Part 10. Pekerjaan baru

99 17 30
                                    

Sejak insiden pencuri ransel dan raja iblis. Tak ada lagi kejadian yang membuatku menjadi pusat perhatian. Dua minggu sudah aku bekerja sebagai jurnalis di kantor majalah milik Purnama.

Sebenarnya Purnama hanya ahli waris dari Perusahaan Ansuangkila Magazine yang dirintis oleh Almarhum ayahnya. Perusahaan ini bergerak di bidang media massa. Menurut katalog kantor yang aku baca. Majalah pertama mereka memuat tentang Sejarah Pulau Sangihe. Dari foto-foto yang ada di majalah, pulau itu kecil ada di bagian paling utara Sulawesi dan sangat dekat dengan negara Filipina.

Rasanya aku ingin berkunjung ke Pulau Sangihe. Penasaran dengan tempat wisata dan kultur budaya di sana.

"Hei, siang-siang kok melamun." Aku dikagetkan oleh suara bass milik Bapak General Manager.

"Apan sih, ngagetin aja."

"Ibu Senja, bisakah anda hormat sedikit pada atasan anda?"

"Iya-iya maaf Pak, aku lagi baca katalog tentang sejarah berdirinya perusahaan ini."

"Baca katalog, emang pekerjaanmu sudah beres?"

"Sudah Pak."

"Yakin?"

"Yakin, Pak!"

"Ok, kalau gitu, sekarang kamu cek lagi hasil wawancara dengan petani bunga di Tomohon. Buatkan artikelnya dan jangan lupa sumbernya harus jelas."

"Pak, itukan tugas Jurnalis yang bersangkutan. Aku merasa tak pernah mewawancarai petani bunga."

"Di sini siapa yang pegawai siapa yang pimpinan?"

"Aku pegawai dan Bapak pimpinan, tapi ...." Belum selesai aku protes tentang pekerjaan yang tak seharusnya aku kerjakan datanglah penyelamat bumi, eh maksudku Pak Purnama.

"Ada apa nih, ribut-ribut?"

"Biasa, Bro. Pegawai baru suka membantah."

Purnama hanya melirik sekilas ke arahku, "Senja ke ruang aku sekarang," ucapnya.

Syukurlah, lebih baik aku membereskan tumpukan map di ruang Purnama daripada harus menghadapai Surya dengan segala perintah anehnya.

Ruangan Purnama jauh lebih luas dari ruangan Surya. Berada di lantai tiga. Pemandangan dari ruangan ini cukup keren. Ketika tirai jendela dibuka, lautan Manado terlihat seakan sangat dekat.

"Pak, pulau di sana itu, pulau apa ya? Ada penghuninya, gak?

Sekilas Purnama berbalik melihat pulau besar yang aku maksud.

"Itu pulau Manado tua, warga yang tinggal di sana juga cukup banyak. Nelayan merupakan pekerjaan dominan di sana. Hasil tangkapan ikan, mereka jual di pasar Bersehati Manado," jelas Pak Pur, sambil membereskan sisa-sisa gorengan di mejanya.

"Manado tua, jadi daerah yang kita tempati ini Manado muda?" tanyaku masih penasaran.

"Iya, menurut sejarah orang-orang pertama yang awalnya tinggal di sana."

"Hmmm, ceritain dikit dong tentang Manado tua, jadi penasaran."

Setelah mejanya bersih dan semua sisa gorengan masuk ke tempat sampah, Pak bos duduk dan mulai bersejarah. "Menurut sejarah yang aku tahu. Penduduk pertama yang tinggal di Manado tua adalah satu keluarga yang berasal dari Pulau Mindanao yang sekarang lebih dikenal dengan nama Negara Filipina. Perahu mereka terdampar karena badai. Ceritanya mereka lari dari Mindanao karena perang yang terjadi di sana. Setelah mereka tinggal di pulau tak berpenghuni itu. Selang beberapa waktu, datang juga satu keluarga dari Mongondow. Dua keluarga beda suku tinggal berdampingan dan hidup rukun. Nama Manado berasal dari kata Man narou jika digabung, menjadi Manarou yang berarti jauh di sana. Ketika orang Eropa datang, mereka mengucapkan manarou menjadi Manadu. kata tua ditambahkan saat sebagian penduduk dari Manandu pindah ke daerah yang kita tempati sekarang. Dan orang di sini yang menganti nama Manandu menjadi Manado, sehingga nama pulau itu di tambahkan kata tua menjadi Manado Tua. Paham? Jika belum paham, coba cari majalah kita yang edisi Selayang pandang Manado Tua, ada di sana sejarah lengkapnya."

"Paham, Pak."

"Ya sudah, sekarang silakan duduk," ucapnya lagi.

"Iya-iya Pak."

"Gak usah Pak, kalau hanya kita Purnama aja.

"Eh iya, Pur."

"Kamu udah siapkan, sebulan di Bunaken?"

Aku diam, aku bingung mau jawab apa.

"Senja, gimana?"

"Hmmmm, sebenarnya aku ragu, pergi atau enggak."

"Tentang Surya?"

"Iya, sepertinya kami tak bisa bekerja sama, setiap ketemu selalu berdebat."

"Surya itu sebenarnya baik, hanya saja dia masih shock dengan kematian ibunya yang gantung diri."

"Sejak kematian ibunya, dia menganggap semua perempuan lemah dan menyebalkan."

Mendengar penjelasan Purnama, ada rasa kasihan juga pada raja iblis itu.

"Kalau kamu ingin baik-baik aja dengan dia, coba kamu memilih diam di saat dia mulai mencari masalah." Purnama memberi saran. Dan sepertinya saran dari dia ada benarnya juga.

"Akan aku coba," sahutku tersenyum lega

"Ok, kalau gitu minggu depan kalian berangkat. Untuk penginapan dan lain-lain di sana sudah ada yang ngatur."

Tok ... tok ... tok ...

"Pur, sepertinya ada tamu," ucapku melihat ke pintu.

"Masuk!"

"Hei Bro ...." Cowok mesum dengan rambut gondrongnya yang dikuncir seperti ekor kuda masuk.

"Bro, bagemana kabar? Lama nda dapa lia."

"Bae Bro, cuma di rumah jow, masih malas mo bajalang."

"Ho, tumben nda nae gunung ulang."

"Istirahat dulu, Bro. Masih kurang sehat leh koa."

"Coba ngana so kerja deng kita di sini. Kong dari itu cari maitua, biar ada yang jaga urus di rumah."

"Hahahahahaha ...."

Kembali aku hanya jadi penonton, saat dua bro yang berbeda penampilan ini bertemu.

AsmaralokaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang