DELAPAN

751 52 5
                                    

Halo, semua. Maaf banget baru sempat nge-up SHT hari ini. Jangan marah, yak XD. Nunggu paling enggak setiap bab dapat 20+ viewers juga soalnya. Tapi ya sudah, kita lanjutkan saja daripada targetnya enggak nyampe terus, kan? *Huhuhu

.
.
.
Sudah masuk puncak musim hujan, saat sebuah keluarga mengisi rumah yang belakangan ini dibiarkan kosong. Dari balik jendela, sorang anak perempuan bisa melihat dengan jelas ketika mobil masuk ke halaman rumah yang juga hanya seluas halaman rumahnya. Yang membuat bocah perempuan itu bertanya-tanya adalah, ketika bocah laki-laki seumuran dengannya ikut turun dari Kijang Rover hitam metalik tersebut. Dengan kedua tanggannya, bocah laki-laki tersebut menutup kepalanya agar tidak kena guyur hujan. Sayup-sayup ibunya memarahi bocah itu, sebab si ibu sudah mengembangkan paying untuknya.

Siapa mereka? pikir si bocah perempuan. Seingatnya, terakhir yang mengisi rumah tersebut pasangan renta yang sering dipanggilnya Mbah Kuri dan istrinya. Dan itu, sudah empat tahun lalu, sebelum kerusuhan Mei 1998.

Pertanyaan tentang siapa gerangan mereka tidak lantas didapatkan jawabannya. Ya, ayahnya yang ditanya waktu itu pun belum tahu siapa mereka. Di hari keempat setelah kepindahannya, bocah laki-laki itu kemudian muncul di tempat yang tak terduga. Di muka kelas, bocah laki-laki tersebut mengenalkan dirinya sebagai Narendra.

"Panggil saya Are," katanya sebelum mengakhiri sesi perkenalan.

"Nak Are, kamu duduk di sebelah Adam." Sri, wali kelas mereka, memberi intruksi.

Are. Namanya ternyata Are. Apa hubungan Are dengan Mbak Kuri? Sampai perjalanan pulang dalam boncengan sepeda Adam, Kyra kecil terus saja memikirkan itu. Sayangnya, sampai seminggu kemudian, jawaban itu tak jua dia temukan. Kyra kecil yang punya cita-cita sebagai pewarta ternyata malu untuk hanya sekadar bertanya kepada Are.

Satu hari Kyra sempat ingin bertanya perihal itu melalui Adam, sepupunya yang juga teman semeja Are. Tapi, itu urung dilakukan. Aku ingin bertanya sendiri saja, tekadnya.

Pagi itu Kyra menunggu Adam di muka rumah. Langit sudah mendung. Tadi Ayah sudah mengajaknya untuk berangkat bersama, dengan sepeda motor. Tapi Kyra menolak. Setelah ditunggu beberapa saat, sepupunya itu datang juga.

"Are!" teriak Adam tak lama setelah berhenti di depan kediaman Kyra. Kyra tentu terkejut ketika Are muncul dengan sepedanya—terlihat baru. Mereka berangkat ke sekolah bersama. Sebelumnya, beberapa anak mengira Are sombong, sebab jarang bicara dan tidak banyak bergaul. Menurut pengamatan Kyra, itu cukup masuk akal, bahkan dengan Adam saja—yang teman semejanya—Are jarang bicara.

"Tumben Are tidak diantar papanya?" bisik Kyra di tengah perjalanan. Dia melirik ke samping setelah berbicara begitu, takut orang yang mengayuh sepeda beriringan dengan mereka mendengarnya.

"Kemarin, Are bilang papanya membelikan sepeda. Terus minta berangkat bareng," ucap Adam. "Sepedanya keren, ya?" tambahnya.

Kyra memerhatikan sepeda itu, kemudian mengangguk untuk memberi pembenaran atas ucapan sepupunya. Ya, sampai hari itu Kyra belum pernah berbicara kepada Are. Bocah laki-laki itu pun tak penah mengajaknya bicara.

Kyra lupa hari keberapa waktu itu, sepertinya minggu kedua sejak kepindahan Are dan keluarganya. Musim hujan masih belum sirna. Malah, dua hari terakhir hujan terlalu deras, sehingga untuk beberapa hari tempat tinggalnya masih tergenang air.

Seperti biasa, saat rumahnya diterpa banjir lokal, Kyra akan memakai sepatunya di jalan depan rumah. Pagi itu, usai mengikat tali sepatu, Kyra terkesiap saat menyadari seseorang memerhatikannya. Are, dia juga sedang menunggu Adam yang belum datang. Bocah laki-laki itu tak mengeluarkan sepatah kata pun. Kyra juga hanya diam menunggu sampai Adam tiba.

Sepulang sekolah, Kyra melepas sepatunya di jalan depan rumah, sama seperti ketika berangkat. Gerimis sudah membuat sepatunya sedikit lembab, tentu dia tidak mau sepatunya kuyup oleh karena dia menerobos air di halaman sempit rumahnya. Meski besok minggu, dia tidak ingin ambil risiko seandainya esok matahari masih malu-malu menggantung. Kyra meletakkan sepatu di kursi di teras, air masih menggenangi rumah setinggi mata kaki.

Yang tidak diketahui Kyra, Are sudah mengamatinya dari beranda sejak bocah perempuan itu melepas sepatu di pinggir jalan. Kegiatan itu sudah dilakukannya beberapa hari belakangan. Heran, sungguh heran mengapa hanya rumah teman sekelasnya itu saja yang tergenang air.

Keheranan justru menghinggapi Kyra di hari berikutnya.

Pagi-pagi rumahnya sudah disibukkan dengan dua orang pekerja. Kyra masih dengan piyama, berjalan ke muka rumah. Dia melihat ayahnya sedang bercakap-cakap dengan seseorang, sambil membatu dua pekerja yang sedang mengebor tanah di halaman rumahnya. Dari jauh, matanya menangkap Are sedang duduk bersila di teras rumahnya—bocah itu pun terlihat menyadari keberadaan Kyra.

"Kyra, sini, Nak!" ayahnya memanggil, Kyra tentu menghampiri. "Ini papanya nak Are. Beliau mau bantu kita buat kasih jalan air ke belakang rumahnya," jelas Ayah.

Kyra tahu bahwa di belakang deret rumah di depan kediamannya adalah anak sungai kecil, kurang dari satu meter lebarnya. Tapi, Kyra pikir bukan itu yang jadi soal. Ya, Kyra sedang mencari musabab tetangga barunya itu dengan murah hati memberikan jalan keluar atas permasalahan banjir lokal yang sudah mereka alami dua tahun ini. Bocah itu lekas mencium punggung tangan lelaki di hadapannya. "Terima kasih ya, Pak," katanya.

Lelaki itu tersenyum, lantas mengangguk. "Tentu, anakku," katanya. "Ini juga atas saran Are, Nak. Kamu kenal putra Om, kan?"

Kali ini Kyra yang mengangguk, "Satu kelas, Om."

"Oya? Wah, kok Are tidak pernah cerita, sih?"

Kyra tersenyum sungkan. Are, ini atas saran Are, Kyra mengulang ucapan itu dalam hati. Tapi, bagaimana mungkin? Kami tidak pernah bicara, selama ini. Kyra masih diserang tanya. Betul, bahwa mereka tak pernah sekalipun saling bicara. Tapi, bocah itu menyentuh tepat ke titik pengharapannya.

"Kalau begitu tolong bantu dia, ya. Anaknya memang sedikit pendiam," lelaki itu bicara lagi. Kali ini bahkan mengusap rambutnya dengan lembut.

Iya, itu interaksi pertamanya dengan mereka yang berkaitan langsung dengan Are. Meski Are dicap sebagai anak yang sombong di sekolah, Kyra berpikir bahwa anak itu datang dari keluarga yang baik. Bahkan, dalam diamnya Are ternyata peduli, pikir Kyra. Maka menurut Kyra, cap sombong yang ditempelkan pada Are seharusnya dihapuskan. Dia malah mulai berpikir bahwa dirinyalah yang sombong.

"Are yang datang ke tempat baru, wajar bila dia masih diam, malu-malu. Justru kita sebagai orang lama di lingkungan barunya yang harus bisa mengajak. Kenalkan dia pada kita, lingkungannya." Itu ucapan ayahnya. Ya, mereka masih membicarakan kebaikan keluarga di seberang rumah sampai malam tiba. Air sudah surut, lantai sudah bersih, mereka mengobrol di ruang tengah, sambil menonton tayangan tv.

"Terus Kyra harus bagaimana, Yah? Apa Kyra harus ngucapin terima kasih lagi ke Are, walaupun itu sudah Kyra lakukan ke papanya?"

"Baiknya begitu. Ayah pun tadi pagi sudah mengucap terima kasih, ke papanya, mamanya, bahkan ke Are."

"Ke Are juga?"

Ayah mengangguk, "Iya."

"Terus apa katanya?" ucap Kyra bersemangat, tentu dia ingin tahu.

"Are senyum sambil manggut-manggut."

"Gitu doang?"

"Betul kata papanya, Are memang sedikit pemalu."

Tanpa memedulikan ucapan ayahnya, Kyra sudah sedang mengira-ngira, apa yang akan dikatakan Are seandainya dia mengucapkan kalimat yang sama? Tapi, belum-belum jawaban itu berhasil ditangkap, Kyra sudah ruwet duluan bagaimana dia akan mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada bocah laki-laki pendiam itu. Saat melangkah dari ruang tengah ke arah kamarnya, Kyra bahkan meragukan keinginannya menjadi wartawan. Wartawan, kan, harus bisa ngomong.[]

.
.
.
Sampai jumpa di part selanjutnya! Mudah-mudahan bisa Minggu ini juga.
Terima kasih sudah jadi pengunjung setia. Salam, Rky

Sebelum Hujan TurunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang