Persona

37 1 3
                                    

"Ryan percaya dengan cinta pertama?"

"Percaya."

"Kenapa?"

"Karena Ryan sudah pernah mengalaminya."

"Oh ya? Pasti indah ya?"

"Sangat indah."

"Ngomong-ngomong siapa cinta pertama Ryan?"

"Kamu."

*****

Hujan turun dengan sangat lebat sehingga latihan marching band harus dihentikan. Aku berlari ke koridor sekolah dan meletakkan tongkat mayoret secara perlahan agar tidak rusak karena benda itu merupakan aset yang penting bagiku. Aku berjalan dan mengulurkan tanganku agar basah terkena air hujan. Aroma hujan bercampur tanah terasa nikmat di indra penciumanku. Aku sangat suka jika rinai mulai menjatuhkan dirinya ke bumi.

"Hai."

Aku mengenali suara ini. Suara yang terbit dari bibir sang penyuka kopi dan senja juga penonton setiaku ketika aku sedang berlomba. Aku menolehkan kepalaku dan mendapati dirinya sedang berdiri di samping sambil menatapku.

"Hai juga."

"Nih." Ia mengulurkan sebotol air mineral ke hadapanku. "Untuk melawan rasa hausmu." Aku segera menerima pemberiannya dan mengucapkan terima kasih sambil tersenyum.

"Kok belum pulang?"

"Ada yang ketinggalan."

"Apa emangnya? Mau aku temani?"

"Tidak usah, aku sudah mengambilnya."

Lalu tercipta keheningan di antara kami. Hanya suara rinai yang sedang bernyanyi sebagai pelengkap kesunyian.

"Ryan,"

"Bella," Kami berbicara secara bersamaan.

"Eh, kamu saja deh duluan yang bicara."

"Kamu aja."

"Yaudah deh."

"Mau bicara apa?"

"I love you."

"Yah, kirain apa."

"Bales, gak?"

"I love you too."

"Artinya apa?"

"Ryan jelek kaya bebek."

"Mulai deh. Oh iya tadi mau bicara apa?"

"Kakak bakalan nonton aku kan?"

"Besok lusa, kan?"

"Iya."

"Pasti dong. Masa pacarnya lomba gak nonton sih." Tangannya merangkul tubuh mungilku. "Udah selesai belum latihannya?"

"Udah kok. Kamu mau pulang duluan?"

"Pulang bareng yuk."

"Kan masih hujan."

"Aku bawa mobil. Yuk!"

*****

Suara khas Ariana Grande mengalun lembut di udara kamarku. Saat ini aku sedang duduk di dekat jendela sambil mengeringkan rambut menggunakan hairdryer. Oh iya, aku juga sedang menunggu pacarku menelepon. Katanya ia akan mengabariku kalau sudah sampai di rumah. Aku mengambil sebuah novel karya Barnhill dan membuka lembaran tempat terakhir kali aku membaca. Mataku bergerak dan merekam apa yang tertulis pada lembaran novel itu.

Drrrrttt drrrrttt

Ponselku bergetar dan ada panggilan masuk dari Ryan. Aku segera mengangkat panggilan itu dengan semangat.

"Halo?"

"Dengan Bella?"

"Iya saya sendiri."

"Yah kok sendiri, saya temenin deh. Mau?"

"Hahahaha."

"Malah ketawa."

"Iya deh terserah."

"Bella, aku takut."

"Kenapa?"

"Aku takut kalau kita tidak bisa seperti ini seterusnya."

"Jaga bicaramu. Gak baik tau."

"Tadi aku merasa seperti melihat malaikat maut."

"Ryan!"

"Hahahaha."

"Gak lucu!"

"Jangan ngambek dong."

"Bodo amat!"

Aku mematikan panggilan itu secara sepihak. Aku marah dengannya. Bercandanya terlalu serius, aku tidak suka. Bagaimana kalau itu terjadi? Aku tidak akan siap. Lebih baik aku istirahat agar besok semangat untuk latihan marching band tumbuh dua kali lipat.

*****

Tibalah hari perlombaan marching band dimulai. Aku merasa sangat gugup, bibirku tak henti-hentinya melafalkan doa agar penampilan tim kami sukses. Oh iya perihal Ryan, kami tidak saling menghubungi sejak aku matikan panggilan itu. Aku tak akan mengambil pusing masalah itu. Fokusku hanya pada perlombaan dan melakukan yang terbaik untuk tim dan sekolahku.

Aku berjalan menuju ruangan khusus peserta berniat ingin mengambil peralatanku. Namun yang aku temukan terlebih dahulu malah lelaki itu. Ia duduk manis di salah satu kursi dan tersenyum kepadaku.

"Semangat Bella. Jangan ngambek lagi ya."

"Kok gak telepon aku dulu sebelum kemari?"

"Biar surprise, hehe."

"Bella! Sepuluh menit lagi kita tampil!" Pelatih memanggilku dari luar dan itu berarti aku harus segera mempersiapkan diri.

"Doakan aku ya."

"Iya, Bella. Semoga lancar." Aku hanya tersenyum dan langsung berjalan menemui pelatih. Tim kami langsung membentuk barisan dan aku berdiri di posisi. Tak lama kemudian pembawa acara menyebut nama tim kami dan itu artinya perjuangan kami dimulai dari sekarang. Aku melihat ke arah penonton dan mendapati Ryan tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku senang sekali. Aku harus menang agar dapat membanggakan Ryan.

*****

Selepas lomba aku mencari Ryan di seluruh area perlombaan tetapi Ryan tidak ada. Sudah kucoba untuk menelepon juga ponselnya tidak aktif. Akhirnya aku memilih untuk langsung pulang menggunakan taksi.

Selama di taksi aku hanya diam dan termenung memandangi rintik hujan yang membasahi kaca mobil. Sampai akhirnya suara getaran ponsel membawanya untuk kembali ke alam nyata. Panggilan masuk dari Mama Ryan.

"Bella..."

"Mama, kenapa?"

"Ryan, kecelakaan..."

"Mama serius! Jangan becanda."

"Dia kecelakaan waktu lagi dalam perjalanan menuju tempat perlombaan kamu."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 07, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Fragmen RasaWhere stories live. Discover now