Chapter 10²

2K 233 270
                                    

Matahari sudah berlalu dari puncak takhtanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Matahari sudah berlalu dari puncak takhtanya. Bayang-bayang pepohonan di sekitar AirStreet mulai condong ke timur. Sedikit demi sedikit matahari beranjak, hingga di penghujung hari cahaya matahari mulai berkemilau jingga dan kembali ke peraduan. Pergi semalam dan kembali lagi di keesokan harinya.

Siang itu, Ren baru saja menuntaskan kegiatan belajarnya. Jam terakhir berakhir tanpa hambatan. Hanya sederet tugas merangkum yang membuat seluruh isi kelas mendesah. Namun, rasanya tak masalah untuk Ren. Ia tak lagi memberatkan tugas merangkum yang hanya lima bab. Kebiasaanya mencatat membuatnya kebal tugas merangkum. Ren rasa, dari seluruh isi kelas, hanya dirinya yang menikmati tugas itu.

"Sudah siap untuk tugas pertamamu?" Kana menyenggol lengan Ren yang berjalan di sebelahnya.

"Ya, kurasa begitu." Ren tersenyum. Ia menatap Kana sejenak, kemudian menatap koridor lengang menuju perpustakaan.

"Kau akan menyukainya!" seru kana hampir membuat Ren terlonjak. "Klub perpustakaan itu menyenangkan."

"Ya, jika kau tak tahu sisi buruk setiap anggotanya." Musa menyela. Ia menggelengkan kepalanya, lantas memijit kening. Membayangkan sisi-sisi buruk anggota klub yang kerap membuat masalah. Seperti tatanan buku tidak sesuai, hingga merusak beberapa paket buku baru. Gadis bermata cokelat itu tidak bisa kembayangkan yang lebih buruk.

Ren tersenyum kecut. Sehebat apa pun sebuah klub selalu punya sisi buruk tersendiri, bukan? Dirinya tak akan kaget seandainya klub perpustakaan ternyata diisi orang-orang gila yang suka berjoget di atas meja, atau pencinta buku keterlaluan hingga ia hampir menikahi buku. Ren berusaha tak akan kaget.

"Ayolah, Musa! Ini awal yang baru untuk Ren. Jangan buat dia mundur sebelum berperang!" Kana membenarkan kacamatanya yang miring karena ia sempat melompat semangat kala menyemangati Ren.

"Terserah apa katamu, Kana." Musa memutar mata, membuat Kana terbahak.

Setelahnya, Kana malah bersorak ke arah laki-laki yang handak masuk ke dalam perpustakaan. Laki-laki pemilik rambut kemerahan yang dipanggilnya tertoleh, menyahut sapaannya. Kana berlonjak-lonjak, lantas berlari ke arahnya. Ia menepuk punggung laki-laki itu hingga terbatuk. Ren hanya menatapnya kasihan. Musa bilang namanya Keith. Dia juga salah satu anggota klub perpustakaan, bendahara lebih tepatnya.

"Abaikan Kana yang sedang gila." Musa berbisik.

Ren tertawa, lantas menyahut, "Jika itu tak menular, baiklah."

Keadan perpustakaan masih seperti kemarin. Buku-buku yang berjajar di rak-rak kayu masih memiliki daya tarik yang sama untuk Ren. Rasanya, ia ingin melahap semua bacaan itu. Menyisir tulisannya lembar per lembar, satu per satu. Hingga tak ada satu buah pun buku yang tersisa. Tapi, rasanya itu benar-benar mustahil, mengingat selalu ada buku-buku baru yang datang tiap tiga bulan sekali.

Musa mengajak Ren langsung masuk ke ruang berkumpul. Di sana ada ruangan yang cukup lebar. Berisikan meja besar yang berisi tumpukan kertas yang Ren tak tahu apa isinya. Ada bifet kecil di sisinya, ada juga sofa lebar, banyak pula figura-figura kecil yang berisikan sobekan koran atau majalah tertempel di dinding-dinding kosong. Di lantai—yang menyisihkan cukup banyak ruang—digelar sebuah karpet bulu. Di sana sudah ada beberapa orang. Beberapa duduk di sofa, yang lainnya bersantai di karpet bulu.

Prince or Princess: MEMORIESWhere stories live. Discover now