Chapter 19²

1.6K 206 50
                                    

Suasana sedikit sunyi selepas Gael meninggalkan ruangan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Suasana sedikit sunyi selepas Gael meninggalkan ruangan. Ren belum juga bicara. Ia masih menundukkan kepala. Sesekali terisak kecil. Vier berdiri bersandar pada pintu. Menunggu gadis itu sedikit lebih tenang. Emosinya yang labil dan tak tertebak membuat semuanya lebih sulit dari kelihatannya. Vier sendiri belum begitu berpengalaman menangani seorang perempuan. Mereka selalu misterius.

"Ren, kau masih tak mau jujur padaku?" Akhirnya Vier bicara.

Ren terdiam. Pikirannya masih kacau. Emosinya campur aduk. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Entah kenapa dirinya seolah dilanda badai. Kacau. Padahal, Vier hanya bertanya soal keanehan dirinya. Mengapa ia harus menangis? Bukankah mudah sedikit mengarang cerita? Memang, bohong itu sulit, tapi setidaknya mengada-ada alasan dapat sedikit membantu walau dengan terbata. Bukankah semua malah jadi runyam karena tingkah sembrononya?

Vier melangkah mendekat. Ia duduk tepat di depan Ren. Menuntut jawaban dari gadis yang masih menetralkan emosinya.

"Vier," panggil Ren pelan. Ia masih tertunduk, enggan menatap mata lawan bicaranya. "A-aku tak ingin membebanimu."

"Siapa bilang kau membebaniku?"

"Ini rumit." Ren memandangi telapak tangan di atas pangkuan, mencari objek lain kecuali mata Vier untuk ditatap. "Aku bahkan tak yakin kau bisa membantu."

"Ren, aku mungkin tak cukup membantumu, tapi menyimpan masalahmu sendiri tak akan menyelesaikan segalanya."

"Kenapa kau ini?" Ren menegakkan kepalanya perlahan. Menatap wajah Vier di depan sana. "Memangnya kau ini siapa? Apa hubungan kita sampai-sampai kau peduli?" Ia menggeleng. Tak bisa dipungkiri air matanya kembali menetes.

Vier terdiam.

"Mengapa kau peduli. Bukankah hubungan kita cuma sebatas tugas?" Ren bertanya sinis. Entah apa yang mempengaruhi dirinya, tapi ia ingin meluapkan amarahnya kepada Vier begitu saja. "Kenapa kau masih saja peduli? Kau cukup berhenti saat kau kerepotan. Itu cuma tugas yang seharusnya tak dibebankan kepadamu. Memangnya siapa aku? Aku bahkan tak berhak mendapat perlindunganmu."

Vier masih saja diam.

"Kenapa kau diam?" Ren masih terisak.

Vier mengangkat bibir, membentuk seulas senyum. Sebuah senyum sinis. "Apa aku terlihat seperti boneka yang terikat tugas?" tanyanya. "Aku hanya ingin membantumu, tapi kau malah mengungkit masa lalu. Kau ini kenapa?"

Kenapa? Ren sendiri tak tahu. Tak mengerti perasaannya sendiri lebih tepatnya. Di saat yang bersamaan ia takut, sedih, dan marah. Hatinya kalut. Seperti akan gila rasanya. Mungkin, dirinya mulai kurang waras. Jika ia tak pernah bertemu Edgar, atau jika dirinya tak kehilangan ingatan, semua tak akan membingungkan seperti ini. Lebih-lebih, kalau saja dirinya tak pernah lahir. Kenapa takdir begitu kejam pada dirinya? Mengapa hanya perkara ingatan saja membuatnya hampir gila?

Prince or Princess: MEMORIESWhere stories live. Discover now