TUJUH

746 59 12
                                    

"Lah, lah, kok tumben seminggu dua kali update?" Hehehe, iya. Ini caraku menebus waktu nunggu teman-teman minggu lalu. Semoga masih pada betah nongkrong di sini, ya!
Salam, Rky.

.
.
.

Malam itu Kyra terpaksa bohong pada Bari. Dia memilih untuk bermalam di apartemen Kandi. "Aku mau bantuin Kandi nyusun materi buat kelas Jurnalistik, besok. Soalnya dia diminta jadi dosen tamu di UI," begitu Kyra memberi alasan. Sungguh, tak pernah dia berbohong sebelum ini pada Bari. Tapi, hari ini saja sudah dua kali dia berbohong. Perempuan itu tentu menyesali, namun dia betulan butuh.

Semalaman Kyra menumpahkan kesahnya pada Kandi. Terutama perihal, bagaimana cinta ternyata begitu sulit?

"Gue harus gimana? Apa iya, pada akhirnya semua ini bakal berakhir di sini?" keluh Kyra.

Kandi melotot, "Maksud lo gimana? Jangan gila, Ra! Kalian mau nikah dalam hitungan hari. Enggak usah ngomong macam-macam. Lagian, ya, gue heran apa bagusnya Are buat lo? Maksud gue ... oke dia pernah nolong lo, Ayah lo. Tapi, ya cuma sebatas itu. Dia pergi, Ra. Lama. Dan, kurang ajarnya, sekarang malah sekonyong-konyong datang. Itu gila namanya.

"Sekarang lo bandingin sama Bari. Dia oke, mapan, keluarganya baik, juga hadir buat lo. Hadir, Ra! Dan yang paling penting, seperti yang udah lo ceritain, ciumannya jago. Sekarang kurang apa?" Kandi sadar Kyra sedang tidak bisa diajak bercanda barang sedikit. "Oke, fokus. Gue tahu ini sulit. Tapi, gue rasa ini cuma bagian dari perjalanan lo aja. Bumbu, Ra. Pasti bakal ada jalan keluar bagus, buat niat yang bagus, kok."

"Terus gue harus ngapain, sekarang?" Kyra berdecak. Dia memegangi kepalanya.

Kandi menyodorkan cangkir berisi air pada sahabatnya tersebut. "Solusinya ada pada lo. Lo sendiri yang bilang, Manusia sejatinya cuma butuh cerita atas permasalahan yang dihadapi. Solusi ada pada dirinya sendiri. Catat!

"Ada satu hal lagi yang perlu lo catat," tambah Kandi. "Are datang dengan sudah dalam keadaan milik orang lain. Jangan bilang lo punya niat jadi pelakor. Ra, meski lagi musim di grup-grup reuni, itu enggak baik. Lo harus move on."

Kyra tercenung mendengar ucapan itu.

Ya, begitu pada akhirnya. Pelarian Kyra semata-mata agar dia bisa cerita, dan mencari sedikit tenang—yang terakhir tidak betul-betul dia dapatkan.

Pagi ini Kyra berusaha memulai hari seperti biasa, tak absen mengirim pesan pada Bari. Mengulang sambungannya semalam, dia mengatakan pada kekasihnya itu akan berangkat ke kantor dari rumah Kandi, tidak perlu diantar.

Seperti yang dikatakan sebelumnya, pelarian semalam tak lantas membuatnya tenang. Dia bekerja dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Are, Bari, adalah dua nama yang tak bisa dilepas dalam pikiran. Bahkan, saat salah satu reporternya minta kontak salah satu pejabat Kementian Keuangan, dia salah kirim. Tak pernah dia sekalut ini.

"Lo kenapa sih, Mbak?" itu pertanyaan yang dilontarkan Nida saat di pantri, tadi. Tidak biasanya Kyra terlihat diam di sana sekian lama.

Kyra lantas menggeleng, "Enggak apa-apa."

Ucapan 'tidak apa-apa' itu ternyata tidak berhenti di sana. Ya, keduanya terlibat percakapan di ruangan Kyra. Tidak spesifik bicara tentang sosok yang tiba-tiba datang, atau soal rasa penyesalan pertemuannya dengan Bari sebelum ini. Ya, tapi dari situ Nida mengerti, Kyra memang tidak betul-betul tidak apa-apa.

"Semuanya bisa diatasi, oke. Kayaknya lo cuma butuh tenang aja, Mbak. Dan gue rasa, dengan kerja begini bukanlah solusinya," ucap Nida.

Salah, lo salah! itu suara batin Kyra. Justru dengan gue di rumah, dua lelaki itu bakal lebih merong-rong batin gue. "Tadi lo mau apa, Nid?" Pertanyaan itu yang akhirnya meluncur. Kyra sudah tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Sebetulnya dia datang ke sini buat kerja, tidak untuk kalah dengan bayangan Are.

Nida mengerti, dia akhirnya kembali ke tujuannya datang ke ruangan Kyra.

Bari merasa malam ini Kyra terlihat berbeda. Maksudnya, kekasihnya itu terlalu kentara sekali sedang berusaha menguasai diri. Canggung, terasa seperti Kyra yang ditemuinya untuk kali pertama. Kalau boleh jujur, malam itu Bari merasa beruntung—bahkan sampai hari ini. Kadang-kadang, dalam lamunannya berkendara lelaki itu berpikir, Bagaimana jika seandainya saat itu bukan Kyra yang bersamanya? Apa akan sama seperti sekarang? Hubungan ini, serius?

Kyra adalah cinta. Bagaimana mungkin Tuhan mengirimkan Kyra di tengah kegelapan malam, jika bukan untukku yang juga sedang tersesat? pikir Bari waktu itu. Buatnya yang saat itu juga untuk pertama kalinya berada di sana, Kyra adalah garis tadir. Dia tahu, saat itu juga harus berbuat apa. Betapa bahagianya saat Kyra menyambutnya.

Bolehlah, hati kecilnya merasa itu bukan sesuatu yang baik. Tapi, hatinya yang lebih besar berkata untuk tidak menyesali itu. Seperti yang sudah diyakininya, Kyra adalah cinta. Dan, cintanya itu saat ini terlihat gundah menatap jalan yang padat merayap. Di luar, gerimis turun sejak tadi.

Di tengah kecanggungan yang tercipta itu, beruntunglah buat Bari. Suara radio yang sejak tadi menemani perjalan keduanya memperdengarkan lagu dari penyanyi kenamaan: Ed Sheeran, Perfect. Ini adalah kesempatan, pikir Bari.

Sepanjang lagu diputar, mulutnya tak berhenti bersenandung, mengikuti lagunya. Tangan kirinya tak kalah sibuk dengan tangan kanan yang memegang kemudi. Ya, tangan kirinya punya tugas dadakan, memegangi tangan kanan Kyra. Kadang, sesekali matanya mengerling ke arah perempuan di sampingnya itu. Bibirnya pun tak mau kalah, menebar senyum beberapa kali, dan mengecup punggung tangan Kyra.

Dampaknya ternyata luar biasa, Kyra tertawa. "Apaan sih, kamu?"

"Nah, gitu, dong. Masa dari tadi sunyi banget," ucap Bari, nyengir. "Biasanya Ibu yang satu ini kan, berisik."

Kyra tertawa, "Gimana hari ini opening tokonya?"

"Lancar, enggak kayak jalan ini."

"Oh, iya. Di jalan dekat rumah bakal ada pesaing baru, tuh."

"Hah, masa?"

Kyra mengangguk, "Dari grup yang sama kayak yang sudah ada."

"Nanti aku minta report supervisor-ku, deh. Aku rada lupa sales yang di sana berapa," ucap Bari. "Oh iya, tadi Adam kirimi aku foto baju buat keluarga, kamu sudah cek?" tanya Bari kemudian.

Kyra mengangguk, "Aku sih suka, kamu gimana?"

"Mama sih, mau dipakein apa aja ikut."

"Tega banget."

"Eh, beneran!"

Berhasil. Bari berhasil membalikkan keadaan. Iya, Kyra-ku ya seperti ini. Bari tersenyum. Keduanya terlibat percakapan panjang, terkhusus mengenai pernak-pernik pernikahan. Walau semua urusan dipegang Adam dan istinya, kadang-kadang Kyra dan Bari ikut membicarakannya. Bukan, bukan membicarakan karena antusias, mereka lebih bicara, "Ribet banget ya, cuma nikah aja."

Sedan itu akhirnya berhenti di depan kediaman Kyra. Perempuan itu baru saja hendak membuka seat belt saat tiba-tiba tangan kanan Bari memegang sebelah pipinya. Sepersekian detik kemudian lelaki itu mengecup lembut keningnya. Bukan, bukan itu yang membuatnya heran. Tapi, ucapan Bari setelah itu.

"I love you."

Kamu tahu, pikir Kyra. Ya, perempuan itu meyakini bahwa Bari pasti menyadari kegelisahan yang dia tunjukkan. Kyra lekas menguasai diri, dia segera balik mengecup pipi kekasihnya. "Aku juga," tambahnya.

Bari melambaikan tangan sebelum memacu mobilnya.

Kyra sedang melepas kepergian Bari saat sebuah Avanza hitam berhenti di hadapannya. Kyra mengamati seseorang keluar dari dalam mobil, sampai Avanza itu akhirnya berlalu. Hal berikutnya yang membuat perempuan 31 tahun itu sulit menguasai diri adalah sosok yang tengah berdiri di seberang jalan gang yang tidak cukup lebar ini, Are.

Laki-laki itu menatapnya. Ya, keduanya saling tatap.

"Hai."

Iya, tentu Are mengenaliku. pikirnya.[]

Sampai bertemu di part berikutnya!

Sebelum Hujan TurunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang