40 Days After, morning time;

937 93 5
                                    

[Katelyn Millia]

Seminggu sebelumnya, aku menerima e-mail yang memintaku untuk datang ke tempat ini, sebuah restoran Turki yang dari spanduknya jelas masih seumur jagung. Seperti yang dapat kautebak, restoran itu memiliki bernuansa Timur Tengah yang kental. Cat cokelat muda seperti warna gurun pasir, lampu-lampu berbentuk gelas terbalik yang bergantung di kanopinya serta lantai yang terbuat dari batu. Sekalipun tidak terlalu luas, posisi perabotan serta perpaduan warnanya akan membuat pengunjung merasa nyaman.

 Sekalipun tidak terlalu luas, posisi perabotan serta perpaduan warnanya akan membuat pengunjung merasa nyaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jumlah pengunjung dapat dihitung jari waktu itu, sehingga aku dapat bebas memilih tempat duduk. Aku mengambil posisi di bagian tengah restoran, pada sebuah sofa berlengan berwarna merah bata. Pola geometri di permukaannya terlihat rumit dan juga klasik khas dongeng 1001 malam, menyebabkan aku berpikir bahwa ada kekuatan magis di sana.

Daftar menu merupakan hardcover yang sengaja diletakkan berdiri di tengah meja. Tak ada satu pun jenis makanan yang familiar untukku, sehingga butuh waktu lama bagiku untuk membaca satu halaman. Bahkan, sampai seorang pelayan datang menghampiri, aku masih berkutat dengan benda itu.

"Apakah saya bisa mengambil pesanan Anda?" Pria itu membuka buku kecil yang ia bawa.

"Ah." Aku cepat-cepat menelisir tulisan dan foto di buku menu.  Sayangnya, aku sama sekali tak tahu apa yang harus aku pesan.

Mungkin karena dia menyadari kebingunganku, jadi pria itu berkata, "Saya menyarankan menu andalan restoran ini, köfte."

"Baiklah. Itu saja." Aku mengangkat kepala. Pria itu sedang menulis. Rautnya fokus. Tapi karena wajah itu terlihat familiar, aku mengerutkan kening.

"Bagaimana dengan mi--"

"Joseph?"

Mata pria itu membulat, lalu tersenyum ramah tanpa menatapku langsung.

***

Aku cukup senang sewaktu mengetahui kalau aku tidak salah orang, sehingga aku tak perlu menahan malu karena asal bicara.

Setelah menyelesaikan makanku, Joseph datang menghampiri untuk duduk di hadapanku. Penampilannya yang berubah 180 derajat membuatku hampir pangling. Dulu wajahnya mulus tanpa keriput atau janggut tipis di bawah dagunya. Badannya juga berisi penuh otot, tak kurus seperti sekarang. Joseph yang kukenal punya garis muka yang kuat dan tegas, bukan lembut seperti kucing yang memerlukan kasih sayang. Satu-satunya yang tak berubah adalah mata abu-abunya yang khas.

Terakhir kali aku melihat Joseph adalah sewaktu pengadilan sepuluh tahun lalu. Kasus itu melibatkan kelompok muslim yang mengajarkan paham Islam pada Joseph. Keputusan hakim menyatakan kalau mereka tidak bersalah. Padahal, pengacara yang disewa oleh Tuan Carpenter menjabarkan banyak bukti kuat kalau kegiatan kelompok itu berhubungan dengan terorisme dan mereka mencoba merekrut orang-orang baru di kota. Aku tak pernah melihat lagi Joseph sejak itu. Keberadaannya di Maine pun kuketahui dari Richard setelah kakakku dirujuk ke rumah sakit jiwa akibat menderita depresi. Pernyataan Joseph di hari natal ternyata menyebabkan Cecile menderita PTSD.

100 Days EvidenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang