01. He's Devil

Mulai dari awal
                                    

Aku tetap tersenyum manis, walau hatiku benar-benar dongkol luar biasa. “Nggak, Pak.”

“Terus kenapa diam saja? Saya suruh kamu gantung jas saya!” serunya songong. Aku berdeham pelan, kemudian mendekat ke arah Dewa untuk mengambil jas pria itu sebelum akhirnya kugantung.

Boleh nggak, sih, Dewa juga gue gantung?!

Bukannya aku mengeluh hanya karena disuruh menggantung jas, tapi masalahnya jarak gantungan baju dan tempat Dewa duduk hanya berjarak satu langkah. Kentara sekali jika pria itu memang sengaja mengerjaiku.

Sial, sepertinya ekspetasiku soal Dewa tadi pagi terlalu tinggi. Jared Leto my ass! Biar kata Dewa lebih ganteng dari Jared Leto, tapi kalau sifatnya amit-amit, ya, bikin kesel juga!

Aku kembali menghadap Dewa setelah menggantung jas pria itu. “Oh ya, Pak, meja kerja saya ada tepat di depan ruangan, Bapak. Kalo butuh bantuan, Bapak bisa hubungi saya lewat telepon. Silahkan langsung pencet nomor satu di telepon,” jelasku yang langsung diangguki mengerti oleh Dewa.


“Baik, kalo begitu saya izin undur diri dulu.” Setelah mengatakan itu aku pun segera berjalan ke arah pintu. Baru saja aku memegang handle pintu, tiba-tiba Dewa menginterupsiku. “Pitaloka!”


Aku mengembuskan napas kasar, lalu terpaksa kembali berbalik ke arah pria itu. “Iya, Pak? Ada yang bisa saya bantu lagi?” tanyaku dengan senyuman yang masih setia bertengger di bibirku.

Dewa mendengus tak suka. “Memangnya saya keliatan tua sampai kamu panggil saya ‘Pak’? Panggil saya ‘Mas’!” perintahnya yang sontak membuatku melotot tidak percaya.

Dasar bocah tengik! Umur gue tiga tahun lebih tua dari lo kampret! Gimana bisa gue panggil lo ’Mas’? Are you fucking kidding me?


Aku tersenyum paksa. “Baik, Mas,” ujarku setuju. Walau sebenarnya aku ingin sekali melempar stilleto-ku ke kepala bos baruku itu.

Dewa mengangguk puas. “Saya mau kopi!”


Aku mengangguk mengerti. “Baik, nanti saja suruh OB nganter ke sini.”

“Kamu aja yang bikinin,” ujar Dewa datar.

Aku mengangguk siap “Baik, Pa—“ Aku berdeham—menyadari kesalahanku. “Baik, Mas, kalo begitu saya izin ke pantry dulu,” koreksiku yang langsung direspons anggukan mengiakan oleh Dewa. “Oh, ya, Pitaloka, gulanya dua sendok saja.”

“Baik, Mas,” ujarku sebelum berlalu.

***


“Pagi, Mbak Pita!” sapa beberapa orang yang ada di pantry. Terlihat mereka tengah sibuk dengan sarapannya masing-masing atau pun sibuk membuat kopi.

“Pagi semua!” Aku menyapa balik. Kami semua pun saling melempar senyum sebelum kembali ke aktivitas masing-masing.

Morning guys!” sapa Ayu riang. “Woah, tumben amat Pitaloka pagi-pagi udah ke pantry dan sejak kapan lo jadi suka kopi?” tanyanya seraya mengerutkan glabela¹.

Aku tersenyum kecut. “Ho-oh,” jawabku malas. Karena jujur saja aku masih kesal dengan sikap semena-mena Dewa. Aku tahu dia bosnya, tapi sikap sopan santun bukannya tidak peduli jabatan? Bagaimana pun aku tetap lebih tua dari Dewa. Bisa-bisanya bocah tengik itu nyuruh gue manggil dia 'Mas'!

Walau Dewa anak ibu Mala Saraswati, sikap keduanya benar-benar seperti bumi dan langit. Menyebalkan!

“Disuruh bos baru lo, ya? Kata anak-anak ganteng banget, ya, si Dewangga? Sial! Gue kesiangan jadi mepet nyampe kantornya,” oceh sahabatku itu.

Ayu adalah sahabatku sejak kecil dan sampai sekarang kebiasaan nyerocosnya tidak pernah hilang. Namun, walau cerewet begitu Ayu tetaplah sahabat kesayanganku.

“Iya, ganteng banget, Mbak!” timpal Jeje—junior Ayu di tim marketing dengan mata berbinar.

“Rajin ngantor, deh, saya kalo bosnya ganteng begitu.” Kali ini Indah yang bicara.

“Norak, ah, kalian!” ejek Satya.

Jeje mencibir. “Gitu, tuh, kalo kalah ganteng. Suka ngiri!”

“Jadi beneran ganteng kaya Jared Leto sesuai ekspetasi lo, Pit?” tanya Ayu menggoda.

“Jared Leto your head!” makiku sebelum meninggalkan pantry dengan perasaan dongkol.

Jujur, kupingku terasa panas saat anak-anak memuji kesempurnaan fisik Dewa. Belum tahu saja mereka kalau Dewa itu jelmaan setan yang tidak tahu sopan santun!

Aku menghela napas panjang untuk menenangkan gejolak di hatiku, kemudian aku membuka pintu dan menaruh kopi buatanku di atas meja Dewa.

Dewa yang tadinya tengah membolak-balikan dokumen sontak menghentikan kegiatannya. "Thanks!" serunya sebelum ia menyesap kopi buatanku.

Dewa mengerutkan kening. “Kamu masukin gula berapa sendok, Pitaloka?”

“Dua, Mas.”

“Sendok teh apa sendok makan?”


“Dua sendok makan, Mas,” jawabku jujur.

“Oh, pantesan. Harusnya dua sendok teh. Kalo dua sendok makan kemanisan, Pitaloka,” protes Dewa.

“Tapi tadi Mas Dewa cuma bilang dua sendok. Nggak ada keterangan jenis sendoknya apa,” ujarku membela diri.

“Terus kenapa kamu nggak tanya?”

Ngomong sama tembok aja bos!

Aku menghela napas kasar. “Yaudah, saya bikinin lagi, ya, Mas.”

Dewa mengangguk setuju. Aku pun segera bergegas untuk kembali ke pantry.

Sabar Pitaloka sabar! Orang sabar jodohnya ganteng!

“Pitaloka!”

Apa lagi, sih, kampret!

“Ya, Mas?”

Dewa menunjuk cangkir yang berisi kopi dengan Dagunya. “Kopinya nggak dibawa sekalian?”

Aku menghela napas pelan, lalu kembali mendekat ke meja Dewa untuk mengambil kopi yang tadi aku buat. Boleh nggak, sih, kopi ini gue siramin ke muka Dewa aja!

***


Noted :

1. Glabela adalah dahi di antara alis mata kiri dan alis mata kanan --> sinonim dahi. (Kata ganti untuk dahi, kening, jidat.)

Trapped  (Terbit) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang