Lebur

679 69 12
                                    

Bayi mungil dalam gendonganku mengeliat beberapa kali sebelum membuka matanya dengan perlahan.

Mungkin dia terganggu dengan suara berisik dan suasana ramai yang dibuat oleh keluarga kami yang lain. Maklum saja, keluargaku memang termasuk keluarga besar, dan mereka sedang menyiapkan acara aqiqahan untuk bayi cantik ini nanti malam.

"Kalau dilihat-lihat lagi, Naura mirip kamu, ya Mbak."

Komentar ini berasal dari Mala, salah satu sepupuku yang sedang sibuk memotret Naura dengan kamera ponselnya.

"Masa sih?" Balasku, meskipun aku sudah tahu kalau jawabannya adalah "Iya."

Lagipula, Mala bukan orang pertama yang mengatakan itu padaku sejak kelahiran Naura sebulan yang lalu.

"Iya Mbak, serius. Malah nggak mirip sama mas Rama deh kayaknya." Lanjutnya lagi.

Kali ini aku menggeleng, tidak menyetujui pendapat Mala.

Lihat saja, mata Naura sama persis dengan milik mas Rama. Warnanya coklat cemerlang, teduh, dan mampu membuat siapapun yang menatapnya terpikat.

Terutama aku.

Sejak dulu, sejak duduk di bangku SMA dan pacaran dengan mas Rama, aku selalu terpikat dengan tatapan meneduhkan itu. Waktu itupun aku seringkali berandai-andai, membayangkan bahwa kelak saat kami menikah, aku akan memiliki anak yang mewarisi mata coklat mas Rama itu.

Tersenyum, kutatap Naura sekali lagi.

Bayi itu sedang menggerak-gerakkan mulutnya dengan begitu menggemaskan. Mungkin sedang mencoba menyampaikan sesuatu yang entah apa. Dan aku menemukan satu lagi kemiripan Naura dengan sang Ayah, bibirnya.

Tidak banyak yang menyadari itu kurasa. Tapi karena aku sudah begitu hafal dengan setiap lekukan bibir mas Rama, aku sungguh sadar kalau bentuk bibir keduanya begitu mirip satu sama lain.

Aku tahu ini konyol. Entah kenapa setiap kali mengingat bentuk bibir mas Rama, selalu berhasil membuat pipiku bersemu merah.

"Naura udah bangun?" Laki-laki berkoko putih dengan peci hitamnya mendekat kearah kami. "Tumben nggak nangis?"

"Daritadi dipeluk Mbak Hana, Mas. Nyaman kali Nauranya." Mala menjawab, mewakiliku yang langsung terdiam saat mas Rama memasuki ruangan.

Mas Rama menatap Naura penuh sayang, lalu tersenyum dan mengucapkan terimakasih, entah untuk apa.

"Makasih ya, Na."

Aku tidak menyahut. Hanya mengangguk sedikit sambil menundukkan pandanganku dari mata coklat itu. Merasakan nyeri yang tiba-tiba menjalar tanpa permisi.

"Eh, baby Naura udah bangun. Aku aja yang gendong, Mbak. Dicariin Budhe-Budhe daritadi."

Adikku, Syafa meraih Naura. Dan tanpa menunggu persetujuanku, ia membawa Naura keluar kamar bersamanya. Diikuti Mala yang masih setia jadi fotografer amatiran. Meninggalkan aku, mas Rama, dan keheningan tebal yang menyeruak diantara kami.

Tidak ada suara.

Tidak ada gerakan atau apapun yang kami ciptakan.

Mungkin, dihadapan orang lain, kami akan pura-pura jadi keluarga idaman yang membanggakan. Tapi tidak ada orang lain lagi di ruangan ini. Jadi kupikir Mas Rama tidak perlu repot-repot berbasa-basi seolah masih peduli padaku. Begitupun aku yang tidak perlu berakting ramah dan sopan padanya.

Kenyataannya, memang inilah keadaan kami yang sebenarnya sekarang. Dingin dan tidak lagi saling peduli.

Dia paling tidak. Aku? Entahlah. Kupikir aku hanya menyamakan apa yang mas Rama mulai lebih dulu.

Nyatanya, dia bukan lagi mas Rama dengan pribadi hangat yang membuatku jatuh cinta bertahun-tahun lalu. Mas Rama bukan lagi lelaki tangguh yang selalu ada, menjaga dan berjuang untukku. Dan yang paling penting, mas Rama sudah bukan lagi sosok yang akan menatapku penuh cinta seperti yang dulu pernah ia lakukan.

Dan kalaupun semua karakter itu masih ada, mas Rama sudah tidak lagi menunjukkan itu padaku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama kami berdiam dalam posisi seperti sekarang. Yang jelas, mas Rama masih berdiri di dekat meja. Entah sedang melakukan apa, aku tidak berniat melihat untuk mencari tahu.

Biar begini saja. Mungkin, dengan saling mendiamkan begini, kami tidak akan saling menyakiti lagi.

"Mbak." Syafa muncul lagi, membawa serta Naura yang tertidur di dalam gendongannya.

Sepertinya Syafa sedikit terkejut saat menemukan kami berdua tidak merubah posisi kami sejak terakhir kali ia meninggalkan ruangan.

Mungkin Syafa menyadari bahwa kami hanya berdua di dalam kamar dengan kekakuan yang begitu kentara, atau bertanya-tanya tentang itu. Entahlah. Karena pertanyaan yang dia ucapkan adalah, "Ditanyain Bapak tuh, mbak jadi balik sekarang nggak? Mau dianterin katanya."

Aku mengangguk tanpa ragu.

"Kenapa nggak nginep aja sih, Mbak?"

Dan menghabiskan lebih banyak waktu dengan mas Rama yang sekarang? Tidak, terimakasih.

Bukannya menjawab, aku malah menghampiri Syafa dan mencium kening Naura lama. Ku usap pipi lembut itu dan menatap wajahnya. Perpaduan wajah yang selalu kubayangkan, kuimpikan sejak lama, tapi ternyata tidak akan pernah menjadi milikku.

"Mbak balik dulu." Kataku singkat sambil menatap Syafa.

Sebenarnya, kalau ada yang bilang Naura mirip denganku, mereka tidak seenuhnya salah. Naura memang mirip denganku. Tapi, satu-satunya alasan yang membuat hal itu terjadi adalah karena wajahku mirip dengan Syafa. Ibunya Naura. Istri dari mas Rama, mantan kelasihku.

Aku ingat, sejak Syafa lahir, aku selalu bangga dan bersyukur dengan kemiripan wajah yang kami miliki.

Tapi sekarang?

Aku hanya bisa tersenyum miris saat menyadari betapa banyak kemiripan yang kami miliki.

Selama ini, diam-diam aku bertanya-tanya sendiri, apa yang membuat mas Rama memilih Syafa sebagai istri?

Apakah satu-satunya alasan, karena aku menolak lamarannya demi karier dan memintanya menunggu?

Apa karena dia tahu, bahwa menjadikan Syafa sebagai istri adalah balas dendam terjahat yang pasti akan menghancurkan hatiku?

Atau apakah sebenarnya mereka memang saling mencintai sejak lama, dan aku hanya penghalang yang -untungnya- menyingkir dari jalan mereka?

Entahlah.

Tidak ada satupun dari pemikiran itu yang tidak melukaiku.

"Aku balik, Mas." Pamitku, tidak menoleh untuk menatap mas Rama, melainkan langsung berjalan melangkah keluar ruangan.

Ternyata rasanya masih sama.

Sesak.

Perih.

Sama seperti saat mas Rama menyerah pada hubungan kami bahkan tanpa berusaha memertahankanku.

Sama seperti saat Syafa dengan bangganya mengumumkan hubungan mereka, kendati tahu persis bahwa laki-laki yang ia pamerkan kesana kemari adalah orang yang kucintai.

Sama seperti saat aku melihat mereka bediri di pelaminan sementara aku terseok sendiri menata perasaan.

Bahkan setelah tiga tahun berlalu pun, rasanya masih sama.

Nyatanya, mereka berdua tidak hanya mematahkan hatiku, tapi menghancur-leburkannya menjadi serpihan-serpihan kecil yang sampai sekarang pun masih belum berhasil kusatukan kembali.

End.

◽◾◽

Selaksa Cerita (Kumpulan Cerita Pendek)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora