01. He

840 110 5
                                    

Yuki berjalan cepat melewati lorong kecil tempat biasa ia berjalan pulang -sebuah jalan pintas menuju ke apartemennya yang berada di pinggiran kota Den Haag. Tak banyak yang tahu mengenai lorong itu. Mungkin hanya ia dan Jullian -sang penemu jalan- yang mengetahuinya.

Gadis itu terus berjalan tanpa memperhatikan sekelilignya hingga langkahnya terhenti karena merasa aneh dengan pijakannya. Empuk tapi tak seperti tanah basah.

Perlahan tapi pasti ia menundukan kepalanya.  Yuki yakin, matanya tidak pernah melebar selebar sekarang. Membulat dengan pancaran ketakutan. Rasa ngeri segera merayapi setiap sel di tubuh Yuki, memenjarkan potongan-potongan nyali yang tersisa dalam diri gadis itu.

Yuki terkesiap, gadis itu gemetar ketakutan melihat sesuatu -tidak- seorang pemuda dibawah onggokan daun dengan kondisi mengenaskan. "M-manusia?" Ucapnya terbata sembari berlari menjauhkan tubuhnya beberapa meter.

Masih bernyawakah? Atau..
Tidak-tidak. Ia harus positif thinking. Mungkin saja seseorang dibawah sana masih bernyawa -walau ia sendiri tak yakin berapa presentase pemuda itu bertahan hidup di cuaca sedingin ini.

"A-apa yang harus ku lakukan?" Gumamnya bingung. Tanpa berpikir lebih lama lagi, gadis itu berlari mencari pertolongan walau hasilnya; nihil. Gadis itu tak mendapatkan seorangpun untuk dimintai pertolongan.

"Jullian, aku akan menelfonnya." Buru-buru Yuki merogoh saku coat-nya berharap menemukan benda pipih yang ia cari. "Astaga!" Pekiknya. "Aku melupakan ponsel ku."

Ini buruk. Yuki benar-benar seperti orang linglung sekarang. Tidak membawa ponsel dan tidak menemukan seorang pun di sana -hanya ia dan si pemuda. Berulang kali gadis itu mondar-mandir tanpa menyadari si pemuda telah membuka matanya.

"T-tolong, aku..."

Yuki berjengit kecil ketika suara si pemuda terdengar lirih, memecah kesunyian malam. "K-kau masih hidup?"

"Ya." Jawab si pemuda dengan suara lemah.

Yuki merosotkan tubuhnya kebawah -tanpa mempedulikan roknya yang basah terkena aliran air hujan- merasa sedikit lega. Dia masih hidup, syukurlah.

.
.
.

Yuki menatap pemuda di hadapannya selepas ia membersihkan tubuh dan luka-luka pemuda itu. Baju tidur putih kebesaran miliknya telah ia kenakan pada tubuh si pemuda.

Bersyukur, beberapa jam yang lalu ia bisa memapah pemuda itu hingga sampai ke apartemennya -tentunya dengan bantuan si pemuda yang masih bisa berjalan dengan menyeret salah satu kakinya.

"Kau siapa?" Tanya Yuki berusaha menahan nafas, mengatur nada suaranya yang terdengar bergetar. Gadis itu kembali ketakutan.

Tidak mungkin orang biasa memakai rompi anti peluru. Terlebih luka di tubuhnya sangat aneh, luka tembakan dan sayatan.

Penjahatkah?
Mafia?
Atau teroris?

Pemuda itu menatap Yuki dengan tatapan nanar. Sama halnya dengan Yuki, dalam hati ia juga bertanya-tanya; siapa dirinya? Mengapa ia bisa terluka separah ini?

"Aku tidak tahu." Gumam si pemuda pelan nyaris seperti berbisik. Pemuda itu menatap seluruh tubuhnya tanpa mempedulikan ekspresi terkejut Yuki -entah untuk ke berapa kalinya dalam waktu beberapa jam ini.

"Mengapa aku masih bisa hidup dengan luka separah ini?"

Harusnya aku yang bertanya! Pekik Yuki dalam hati. "Aku juga tidak tahu. Saat menemukan mu tadi, aku berpikir kau sudah tak bernyawa." Jawabnya jujur. Gadis itu menghela nafasnya cukup panjang sebelum akhirnya menyimpulkan; pemuda ini lupa ingatan. "Ngomong-ngomong, kaki dan lengan mu tertembak dan aku hanya membersihkannya. Sebaiknya kita ke dokter agar dokter bisa mengeluarkan peluru dari tubuh mu."

Pemuda itu kembali menatap Yuki lalu dengan insting yang ia miliki, pemuda itu menolak. "Tidak perlu, apa kau punya kasa, alkohol, dan gunting?"

Lagi-lagi Yuki melebarkan matanya. Jangan bilang.. "Kau ingin mengeluarkannya sendiri?"

"Iya."

STEFAN & YUKITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang