LIMA BELAS

6.5K 941 50
                                    

Menyadari bahwa ada yang berbeda, itu susah. -Ray

Masih dengan pagi yang sama setiap harinya, pukul sepuluh, menyesap hangatnya kopi susu yang diseduh langsung dari pantry. Bermodal tiga ribuan dengan air panas gratisan. Ghania membolak-balik ponselnya, membaca buku digital yang baru dibayarnya tadi malam. Hidup Minimalis ala Orang Jepang by Fumio Sasaki, begitu yang tertulis di sampul buku digital yang membuatnya langsung jatuh cinta. Hidup minimalis memang akhir-akhir ini digandrungi oleh sebagian kaum urban. Diawali dengan realita banyaknya barang yang dipunyai oleh setiap orang yang berujung sampah karena fungsi di awal pembelian dan realita saat ini berbeda. Hingga menyesakkan mata karena tak tersusun dengan rapi dan tidak memiliki cukup tempat lagi untuk menyusunnya. Ghania merasa amat perlu untuk membaca dan menerapkannya dikarenakan kosannya sudah sumpek akibat barang-barang hasil incaran setiap ada sale besar-besaran baik di mall ataupun online. Tak cuma karena sale, printilan yang lucu—yang menurut Ghania akan dia butuhkan—ternyata tak sebegitu pentingnya.

Hidup minimalis itu pilihan. Tujuannya tidak hanya mengurangi sumpeknya hidup, namun juga mengevaluasi lagi arti dari setiap barang yang kita miliki. Dengan begitu, konstrentrasi kita teralihkan untuk hal-hal yang benar-benar harus mendapatkan perhatian penuh. Begitulah yang Ghania pahami sedikit tentang konsep minimalis setelah sebelumnya mengikuti channel Youtube Maurilla Imron, seorang pegiat minimalism. Karena channel Youtube beliau jugalah, Ghania tertarik untuk lebih mendalami konsep minimalism. Ditambah tadi malam setelah mencari-cari buku di google playbook, dirinya menemukan buku yang menarik dan akan mendukung keinginannya positifnya itu.

Tiga halaman berlalu, ponsel Ghania tiba-tiba berdering. Athalla. Pagi yang indah sepertinya.

"Hai," jawab Ghania saat panggilan mereka tersambung.

"Assalamualaikum dulu, dong."

Ghania terkikik, "Eh iya, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Kamu dimana?"

"Udah di kantor, lagi ngopi di pantry." Ghania menjawab dengan mengangkat cangkir kopinya menyentuh bibir.

"Masih kopi tora bika itu? Dan la la la danish-nya TLJ?" Terdengar tawa renyah Ataha ketika sulit menyebutkan real ganache danish, pastry favorit Ghania dari Tous les Jours.

"Tora bikanya masih. Kalau la la la danish-nya nggak. Udah aku bilang berapa kali, sih, kalau itu namanya real ganache danish?" Ghania pura-pura merengut.

"Ya udah tahu aku nggak hafal."

"Aku makan bika ambon buatan Fani. Enak banget!" Ghania meringis menikmati manisnya bika ambon buatan kakaknya yang dikirim kemarin sore itu.

"Ih, aku nggak dibagi?" Lucu sekali Atha kalau merajuk.

"Ya nanti. Nanti jemput aku, nggak?" Ini bukan Ghania minta dijemput ya, bukan. Tapi kemarin Athalla janji akan menjemputnya selama satu minggu ini setelah pulang kerja. Kurang kerjaan banget mengingat letak kantor mereka yang tak bisa dibilang dekat. Ghania di Menteng, dan Athalla di Blok M.

"Eh, tapi kalo macet nggak usah aja deh, Tha." Belum sempat Athalla jawab, Ghania sudah menginterupsi pertanyaanya sendiri.

"InshaAllah aku jemput. Tapi liat sikon ya, kalau nggak overtime meeting sama klien nanti sore, aku jemput kok," janji Athalla.

"Oke. Kalau nggak bisa nggak usah dipaksa, ya. Ketemunya weekend aja." Ghania memberikan pilihan.

"See, ya." Athalla mengakhiri panggilan, begitupun Ghania. Berakhir pulalah breakfast singkat dengan kopi sachet seduh dan sepotong bika ambon buatan Fani. Paginya kali ini didominasi rasa manis. Iya, manis.

ETHEREALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang