"Hmm?"

Renjun memberanikan diri memutar badannya yang tampak kurus dibanding dengan Mark. Kepalanya ia dongakkan ke atas, tidak memberi jarak seberapa bagi keduanya hingga jika Mark memajukan kepalanya sedikit saja ia sudah bisa mencium kening Renjun.

Yang mana tidak ia lakukan. Mungkin lain waktu.

"Aku jadi bertanya-tanya."

Mungkin karena suasana yang tenang dan pencahyaan yang temaram karena mereka tidak menyalakan lampu ruang tengah. Atau mungkin karena kini Renjun sedang menatapnya tanpa pertahanan, menunjukan sisi rapuhnya. Yang manapun, Mark menemukan satu tangannya menyisir halus surai Renjun.

"Apa yang ada di kepala cantikmu, huh?"

"Itu membuatku bertanya-tanya, kalau sikapmu saja begini padaku. Bagaimana kau memperlakukan kekasihmu?" tutur Renjun lirih. Bagaimana kau memperlakukan Haechan?

Mark seperti menangkap kalimat yang hanya ducapkan Renjun dalam hati. Pergerakan tangannya berhenti di sela-sela rambut Renjun. Rasa tidak senang perlahan menguar di hatinya yang lambat laun seperti dibubuhi racun.

Matanya menggelap. Pupilnya yang hitam bak palung tak berujung yang menyeret Renjun jauh ke dalam. Dan jari-jari pucatnya saat ini kembali bergerak menggores permukaan kulit kepala Renjun. Pelan, seperti menarik sesuatu yang berat. Dan menyiksa.

Sudah terlambat untuk mundur. Pikir Renjun saat tubuhnya ditekan merapat oleh lengan yang masih mengitari perutnya. Tekanan tajam dari buku jari bisa ia rasakan di pinggulnya yang mulai terasa nyeri.

"Are you doubting my feelings for you?" bisiknya terpecah samar di udara. Seperti pasir yang disebar di lantai dan Renjun kesulitan mengumpulkan seluruh butirnya.

"Did I show you not enough of my sentiment for you? Isn't it crystal clear?"

Ekspresi terluka dan putus asa menyambangi mata yang lebih tua. Mengingatkan kembali Renjun akan Mark yang bercerita padanya tadi malam.

"Mark—Mark hyung," ujarnya parau saat mengcapkan nama pria itu berulang.

"Aku tahu apa yang menghantui pikiranmu dan berani bertaruh, asumsimu salah besar Renjun. Sekarang kutanya kau—"

Dalam gerakan singkat Mar mengubah posisinya yang membuat Renjun dilanda deja vu. Seperti saat pagi ini sebelum Kun muncul di ambang pintu kamarnya dan menyaksikan pemandangan tidak elit.

"—kenapa kau tidak belajar mencintaiku, darling? Atau perasaanku memang bertepuk sebelah tangan? Hmm?"

Yang menakuti Renjun dan membuat tubuhnya panas dingin selama ini bukan karena kekuasaan seperti apa yang dimiliki seorang Mark saat menginginkan sesuatu. Atau bagaimana pria itu bisa menjadi sangat dingin dan mengintimidasi di waktu yang tidak terduga.

Determinasi. Ambisi. Adalah dua hal paling mematikan yang dimiliki anak sulung keluarga Lee tersebut.

Dulu sekali ia melihat determinasi yang begitu kuat saat laki-laki yang lebih tua itu mati-matian menentang ayah dan kakeknya. Kata demi kata dikeluarkan seperti tembakan peluru dengan mata yang tidak gentar sama sekali.

Kilat yang sama juga ia temukan. Renjun kecil yang diam-diam senang mengamati sosok lelaki yang selalu duduk diam di pojokan. Di bawah bayang-bayang pohon ceri. Dengan mata yang memandang jauh mengikuti pergerakan bocah bertubuh gempal dan bermata almond yang memiliki senyum secerah matahari. Dia melihat determinasi dan ambisi.

Mark mungkin memasang perisai dan tembok baja yang kokoh di sekelilingnya. Tapi kala itu tidak untuk seseorang yang dijuluki sunflower. Renjun melihat jelas kelembutan yang ada pada matanya namun penuh determinasi. Keteguhan yang berbeda jenis dibanding pembangkangannya terhadap Kakek Lee.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now