Pemeran Utama

387 39 7
                                    

Kuangsurkan selembar kertas tebal bernuansa gold dengan tulisan indah itu kepada dua orang yang sedang menatapku dengan senyum mengembang di seberang meja sana.

Wanita dengan rambut sebahu itu memekik kegirangan begitu mengetahui kalau kertas yang ia pegang adalah sebuah undangan pernikahan.

"Astaga. Astaga. Astaga. Nanda? Akhirnya, beb. Akhirnya si Davin ngajakin nikah juga. Selamaaat.." Dia bersorak penuh semangat sambil berdiri dari kursinya.

Dengan perut yang membuncit, dia memelukku erat. Menggoyangkan tubuhku ke kanan dan ke kiri dengan rasa bahagia yang begitu membuncah.

Aku tahu, semua kebahagiaan yang dia rasakan tulus. Tapi aku masih juga tidak tergerak untuk membalas pelukan antusias yang ia berikan.

"Ge.." Si suami memanggil dengan nada memperingatkan. Mungkin khawatir bahwa Gea bergerak berlebihan dan tidak hati-hati, mengingat kondisinya yang sekarang berbadan dua.

Tapi Gea, sahabatku sejak kami belum mengenal pembalut ini mengabaikannya. Perhatiannya masih tercurah padaku seutuhnya.

"Kok nggak happy gitu sih? Kenapa?" Tanyanya begitu pelukan kami terlepas. "Stress menjelang pernikahan ya? Biasanya emang gitu sih, Nan. Sering berantem, tiba-tiba ngerasa nggak yakin, pokoknya ada aja yang bikin sebel. Aku juga gitu kok dulu."

Aku masih diam.

Rasanya lebih mudah membiarkan Gea terus bicara daripada harus menjelaskan apa yang kurasakan sekarang.

"Untungnya kamu sama Davin udah pacaran lama, Nan. Berapa tahun sih? Sebelas? Dua belas?"

Tepatnya adalah dua belas tahun delapan bulan. Aku tidak menghitung kelebihan harinya, tapi aku tidak mungkin melupakan sekian banyak waktu yang sudah kami lewati sejak awal masa SMA itu. Tapi sekali lagi, aku tidak menjawab pertanyaan Gea dan tetap membiarkannya berkata-kata sendiri.

"Kalian udah saling tahu borok masing-masing. Keluarga, temen-temen, semua juga udah pada tahu hubungan kalian kan? Masalah kalian tuh lebih sedikit daripada kami-kami yang baru pacaran sebentar gini."

Untuk yang satu ini, kurasa Gea benar.

Selama hampir tiga belas tahun berhubungan, Davin adalah laki-laki yang tidak sulit kupahami. Dia pekerja keras. Dia mudah bergaul dan cepat diterima dilingkungan manapun.

"Ge.." Lagi, sang suami mencoba menyela Gea.

Tapi aku sudah mengenal Gea lebih dari setengah umurku. Aku tahu dia tidak akan diam kalau bukan karena keinginannya sendiri. Jadi, sekali lagi, aku membiarkannya terus bicara tanpa berniat menyela.

"Astaga. Aku seneng banget, Nanda. Inget nggak sih, beberapa bulan lalu dia kaya yang belum siap nikah gitu kan, ya? Tapi lihat sekarang dong. Undangan udah ditangan. Selamat beb."

Kupikir juga begitu.

Kupikir waktu itu dia memang tidak siap menikah. Katanya, dia masih punya banyak target yang ingin dia penuhi sebelum menikah. Dia ingin benar-benar mapan sebelum menikah. Menyiapkan rumah. Tabungan untuk orangtuanya, pendidikan anak-anaknya kelak, dan banyak hal lain yang saat itu kusebut 'kelewatan'.

Aku ingat pertengkaran terakhir kami waktu itu.

Ku katakan padanya, alasannya menunda menikah tidak masuk akal. Tabungan kami sudah cukup untuk memenuhi hal-hal pokok itu. Kukatakan padanya juga, bahwa semua hal lain yang dia sebutkan bisa kami raih bersama-sama. Pelan-pelan. Satu-satu.

Tapi waktu itu, Davin masih juga bergeming.

"Kapan sih acaranya, beb?" Gea beringsut. Mendekati suaminya dan menarik selembar kertas undangan yang hanya dia lihat sepintas tadi.

"Eh, baru sadar. Warnanya item sama gold. Konsep impian kamu banget nggak sih?"

Gea tertawa. Mungkin ingatannya mengulas sekelebat kenangan tentang kami saat masih menjadi dua remaja yang suka berhayal tentang banyak hal, termasuk pernikahan impian kami.

Tentang ruangan terbuka dengan dekorasi indahnya dan bagaimana aku ingin menjadi pemeran utama dalam pesta pernikahanku.

Seharusnya aku meniru Gea dan ikut tertawa sepertinya. Aku ingin sekali melakukannya. Menertawakan kekonyolan kami dulu atau apapun juga. Tapi tidak ada satupun hal lucu yang bisa ku tertawakan sekarang, sekuat apapun aku menginginkannya.

Lalu kulihat, tangan Gea dengan cekatan membuka sampul undangan yang kuberikan. Matanya menelusuri apa yang ditulis disana, mungkin sedang mencari tanggal dan tempat dilaksanakannya pernikahan itu.

Tapi senyumnya mendadak hilang. Dia menatapku bingung.

"Ini salah cetak?"

Gea bolak-balik menatapku dan undangan di tangannya berkali-kali. Ekspresinya bingung dan tidak mengerti. Mungkin akhirnya Gea menyadari bahwa tidak ada namaku disana.

"Kok jadi Davin dan Rania?" Tanyanya bingung.

Mendadak, aku ingin sekali menertawakan Gea. Dia kelihatan seperti orang bodoh sekarang. Harusnya dia tahu, undangannya tidak mungkin salah cetak. Dan berapa kalipun dia mengulang, hasilnya tetap sama, nama yang tertera disana tidak akan berubah.

Harusnya, aku mulai tertawa, sayang sekali, aku masih tidak bisa menertawakan apapun sekarang.

"Nan.." Dia memanggil namaku. Pelan.

Semua kebahagiaan yang sejak tadi dia tunjukkan menguap. Dia menatapku dengan mata yang sudah basah sekarang.

Kupikir, dia akhirnya mengerti. Karena detik berikutnya, dia menubruk tubuhku dengan tubuh besarnya dan menangis.

"Davin nikah sama anak bosnya?" Pertanyaan ini dilontarkan suami Gea. Aku tahu, tidak seperti Gea, dia membaca sampulnya dulu sebelum memutuskan untuk larut dalam euforia sia-sia seperti yang Gea tunjukkan tadi.

Aku mengangguk kaku.

Gea mulai menangis dan kudengar suaminya mengumpat pelan.

"Gimana bisa?" Pertanyaan sederhana Gea hanya bisa kujawab dengan gelengan.

Mana kutahu?

Yang kutahu, sampai kemarin Davin masih kekasihku. Mana kutahu kalau dalam semalam aku akan menemukan namanya bersanding dengan perempuan lain?

Mana aku tahu kalau keluarganya akan menangis mengemis maaf pada orangtuaku pagi tadi?

Aku bahkan tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku setelahnya. Aku bahkan tidak bisa menangis sekalipun ingin.

Yang kutahu, Davin akan menikah dengan orang lain dan itu bukan aku.

Yang ku tahu, Davin punya banyak impian. Dan mungkin menikah dengan anak bosnya membuat semua mimpinya menjadi nyata.

Ya, sesederhana itu.

Dia menikah. Memenuhi semua cita-citanya. Menyelesaikan segala target dalam hidupnya. Dan yang perlu dia lakukan hanya satu, mengganti pemeran utama dalam cerita yang dia susun.

Aku.

END

◾◽◾

Halo lagi.

Terimakasih untuk teman-teman warga wattpad yang selalu support dan-beberapa orang-yang nungguin karya lain dariku.

Maafkan ya, karena nggak pernah update cerita baru. 😁

Aku haturkan sedikit cerpen. Semoga setelah ini kita bisa segera bertemu di cerita baruku.

Terimakasih sekali lagi.

Selaksa Cerita (Kumpulan Cerita Pendek)Where stories live. Discover now