahi dengan wajah masam.

Andini terlihat mengatakan sesuatu ketika fokus Adrian kembali mengarah ke layar laptop yang masih terbuka, menyebabkan pria itu kembali mendongak untuk memperhatikan lawan bicaranya dengan dahi berkerut, tapi tak lama dari itu sebuah senyum tipis terbit dibibirnya dengan mata berbinar senang.

Ia selalu senang melihat ekspresi pria itu yang mudah berubah-ubah seiring dengan suasana hati juga perhatiannya yang sangat mudah dialihkan. Ia selalu suka espresi Adrian ketika mengerutkan dahi saat kebingungan, kemudian menekuk wajahnya ketika kesal, atau binar matanya yang menampakkan bola mata hitam jernih setiap kali merasa senang pada suatu hal.

Ia selalu menyukai segala sesuatu yang berhubungan dengan prianya, termasuk cara pria itu tersenyum yang terkadang membuat ia merasa menjadi wanita paling beruntung karena memilikinya.

Dan saat ini pria itu juga melakukan hal sama bersama orang lain, wanita yang bukan dirinya. Meski Andini adalah sahabatnya, tetap saja selalu ada nyeri di ulu hatinya melihat kedekatan mereka, apalagi masyarakat masih dengan anggapan bahwa keduanya memanglah pasangan.

Cemburu.

Mungkin kata itu yang lebih tepat untuk mendekripsikan perasaannya saat ini. Meski begitu jelas ia tidak punya keberanian untuk mengatakan secara langsung kepada Adrian karena gengsi jelas lebih banyak mendominasi perasaannya.

Terlebih lagi, ia tidak punya alasan yang jelas untuk perasaan konyolnya itu. Yah! konyol. Kadang ia ingin memaki diri sendiri karena harus memiliki perasaan seperti itu kepada Andini yang notabene­ adalah sahabtnya sendiri. Sungguh hal itu adalah sesuatu yang konyol menurutnya.

Namun, jika dipikir ulang, tidak ada yang salah dengan perasaannya. Wajar jika ia merasa cemburu, terlebih ketika mengingat tentang asumsi publik dan beberapa pemberitaan yang sempat terdengar megenai kedekatan keduanya. Wajar saja kalau ia merasa cemburu, bukan? Ia tetap seperti wanita biasa yang umumnya tidak akan terima jika orang yang disayangi harus digandengkan dengan orang lain yang nyatanya adalah sahabtnya sendiri.

Meski begitu, ia tetap tidak bisa egois dan meminta Andrian menjaga jarak. Ia yang harus mengalah dan menekan perasaan tak nyaman setiap kali melihat kebersamaan mereka yang terlampau dekat. Andini mengenal pria itu jauh sebelum ia mengenalnya, bahkan mungkin kedekatan mereka sudah terbentuk ketika ia masih terikat hubungan dengan seseorang di masa lalunya.

"Mbak Nay," Naya berjengit kaget ketika seseorang menepuk bahunya pelan. "maaf ngagetik, Mbak. Soalnya dipanggil dari tadi nggak nyahut." Rahma berucap dengan nada rendah dan kepala tertunduk takut.

Ia menghela napas pelan mengingat beberapa kali ia kerap membentak anak baru ini sehingga menyebabkan Rahma canggung atau mungkin takut terhadap dirinya. "Maaf kalau beberapa hari ini saya sering membentak kamu, kamu tidak perlu berekspresi seperti itu tiap berhadapan dengan saya."

Rahma hanya tersenyum tipis dan mengangguk paham. "Saya ngerti Mbak Naya pasti lagi banyak beban pikiran, saya hanya mau ngasih ini dari Bapak Adrian."

Meski masih tampak bingung ia menerima ponsel miliknya yang disodorkan oleh Rahma bertepatan ketika notifikasi pesan berbunyi.

Jangan sering ngelamun, aku nggak mau otak cantik kamu kosong tanpa memikirkan aku.

Naya segera menoleh dan mendapati pria itu juga sedang menatap ke arahnya dengan sebuah senyum manis yang tercetak sempurna. Pria itu membuat gerakan tangan dengan jari jempol dan telunjuk ditautkan membentuk emotikon love yang membuat pipinya memanas.

Ia segera membuang muka dan buru-buru ngacir ke ruang kerjanya melewati pintu samping tangga meninggalkan Rahma yang masih mematung di tempat. Ia bahkan masih menangkap kekehan pria itu sebelum berbalik yang menyebabkan Andini yang duduk di depannya menatap heran dengan alis bertaut.

Baru saja ia menutup pintu dan menyandarkan tubunya di balik pintu ketika notifikasi pesan masuk kembali terdengar, dan ketika ia membaca kalimat panjang di layar ponsel, pipinya kembali memanas dengan sebuah senyum yang kembali terbit di bibirnya.

Pria itu selalu mampu membuat ia tersipu dengan sebuah senyum yang terlalu sering lolos dari bibirnya. Ia tidak pernah tahu bahwa tersenyum bisa menjadi hal yang sangat mudah ia lakukan ketika berhubungan dengan pria itu.

Your smile is like a sun in the morning, giving me a peace to enjoy my day. I love you my future wife.


tbc...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 10, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

THE ONLY ONE (After All the Time)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang