Extra Part

1.6K 98 18
                                    

Ekstra Part (Ending)
Sudut Pandang Kamil

Ponsel kembali berdering, ini sudah yang kelima kalinya. Pengasuh di rumah mengabarkan bahwa putra pertama kami masih demam meski telah diberi obat penurun panas.

Aku : Halo, Bi.

Bibi : Mas Kamil, saya takut. Zikra masih tinggi demamnya, hanya khawatir kejang lagi.

Aku : Sabar, Mbak. Saya lagi siap-siap. Jihan sudah ditelepon?

Bibi : Kata Mbak Jihan nanggung, Mas. Lagi rapat.

Emosi ... hanya itu yang kurasa saat ini. Aku tak pernah memintanya untuk menjadi istri yang sempurna, tapi kurasa kali ini dia sudah keterlaluan.

Segera kupacu mobil dengan kecepatan tinggi, untuk sampai ke sekolah tempatnya mengajar. Sekaligus tempat di mana dua insan beda usia dan status dipertemukan dalam suatu jalinan cinta.

Aku berlari ke lantai dua, menuju aula yang biasa digunakan untuk rapat.

"Assalamu'alaikum." Kuketuk pintu seraya berucap salam.

Dia langsung keluar menghampiri.

"Aku rapat, Sayang. Kamu paham nggak? Besok akreditasi sekolah."

"Anak sakit, kamu paham nggak?" Nada suaraku meninggi, terlampau menahan emosi. Seketika seluruh orang yang berada di aula melihat heran ke arah kami.

"Kamu kok marahin aku? Aku begini juga cari uang demi Zikra!" Nadanya semakin meninggi.

Aku tak peduli, kali ini ia tak boleh melawanku. Toh semua demi anak kami.

Selama di mobil, kami hanya mematung. Sikapnya kali ini benar-benar membuatku geram. Kecewa, marah, terluka, seolah aku adalah suami yang tak ada harganya.

Baru sampai depan pintu, pengasuh kami terlihat berlarian sembari menggendong Zikra yang sedang kejang.

"Astaghfirullah." Wajah Jihan terlihat panik luar biasa. Ia mengambil alih Zikra dari gendongan sang pengasuh.

Kami bergegas ke rumah sakit yang berada di kota Jakarta. Zikra, putra kami yang berusia setahun tidak seperti anak-anak lainnya. Ada masalah pada tumbuh kembang dan otaknya sehingga ia seringkali kejang baik dengan atau tanpa demam.

Kulihat Jihan masih menangis kala Zikra diberi pertolongan oleh tim medis. Wajah cantiknya kini sudah basah oleh air mata itu.

"Ngapain nangis? Bukannya tadi milih rapat?" ucapku sinis.

Ia hanya menoleh dan memandangku picik. Tak lama kemudian, dokter datang dan meminta kami mendaftar ruang PICU (Pediatric Intensive Care Unit). Jihan kembali tersungkur di lantai meratapi Zikra yang kini tengah tak sadarkan diri.

Aku berlari ke ruang administrasi untuk mendaftar PICU ( Pedriatic Intensive Care Unit ).  Aku sendiri tak pernah paham tadinya apa itu ruang ICU. Setelah berbincang dengan admin dan kasir, aku sepakat untuk membayar depositnya yang ternyata tujuh belas juta rupiah.

'Gue mana ada duit sebanyak itu?' batinku bergemuruh. Namun, tak mungkin rasanya mengatakan ini pada Jihan.

Segera kuraih ponsel dan menghubungi ayahku, hanya ini jalan satu-satunya.

Aku   : Ayah, Kamil lagi cari ruang PICU untuk Zikra. Deposit 17 juta rupiah. Nggak mungkin rasanya minta sama Jihan.

Ayah : Kamu tenang ya, Mil. Papa transfer, tapi mungkin hanya 12 juta. Kondisi keuangan papa tahu sendiri bagaimana.

Aku. : Terima kasih, Pa.

Aku semakin kelimpungan karena harus menambah lima juta. Sedangkan, sisa di ATM hanya tinggal dua juta rupiah. Selama ini, seluruh penghasilanku untuk keluarga, sama sekali tidak pernah mengutik uang Jihan.

"Bagaimana, Mas," tanya kasir rumah sakit tersebut.

"Saya ke ATM sebentar, Bu."

"Bisa debit kok, Mas."

"Saya tunggu transferan! Jadi jujur, kan? Sabar sebentar, Bu! Ini uang nggak sedikit!"

Aku gusar, beberapa kali bolak balik hanya untuk menunggu papa memberikan konfirmasi jika sudah mengirimkan uang. Tak lama kemudian Jihan datang setengah berlari.

"Kenapa lama sekali?" Wajah Jihan merengut, aku sudah menerka apa yang akan diucapkan selanjutnya.

Aku hanya menggaruk kepala, bingung jawaban apa yang hendak kukatakan padanya. Kulihat Jihan segera pergi ke depan loket kasir dan membayar tunai biaya perawatan anak kami.

"Kamu pikir aku mau bekerja karena tak ingin merawat Zikra? Kamu tahu? Aku ingin seperti ibu lainnya yang bisa 24 jam mengurus kalian. Aku lelah, Mil! Hanya selama ini aku nggak ingin cerita. Kamu terlalu sibuk dengan dunia mudamu. Pernah kamu tanya kapan aku bagi waktu antara bekerja dan mengurus rumah? Kamu hanya tahu makanan dan pakaian telah tersedia. Pernah kamu tanya aku lelah atau nggak? Pernah kamu tanya hari itu aku sudah makan atau belum?

"Han ...." Aku berusaha menyela ucapannya.

"Begini kamu dan ibumu selalu berpikir bahwa aku egois. Andai aku menuruti kalian untuk berhenti bekerja semenjak kita menikah. Apakah kita mampu membayar biaya perawatan Zikra hari ini?"

Benar memang, jika pembendaharaan kata wanita lebih banyak daripada lelaki. Buktinya sekarang, aku tak mampu menjawab sepatah kata pun untuk menangkal ucapannya.

Kubawa tubuhnya ke dalam pelukanku, membiarkan seluruh ungkapan batinnya ia sebutkan satu per satu. Aku memang salah, selama ini tidak pernah memperhatikan sedetail ini. Aku hanya berpikir dia egois karena tak ingin berhenti berkarir, tanpa melihat kecekatannya dalam membagi waktu antara karir dengan keluarga.

Bajuku mulai basah, pertanda air matanya memang sungguh deras. Ia masih meracau tanpa henti dan aku tak merespon walau satu kata pun. Biarlah tangan ini yang bekerja untuk terus membelai rambut indah tersebut sampai ia tenang dengan sendirinya.

Isak tangisnya mulai mereda, ia pun melepaskan diri dari pelukanku. Matanya sembab dan memerah. Kubingkai wajah cantik itu perlahan, dan mengarahkan pandangan ke matanya.

"Tatap mata aku, Han. Maaf karena selama ini justru aku yang masih egois. Aku tak mau berlindung di balik usia, sudah menjadi kewajiban seorang kepala keluarga untuk bertanggung jawab atas segalanya."

Mata sendu itu kini menatapku, pandangan yang dulu berhasil membuatku jatuh cinta sekarang berubah. Aku melihat ada derita di sana, yang ternyata selalu ia simpan sendiri.

Bunyi notifikasi ponsel, papa telah mengirimkan uang.

"Han, ini papa udah transfer. Uangmu aku ganti, ya."

"Nggak perlu," jawabnya sambil mengelap air mata.

"Aku nggak mau pakai uang kamu!"

"Kamu terlalu gengsi, Mil. Ini semua untuk anak kita. Kamu pikir aku simpan gajiku dan tak pernah memakainya untuk apa kalau bukan kalian? Nggak mungkin untuk traktir brondong, kan?"

Aku tersenyum dengan perkataannya. Sedikit mengingat ke belakang. Walaupun kerja, aku tak pernah melihat Jihan menghamburkan uang. Padahal kalau mau, ia bisa saja menjadi ibu sosialita yang heboh.

Begitu proses pendaftaran selesai, aku menggandeng tangan Jihan kembali menuju IGD untuk menyerahkan berkas pendaftaran, dan memindahkan Zikra ke ruang PICU.

Kami duduk di ruang tamu, dokter belum mengizinkan masuk. Jihan masih mematung, pandangannya kosong, entah apa yang dipikirkannya.

Kugenggam tangan halus tersebut dan beberapa kali mengecupnya. Ia masih diam tak ada ekspresi apalagi bicara.

"Jangan merengut begitu, cantiknya hilang nanti."

"Aku memang nggak cantik, udah mau kepala tiga juga."

"Istri aku masih cantik kok, ABG aja kalah." Aku semakin gencar merayunya, bukan karena apa. Lelah melihat wajahnya bersungut seperti itu.

"Masa? Buktinya kamu jalan sama ABG kemarin."

Mataku terbelalak mendengar ucapannya. "Han ... aku ...."

"Nggak usah bahas itu sekarang! Doa saja untuk anak kita. Kalau bukan karena anak, mungkin aku sudah ...."

"Stop! Aku tahu kamu mau bilang apa. Aku nggak rela!"

Bersambung.

My Lovely Student (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now