Chapter 4 : The Seven Light

44 9 8
                                    

“Kapten mengenal ayah dan ibuku?” Milo menegakkan punggungnya, tertarik untuk mendengar lebih lanjut. Kapten Scott mulai menerawang.

Kapten Scott mengangguk. “Ya, mereka orang-orang hebat, Milo. Aku sangat senang dapat bertemu mereka. Mereka sangat menyayangimu. Mereka pasti akan sangat senang jika melihatmu telah berada di sini sekarang. Mengenai kematian mereka, kau tak perlu cemas, mereka gugur secara terhormat.”

Milo membuka mulut, mencoba bertanya tentang orang tuanya lebih banyak. Ia benar-benar penasaran. Paman dan bibinya selalu enggan menceritakan tentang kedua orang tuanya, bahkan tidak memberitahu tempat mereka dimakamkan.

“Kembalilah ke kamarmu, Milo. Kau mungkin kelelahan,” lanjut Kapten Scott sebelum Milo melontarkan berbagai macam pertanyaan yang selama ini bersarang di otaknya.

Milo menurunkan pundaknya kecewa. Ia tidak mungkin membantah perintah orang yang dipanggil kapten. “Baiklah, selamat malam, Kapten.” Milo pun beranjak keluar dari ruangan Kapten Scott sambil menunduk lesu.

“Hai, Chraser!” sapa enam remaja begitu Milo menutup pintu ruangan Kapten. Milo terlonjak kaget, lalu melirik pada Petra yang melemparkan cengiran khasnya.

Milo menaikkan salah satu alisnya, mencoba bertanya apa yang terjadi. “Selamat datang, Nomor Tujuh,” seru seorang gadis berkacamata bulat.

“Mari kita mulai dengan berkenalan terlebih dahulu,” sahut laki-laki yang memakai jaket hitam.

“Sebaiknya jangan disini, di lapangan saja bagaimana?” Petra menyela. Yang lain hanya mengangguk setuju. Kemudian berlari menuju lapangan basket yang tidak terlalu besar.

“Tenang saja, Milly. Kami orang baik. Kami bahkan belum saling menunjukkan kemampuan kami sebelum semuanya terkumpul,” bisik Petra lalu menarik tangan Milo untuk ikut berlari.

Ketujuh remaja itu duduk melingkar. Kemudian satu di antara mereka berdiri, si Jaket Hitam yang duduk di sebelah kanan Milo. “Aku akan mulai kegiatan perkenalan ini. Namaku Leo Russel. 16 tahun.” Ia tersenyum kecil.

“Tunjukkan kemampuan apa yang kau miliki. Kami penasaran, ya kan?” ujar gadis yang duduk disebelahnya. Semua mengangguk semangat.

“Oke, aku akan menunjukkannya.” Leo mengambil napas dalam-dalam. Kemudian hilang seperti ditelan bumi. Keenam orang itu mulai celingukan mencarinya. Milo berdecak kagum. Ia kira ia hanya bisa menonton hal semacam itu di film-film saja.

“Dor!” Tiba-tiba, Leo muncul di belakang Petra dan menepuk bahunya, membuatnya terlonjak kaget.

“Kemampuanku itu menjadi tak terlihat, walau sering didengar, aku tetap bangga,” ucapnya. Keenam remaja lain bertepuk tangan. “Sekarang giliranmu, Vi.”

Gadis berkuncir dua yang tadinya duduk di samping Leo berdiri, lalu melambaikan tangannya dengan canggung. “Hei! Namaku Viola Miller. 14 tahun. Kemampuanku bermain musik, terutama biola.” Ia menunduk untuk mengambil biolanya, lalu menggeseknya dengan pelan. Alunan nada lambat mulai terdengar.

Lima remaja lain mulai mengantuk, Milo tidak sama sekali. Ia bahkan kebingungan melihat teman-temannya mulai menguap secara bergilir. Viola mengernyit heran, ia menghentikan permainan musiknya. “Apa kemampuanmu?” tanyanya pada Milo. “Mengapa kau tak terpengaruh sama sekali?”

Milo baru saja akan membuka mulut. Namun, Leo mencegah, “Nanti ia akan menunjukkan jika telah tiba gilirannya, mohon bersabar dulu.”

Viola kembali duduk. Matanya tak lepas dari Milo, ia terus memandangnya dengan curiga. Laki-laki bersurai coklat di sampingnya berdiri. “Namaku Tetra Johansson, 15 tahun.” Tetra memperkenalkan dirinya tanpa ekspresi apapun. Kemudian pandangannya menyapu pada semua orang.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Secret PowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang