Part 9 Jodoh adalah Takdir

1.6K 101 7
                                    


Mohon krisan 😊
Maaf ga selucu kemarin, hidup ga selalu indah hehehe..

--------

Kamil benar-benar nekat membawa sebelah sepatu tersebut. Tidak mungkin aku kembali ke ruangan dengan sepatu yang tinggal sebelah. Akhirnya, kulepas kembali sepatu yang yang satunya, lalu berjalan tanpa alas kaki menuju ruang guru.

Aku harus memakai sandal sebelum bertemu dengan Aiden, sebab ia pasti akan bingung kalau tiba-tiba melihatku tanpa alas kaki. Perlahan, membuka pintu ruang guru, Aiden masih tampak membelakangiku, sebisa mungkin berjalan berjinjit, sangat hati-hati.

"Jihan, kok sepatunya dilepas."

Aku menepuk jidat, itu suara Aiden. Dia mendekatiku dan mengulangi pertanyaannya, "Jihan, itu kenapa sepatunya dilepas?"

"Oh, ini, kakiku sakit."

Aiden tampak heran, dia melihatku menenteng sepatu yang tinggal sebelah. Aku salah tingkah, dan berusaha menyembunyikan sepatu tersebut. Tatapan lelaki kekar itu berubah, bukan lagi heran melainkan curiga.

"Kenapa sepatumu tinggal satu?"

Aku menunduk, tak menjawab. Wajah Aiden semakin menampakkan kecurigaan. Dia meninggikan suaranya.

"Kenapa sepatumu tinggal satu?!"

"Dibawa Kamil," jawabku pelan.

Aiden menarikku keluar, menjauh dari ruang guru. Dia tampak marah besar, tatapan matanya tajam, dan penuh dengan amarah. Yakin, dia memang telah curiga sejak awal. Mungkinkah ini waktu yang baik untuk jujur kepadanya?

Aiden mengepal erat tangannya, hampir saja dia meninjuku, tapi niat tersebut diurungkan saat melihat air mataku mulai jatuh. Aiden mencoba mengatur napasnya kembali. Kemarahannya perlahan mereda, wajahnya kembali tenang.

"Maafkan aku." Ia berucap pelan, disusul dengan pelupuk mata yang mulai berkaca-kaca. "Berhenti memikirkan anak itu, jauhi dia!" lanjutnya lagi.

Ternyata, di ujung sana, Kamil melihat kemarahan Aiden. Wajahnya murung, diletakkannya sepatuku di depan toilet guru. Sedangkan aku, memantapkan hati untuk belajar mencintai Aiden, dan melupakan Kamil.

🦁🦁🦁

Sore ini sepulang dari sekolah, Aiden mengajakku jalan-jalan. Di dalam mobil, tangannya terus menggenggam erat. Begitu juga saat di mall. Mungkin dia sedang berusaha mengambil hati. Sebisa mungkin aku membalas perlakuannya, semata-mata agar lebih mudah menerima kehadirannya.

Nomor ponsel dan seluruh akun media sosial Kamil kublokir. Mencoba memantapkan hati untuk melupakannya, tapi setiap malam hati ini selalu menahan perih. Semakin dilupakan, semakin sakit. Semakin berusaha mencintai Aiden, semakin sulit hati ini untuk terbuka.

Tak ada hati yang tak pernah sakit. Andai bisa memilih, aku rindu saat hidupku tanpa cinta.

* * *

"Han, bantu gue dong anter berkas-berkas ini ke para pengawas luar!" seru Widya.

Hari ketiga ujian. Semua panitia mulai sibuk merekap daftar hadir pengawas, supaya pembagian upah mengawas besok berjalan lancar. Aku berjalan menaiki anak tangga, tanpa suara. Kebetulan, hari ini memakai sepatu berbahan karet. Melangkah menuju laboratorium 3, tempat Kamil melangsungkan ujian.

Kuketuk pintu perlahan seraya mengucap salam.

"Permisi, Pak. Saya mau menyerahkan ini?"

Aku tahu bahwa Kamil tak henti-hentinya menatapku. Pandangan kami bertemu lewat cermin yang terletak di sebelah pengawas, dia tersenyum. Namun, aku tak membalasnya.

My Lovely Student (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang