Dan sekarang ketika pandangan itu ditujukan padanya. Ia tidak tahu harus berbuat apa.

Senyumnya selembut bunga kapas yang sering ia temukan di belakang rumah neneknya di Jilin. Seringan bulu yang sering ia jadikan pembatas buku dulu saat dia berada di sekolah dasar.

Matanya yang biasa sekeras dan sedingin es itu mencair. Membeberkan kehangatan dan kenyamanan yang entah mengapa terasa sendu. Ia seperti sedang—sedang memohon pada Renjun. Meminta pengertiannya.

Meminta sedikit afeksi.

Hal yang hampir tidak pernah Mark Lee lakukan. Tabu.

"Can you love me not? Atau hatimu msih dimiliki satu orang itu?"

"Mark hyung..."

Nama itu bagai mantra yang selama beberapa menit terakhir ini bergaung di alam bawah sadar Renjun. Entah mengapa hatinya terasa teriris. Dadanya sesak ingin ia bebaskan keluar.

"Hyung..."

Renjun seperti kaset rusak. Yang hanya bisa mengulang nama lelaki yang kini sepenuhnya merebahkan tubuh di atasnya.

"Mark hyung." dorongan kuat untuk melarikan jemarinya menyusuri rahang itu tidak tergoyahkan bahkan oleh akal rasional Renjun. Pengendalian dirinya berada di awang-awang, tidak tergapai oleh akal sehatnya.

Beberapa adegan berputar cepat di kepalanya membentuk pusaran badai. Berkecamuk tiada henti. Tapi yang tidak sering Renjun lakukan, adalah menembus tornado tersebut. Melayang-layang di tengah mata badai yang tenang. Menampilkan langit biru terang dengan beberapa arakan awan. Mungkin itulah yang saat ini sedang ia coba lakukan. "Hyung. Kiss me."

  π  

Menjadi orang kesayangan Lee Jeno terasa seperti mimpi bagi Renjun. Seperti ia sedang hidup di dunia alternatif bertema fiksi—atau fantasi.

Well, secara teknis, menjadi kekasih Lee Jeno memang fantasi kebanyakan banyak orang. Setidaknya di Kyunghee High School. Wajah rupawan, otak yang cerdas, dan perangai seorang bangsawan berkelas cukup untuk menghadirkan Lee Jeno lautan penggemar dari berbagai kalangan.

Jeno seperti representasi pangeran di dunia modern. Perwujudan tokoh utama laki-laki protagonis di film-film roman atau seri Disney. Protagonis sempurna yang mampu menghanyutkan hati setiap orang.

Karena itu sulit dipercaya ketika sosok sempurna serupa Lee Jeno menjadikan Renjun sebagai tambatan hatinya. Jangankan orang lain—Renjun sendiri butuh setidaknya dua minggu untuk meyakinkan diri sendiri ini bukan sekedar mimpi atau permainan pemuda berdarah Lee tersebut.

'Tolong pukul aku, Jaem.' dia menyesal mengatakannya tempo hari. Memang ia tidak mendapat bogem. Tapi jitakan kamus di kepalanya cukup menyadarkan Renjun.

Tapi tetap saja terasa seperti mimpi.

Diantar jemput setiap hari dengan limusin hitam yang mengkilap tidak berada dalam bucket list milik Renjun. Ia bahkan perlu menampar berkali-kali pipinya—sekedar memastikan figur seseorang yang bersandar di tembok di luar ruang seni memang Lee Jeno.

"Jeno?"

Laki-laki bermata sipit itu lagi-lagi hanya akan tertawa. Pertanyaan reguler yang selalu Renjun lontarkan saat mendapati dirinya menunggu Renjun menyelesaikan kegiatan ekstrakulikuler seni.

"Memang siapa lagi?"

Ia tersenyum. Cahaya senja oranye yang menyentuh wajahnya membuat senyum itu beribu-ribu leih menawan. Pantas saja penggemarnya banyak.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now