#2

14 6 2
                                    

Meta melihat kedepan, jalan yang tadi dia lihat gelap, kini sudah terlihat remang-remang, ada cahaya yang entah darimana asalnya.

Meta berjalan perlahan dia melihat sekelilingnya, tak ada yang bisa dia lihat, hanya ada 1 jalan yaitu kedepan, disisi kanan dan kirinya terdapat tembok yang ketinggiannya tidak bisa ia lihat, entah sudah berapa lama ia berjalan, Meta sudah tak ingat, yang bisa dia lihat hanya tembok-tembok pembatas .

Namun, ada satu hal yang berbeda, kini didepan Meta terdapat pintu, pintu berwarna abu-abu, dengan ragu Meta membuka pintu itu, isinya sama hanya tembok-tembok pembatas.

Yang berbeda adalah ditembok-tembok itu terdapatan gambar-gambar yang dibuat oleh anak kecil, ada juga tulisan-tulisan yang dibuat oleh anak kecil, Meta masih tak mengerti apa yang terjadi, ketika sebuah goresan menghentikan langkahnya.

Dia mengucek matanya, kenapa ini bisa disini? Meta melihat kembali sekelilingnya dia baru menyadari, coretan-coretan itu adalah apa yang dibuatnya dulu, sewaktu kecil.

Nia Hate You

Why!!!

I never do anything wrong

It's hurt

What is my fault?

Help me

I found you

Meta lupa, apa yang ia alami sampai ia menulis hal-hal itu, dia hanya ingat, dia pernah menulis kalimat-kalimat itu ditembok. Bahkan Lena tak tau tentang hal itu.

Cittttt

Suara pintu berdecil, membuat Meta melihat kearah pintu yang ia masuki tadi, sesuatu memasuki ruangan tempat ia berada, itu adalah kakanya.

"Kakak?" Ucap Meta, kakaknya Meta, Dee, menundukkan kepalanya, ketika dia melihat kedepan, nafas Meta tertahan, wajah Dee penuh dengan darah, terdapat luka menganga diwajahnya.

"Apa yang terjadi denganmu?" Ucap Meta dengan nada bergetar, Dee menyeringai kejam, "Kau bertanya, apa yang terjadi denganku, tidakkah kau ingat, apa yang kau lakuakan? Dengan mudahnya kau lupa, HAHAHAHA," suara tawa Dee bergema, Meta menatap Dee tidak percaya, "Tidak mungkin, itu tidak mungkin." Suara dan tubuh Meta bergetar, entah karena apa.

"Kejam sekali kau Nia, KEJAM!!" Teriak Dee sambil memperlihatkan sesuatu yang membuatnya menyeringai keji, "Kau lihat ini Nia, pisau ini jika ku goreskan diwajah cantikmu, wajahmu akan sama sepertiku, hancur, WAJAHMU AKAN HANCUR, AKAN LEBIH HANCUR MELIBIHI DIRIKU." Dee berlari kearah Meta, walau larinya itu terpincang-pincang, itu hal yang bagus untuk Meta, dia berlari dengan cepat tak memperdulikan gangguan yang ia hadapi saat berlari.

Didepan Meta terdapat sebuah pintu, pintu berwarna merah bata, tanpa ragu lagi Meta membuka pintu itu, dia masuk kedalamnya, suara gedoran pintu terdengar dari luar, Meta menahan pintu itu sekuat tenaga, namun aneh rasanya, seperti tidak ada ancaman diluar pintu merah bata itu, suara gedoran itu pun hilang.

Meta berusaha membuka pintu, namun yang didapatkan Meta adalah hasil yang sia-sia, Meta tidak bisa membuka pintu itu lagi, seperti Pintu itu terkunci.

Tak mempersalah kan hal itu, Meta melanjutkan langkahnya, dia melihat sekelilingnya, dia hanya melihat kegelapan, namun ia tetap memberanikan dirinya.

Dengan perlahan dia melangkahkan kakinya, kening Meta berkerut, dia melihat beberapa pintu yang muncul disaat bersamaan, pintu berwarna warni ada yang Abu-abu, kuning, dan hijau.

Meta membuka pintu berwarna abu-abu, lorong itu terlihat remang-remang, dia berjalan lurus, dihadapannya kini nampak seperti rumahnya dulu, semasa orangtuanya masih ada, Meta melihat dirinya disaat dia kecil, kenangan-kenangan yang ia alami, mulai dari dirinya yang bermain dengan orangtua dan sang kakak, Meta kecil terlihat sangat bahagia, kenangan itu berubah ketika orangtua Meta kecelakaan, dirinya depresi, sang kakak yang berusaha menenangkan dirinya setiap kali dia mengamuk, Meta mulai melukai sang kakak saat ia mengamuk, wajah Dee yang terluka dan penuh darah terbayang dipikiran Meta.

"Tidak!! Tidak!! Itu tidak terjadi, hah hah, tidak mungkin." Pikiran Meta berputar-putar, kenangan-kenangan itu berputar seperti kaset rusak dikepalanya, dia berusaha mencari jalan keluar dari tempat itu.

Pintu berwarna kuning berada dihadapan Meta, tanpa ragu dia membuka pintu itu. Lorong pintu itu gelap, Meta menenangkan dirinya terlebih dahulu, setelah tenang, Meta melangkahkan kakinya kedalam, terlihat sebuah taman yang indah, terdapat bunga mekar yang berwarna-warni.

Meta ingat tempat ini, tempat bertama ia bertemu dengan Mirtha dan Lena, tempat mereka sering bermain bersama dulu. Meta melihat mereka, namun dengan keadaan tubuh mereka yang terbaring dirumput taman.

Dengan perlahan Meta mendekati Lena dan Mirtha, namun ada hal yang  membuatnya menggelengkan kepala, dia melihat kakaknya berjalan mendekati mereka, langkah kaki Dee sampai terlebih dahulu didekat tubuh Mirtha dan Lena.

"Ka, jangan apa-apakan mereka, mereka tidak bersalah," Ucap Meta dengan nada bergetar melihat pisau yang dipegangi oleh Dee mendekati leher Mirtha, "Mereka tidak bersalah? Apa kau yakin Metaku tersayang." Pisau Dee menggores pipi Lena yang membuat Lena mengeluarkan darah.

"Hmm, kah pilih yang mana? Gadis yang selalu bersamamu sedari kecil, yang menyebabkanmu mengalami semua ini? Atau Gadis ini, yang kau tinggalkan ditempat gelap, teman masa kecilmu saat kecil?" Dee tersenyum keji, memainkan kedua pisau yang berada ditangannya.

"Jangan kak, lepaskan mereka, mereka tidak bersalah, ini semua salahku aku yang menyebabkan ini srmua terjadi, andai saja dulu aku tidak meninggalkan Mirtha, ini semua tidak aka  terjadi!!" Kata Meta dengan nada yang memelas, berharap dia dapat mengembalikan kakaknya yang dulu, yang selalu menyayanginya sedari kecil.

"Pilihlah, pilihlah salah satu diantara mereka, jika kau memilih maka kau dan teman kecilmu ini akan terbebas dari tempat ini." Seringai Dee semakin melebar, dengan bimabang Meta berpikir apa yang seharusnya dilakukannya pada saat ini.

Meta harus melakukan ini, walau harus mengorbankan seseorang bukankah satu lebih baik daripada tidak sama sekali?

"Aku memilih Lena kak."

To be continue...

BloodlyOrchid

The Promise That We KeepWhere stories live. Discover now