#3

11 5 1
                                    

"Aku memilih Lena kak."

"HAHAHAHA Bagus! Bagus!" Suara tawa yang kencang terdengar dari berbagai arah taman itu, mendengar suara tawa itu, Meta melihat sekeliling untuk memastikan. Disana Meta melihat orang itu, tuan dari pemilik tempat ini, dia berjalan mendekat diikuti dengan pelayannya.

"Baiklah jika itu mau kau, bunuhlah Mirtha dengan tanganmu sendiri, HAHAHAHAHA." Matt mendekat dan memberikan sebilah pisau, pisau tajam yang terlihat silau ketika terkena sinar matahari.

Meta menarik nafas dalam-dalam, dia berjalan perlahan-perlahan mendekati Mirtha, dengan tubuh yang gemetar, dia sunggu tidak ingin melakukan ini namun bukankah 1 lebih baik daripada  tidak sama sekali?

Jika diberikan pilihan lain mungkin Meta akan menyetujuinnya, jika bisa dia ingin mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan kedua sahabatnya ini, karena dirinya lah ini semua terjadi, jika saja dulu Meta tidak penasaran dan ingin mengeksplorasi layaknya seorang petualang, ini takkan terjadi, mereka terjebak dipermainan konyol yang harus mengorbakan salah satu dari mereka.

Kini Meta sudah berada didepan Mirtha, pisau yang kini dipegangnya hanya butuh sedikit dorongan untuk terbalut dalam warna merah.

Meta menggelengkan kepalanya, "Tidak!! Aku tak bisa melakukan ini, aku tidak bisa." Suara tangis Meta mengeras, dia tidak bisa membendung ini, semua siksaan mental yang dia alami semuanya tumpah, dia menjauhakan pisau itu dari tubuh Mirtha.

Orang itu menyeringai, dia senang akan penderitaan Meta, namun dia akan membuat permainan ini menjadi lebih menyenangkan.

"Baikalah, kalau kau tidak bisa, kau bisa mengorbankan dirimu," ucapnya, tangis Meta mereda, dengan ragu dia bertanya, "Benarkah?"

"HAHAHA, Kau meragukan Tuan ini, Tuan Volde tidak akan pernah mengingkari janjinya, kau bisa percayai Tuan ini." Dengan cepat Meta mengangguk dengan keras, tangisannya kembali terdengar.

:::::::::::::

Rumah Sakit Bagankara

Terlihat seorang gadis dengan lemahnya terbaring disalah satu tempat tidur rumah sakit, dengan perlahan mata gadis itu terbuka.

Yang dilihat gadis itu untuk pertama adalah langit-langit yang berwarna putih, dia mengedipkam matanya beberapa kali untuk menyesuaikan matanya pada cahaya diruangan ini.

Dia tidak dapat berkata-kata mulutnya sangat kering, namun air mata tumpah dari mata gadis itu yang baru terbuka beberapa saat, ingin akan rasanya menangis sekeras-kerasnya, namun dia tidak bisa, tubuhnya terlalu lemah untuk itu.

"Astaga, apa yang terjadi dengamu? Kenapa menagis?" Seorang suster datang untuk mengecek keadaan gadis itu, dia memberikan bantuan kepada gadis itu untuk minum.

"Di - mana Meta?" Tanya gadis itu dengan suara seraknya, suster mengernyitkan dahinya, namun kembali tersenyum seperti biasa, " Ohh iya, seorang gadis yang membawamu dan temanmu kemari menitipkan ini, mungkin ini yang kamu cari." Suster itu memberikan sebuah amplop dan meninggalkan kamar itu.

Lena membaca surat itu, matanya kembali berlinang, dia tidak kuat membaca surat itu, pintu tiba-tibs terbuka, Lena melihat Mirtha yang datang dengan kursi roda, Mirtha mendekati Lena.
"Seharusnya saat itu, Meta membunuhku, ini semua tidak akan terjadi," ucapnya, Lena  menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak, kami kesana untuk menyelamatkanmu, karena kami kau terjebak disana."

Air mata mereka tumpah, mereka berpelukan dan menumpahkan segala keluh kesah yang mereka alami.

Kini mereka hidup dengan baik, namun sahabat yang telah lama tiada, selalu menjadi titik terlemah mereka. Entah mengapa sepertinyai seluruh orang yang mengetahui Meta, sekarang tidak ada yang ingat, melupakan Meta bersama kenangan yang indah dan buruk.

Pengorbanan Meta membuat 2 orang gadis tersebut mempunyai mimpi dan harapan baru, mereka tidak terperangkap dimasa lalu, namun mereka selalu mengingat kenangan masa lalu.

The End

BloodlyOrchid

The Promise That We KeepWhere stories live. Discover now