Chapter 3 : Lightia

46 10 10
                                    

Drtt..

Ponsel Milo bergetar pelan pada saku celananya, menandakan ada pesan masuk, entah dari siapa. Milo mengeluarkan ponselnya dengan tergesa-gesa. Membuat ponselnya itu tergelincir dari tangannya dan jatuh bebas menuju lantai lift.

“Mengapa begitu tidak sabar?” tanya Petra santai. Sebelum ponsel Milo jatuh ke lantai, rupanya kaki sigap Petra berhasil menangkapnya. Milo masih terbelalak tidak percaya melihat ponselnya yang masih dalam keadaan baik-baik saja itu tertelungkup seimbang pada kaki Petra –yang dilapisi sepatu— yang sedang dalam keadaan sedikit terangkat itu.

“Hei, kau tak berniat mengambilnya? Kakiku mulai pegal,” keluh Petra. Milo yang baru saja sadar dari keterkejutannya itu dengan gelagapan menunduk untuk mengambil ponselnya.

Namun, Petra dengan tangan lincahnya itu lebih dahulu mengambilnya. “Kau tak kunjung mengambilnya tadi, biarkan aku melihat-lihat sedikit.” Petra mulai menekan tombol kunci dari ponsel Milo, nampaklah foto gadis manis yang sedang tertawa pada Milo yang duduk di sebelahnya sedang memangku sebuah buku dan meletakkan pensil diantara hidung dan bibirnya, membuat bibirnya sedikit mengerucut.

“Ah, lockscreen yang manis. Ini pacarmu ya?” tanya Petra sambil berusaha menjauhkan ponselnya dari Milo.

“Tidak sopan jika melihat sesuatu yang bukan milikmu tanpa ijin.” Milo terus berusaha merebut ponselnya dari Petra.

“Jawab dulu pertanyaanku, nanti akan kukembalikan.” Petra bersandar pada dinding lift lalu menyimpan ponsel Milo di balik punggungnya.

Milo berhenti. Ia kehabisan cara. Ia tak mungkin mendorong Petra hanya agar mendapat ponselnya kembali. Ia juga masih menjaga jarak dengannya, Petra masih asing di mata Milo.

“Itu hanya Katniss, ia memang suka mengubah-ubah tampilan ponselku. Sekarang, kembalikan ponsel itu.” Milo menjulurkan tangannya, meminta ponselnya kembali.

“Bukankah sudah kubilang, ‘nanti akan kukembalikan’. Jadi, aku akan mengembalikannya nanti, bukan sekarang. Aku menepati janji, kan?” Petra terkekeh kecil. “Aku pinjam dulu, tak akan kuhilangkan dan kurusak. Aku akan mengembalikannya dalam keadaan utuh. Bahkan dalam keadaan baterai delapan puluh dua persen seperti saat ini. Oiya, bolehkah aku mengganti tampilan ponselmu?” Petra menggoyang-goyangkan ponsel itu di tangannya.

“Tidak, tidak boleh! Jangan ubah apa pun. Aku meminjamkan ponselku padamu, tapi kau tidak boleh mengubah apapun,” kesal Milo.

“Baiklah, kau galak sekali! Hampir seperti gadis yang mendekati masa datang bulannya.”

Milo memutar bola matanya, malas mendengarkan ocehan konyol dari mulut Petra. Ia terus menunggu lift sampai ke tempat tujuannya, Lightia.

Belum sampai beberapa detik, Petra berseru, “Milly, seseorang bernama Jared mengirimu banyak pesan. Kau tak berniat membalasnya? Atau kubacakan saja? Kau dapat megucapkan balasanmu dan aku akan mengetikkannya.”

“Tidak usah, Biar aku saja nanti.” Milo heran dengan temannya itu, ia tak pernah kehabisan kata-kata untuk diketikkan padanya. Padahal untuk berbicara dengan gadis yang disukainya, Jared selalu mengatakan bahwa seketika lidahnya memiliki tulang, jadi sulit digerakkan.

“Baik, Tuan Chraser. Oh, ada lagi pesan dari –“

Ting..

Suara pintu lift yang terbuka memotong ucapan Petra. Milo melebarkan matanya, takjub dengan pemandangan di depannya. Tempat ini terlalu bagus untuk disebut sebagai sebuah markas. Lebih cocok sebuah kantor yang cukup besar dan mewah atau pusat penelitian berteknologi canggih.

Milo masih hanyut dalam kekagumannya. Sedangkan Petra sedang kelabakan karena ponsel Milo yang berada dalam genggaman tangannya itu tiba-tiba terus bergetar sejak tadi, entah apa saja notifikasi yang baru saja diterima ponsel itu.

“Ini Lightia?” tanya Milo menunjukkan nada ketertarikannya pada tempat yang sejak tadi memenuhi pikirannya itu.

“Ya, tapi ini lab. Tempat kita bukan di sini. Mari kutunjukkan jalan ke markas!” Petra memasukkan ponsel Milo ke saku jaketnya dan berbelok ke arah kiri. Milo mengekor di belakangnya.

Mereka bertemu beberapa ilmuwan, Petra menyapa ramah sedangkan Milo yang tak mengenal satu pun di antara mereka hanya tersenyum sopan.

Sampailah mereka di depan sebuah pintu dengan tulisan berukuran sedang ‘For the Seven Light’. Baru saja Milo ingin menanyakan tanda itu, Petra sudah mendorongnya ke dalam ruangan yang berada di balik pintu itu.

Ruangan itu cukup sempit dan tak ada apa pun di sana. Lagi-lagi, saat Milo ingin menanyakannya, Petra menekan tombol di sampingnya dan lantai di depan tempat mereka berdiri seketika terbuka.

“Dalam hitungan ketiga, lompat bersama,” seru Petra.

“Satu.” Milo masih terkejut sambil berusaha melihat dasar lubang itu.

“Dua.” Petra menggenggam tangan Milo. Milo berusaha memberanikan diri. Ia mencoba yakin di bawah sana tidak ada sesuatu yang membahayakan dirinya.

“Tiga.” Mereka pun melompat. Seperti dugaan Milo, tak ada sesuatu yang berbahaya. Trampolin besar telah menunggu mereka di bawah sana.

“Kuharap kau suka dengan kejutan trampolinnya, Milo Chraser.” Seorang pria berumur empat puluhan mendekati mereka. “Selamat datang!”

“Terima kasih, trampolinmu sedikit mengejutkanku dari atas sana,” jawab Milo sopan. Ia tidak tahu siapa yang sedang berada di hadapannya saat ini. Tapi dari raut wajahnya, Milo tahu dia pria baik.

“Ini usulan dari Petra. Untuk pendatang baru.” Pria itu menoleh pada Petra. Petra hanya tertawa kecil.

“Aku hanya tak ingin pendatang baru jatuh dari atas sana dengan memalukan karena tidak siap. Begini lebih baik. Aku janji, aku akan memindahkan trampolin itu nanti ke halaman belakang setelah The Seven Light sudah terkumpul.” Petra memandang pria itu dengan ramah. Seperti sudah sangat akrab. Milo masih bertanya-tanya siapakah pria misterius ini?

“Milo yang terakhir, jadi kau dapat memindahkan sekarang,” jawabnya sambil tersenyum.

“Benarkah? Tunggu dulu, Tetra, Leo, Viola,..” Petra menyebut mana teman-temannya sambil menghitung. Ekspresinya lucu sekali, membuat Milo sedikit terkekeh, sedangkan pria di hadapannya itu hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku Petra yang kekanakan.

“Bukankah kurang satu? Siapa? Biar kujemput sekarang juga. Berikan perintah, Kapten.” Petra menempelkan ujung jari tangannya di pelipis, memberi tanda hormat.

Pria yang baru saja dipanggil Kapten oleh Petra itu menggelengkan kepalanya lagi, “Petra Johansson. Katakan padanya dia lupa menghitung dirinya.”

“Oh, aku ya? Maaf, Kapten.” Petra menundukkan kepalanya dengan malu.

“Tak apa, Petra. Sekarang kau dapat kembali ke kamarmu dan beristirahat. Biarlah Tuan Chraser bersamaku. Ayo, Milo. Kita ke ruanganku.”

“Baik, Kapten.” Milo mengekor di belakang pria yang dipanggil kapten itu menuju ke ruangannya.

[]

Ini updatenya kelamaan sumpah T_T maafkan. Akhir-akhir ini aku sibuk nonton Sherlock dan baca bukunya. Belum lagi tumpukan komik Conan begitu menggiurkan untuk segera dibaca. Ya ampun, kasihan Milo dan Petra kuterlantarkan selama berbulan-bulan T_T (ini curhat :v)

Tapi, jangan bosan ya dengan cerita ini. Ini cerita fantasi pertamaku, jadi rada ngestuck dan sering kena wb. Jadi, jangan segan buat ninggalin kritik dan sarannya.

Sherlock's Partner,

Aufin :v

The Secret PowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang