Tiga Belas

58.2K 7.3K 214
                                    

Arsal lagi-lagi melongok ke jalan. Honda Scoopy berwarna merah yang ditunggunya itu belum juga muncul dari arah utara. Diliriknya arloji di tangan. Sudah pukul 18.35 WIB. Lelaki itu sontak mendesah pelan. Dia kembali memasukkan tangan kirinya ke dalam saku celana jins.

"Kenapa dia sering bikin aku jadi khawatir gini, sih?" gumam Arsal sembari menengok ke jalanan yang dipadati kendaraan dari arah utara.

Senin ini, Arsal mengundang para kru Media Cahaya Hati untuk buka puasa di restorannya. Sebagian besar kru memang terbiasa menjalankan puasa sunnah Senin Kamis. Siang tadi, dia sudah berpesan kepada Ilham untuk menjemput Sasi sekalian menggunakan mobil kantor. Namun, saat rombongan kru datang, Sasi tidak ikut serta bersama mereka. Setelah menanyakan kepada Ilham melalui WhatsApp, ternyata gadis itu akan datang sendiri menggunakan motornya karena masih ada urusan lain.

Arsal tidak habis pikir. Apa Sasi tidak takut jika nanti pulang malam? Gadis itu memang sangat mandiri. Saking mandirinya, dia bahkan masih ada urusan lain di jam seperti ini.

"Urusan apa coba?" dengus Arsal pelan.

Lelaki itu kembali melongok ke jalan. Dia seakan tidak peduli dengan tatapan para pengunjung restoran yang memandangnya penasaran saat mobil mereka memasuki area parkir.

"Apa ban motornya kempes lagi?" Arsal semakin didera rasa khawatir saat dia memikirkan kemungkinan itu. Tangannya merogoh ponsel yang diletakkan di saku celana bagian kanan. Dia hampir menekan nomor Sasi sebelum akhirnya menyadari sesuatu. "Aku nggak mungkin telepon dia, 'kan?" desisnya kesal.

Arsal sadar, dengan mengundang semua kru makan di restorannya, mungkin Sasi akan tahu siapa yang selama ini mengirimi makan siang. Namun, dia tidak akan terang-terangan menunjukkan perhatian. Pasti gadis itu akan merasa heran jika dia nekat menelepon. Biarlah Sasi yang menyadari sendiri tanpa harus memperlihatkan secara langsung jika dirinya menyukai gadis itu.

Arsal lantas mengetikkan sesuatu, lalu mengirim pesan itu kepada seseorang.

Me : Ham, tlg Hania suruh telepon Sasi skrg! Kenapa dia blm sampai jg?

Me : Jgn blg sama Hania kalo aku yang nanyain.

***

Gadis itu duduk termenung di kursi panjang sebuah lorong rumah sakit. Tatapannya yang kosong menekuri lantai. Matanya sudah tak lagi basah. Kantung cairan bening itu mungkin sudah mengering. Sejam yang lalu, pipinya sampai bersimbah air mata. Butiran air hangat itu terus saja berlompatan keluar. Sesegukan dia menangisi seseorang yang sangat dikasihinya.

"Maaf ...." Sasi masih mengingat dengan jelas bagaimana ekspresi Satya ketika lelaki itu memeriksa ibunya di IGD beberapa saat yang lalu. "Beliau ... sudah ... meninggal ...."

Lutut Sasi sontak melemas. Tulang-tulang serasa tidak mampu lagi menopang tubuhnya. Darah seakan berhenti mengalir. Jika tidak ada tetangga di sampingnya—yang ikut mengantar—mungkin Sasi akan terkulai lemah di lantai.

Ketika jarum jam sudah bergeser ke pukul setengah lima, Sasi berencana pergi ke rumah salah satu customer yang memesan tas rajut. Dia memang sengaja keluar rumah sore hari, karena Arsal juga mengundang seluruh kru untuk buka bersama di restorannya—di mana arah jalannya sama dengan rumah customer yang dituju Sasi. Saat memasuki kamar ibunya untuk berpamitan, Sasi sontak terbeliak ketika mendapati wanita paruh baya itu terkulai di kursi roda. Sasi berusaha membangunkan ibunya. Namun, wanita berisi itu tetap diam tak bergerak.

"Aku perkirakan ... beliau meninggal sekitar dua jam yang lalu," kata Satya ketika tangis Sasi mulai mereda.

Selama itu, Sasi bahkan tidak tahu jika ibunya sudah meninggal. Padahal Ashar tadi, mereka masih sempat shalat berjamaah. Selepas shalat, Sasi memang membiarkan ibunya berada di kamarnya, sementara dia sibuk mencuci baju di belakang.

Love in the Call Box (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang